Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.
Artinya : Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi (26). Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab (27). Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjukkan orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (28). (Khadim al-Harmayn, Saudi Arabia, 1971, 763) .
Ayat di atas menjelaskan tentang kelaliman Fir’aun yang berniat membunuh Musa As, sebagai upaya mencegagah terjadinya pemerintahan baru di Mesir yang akan menjauhkannya dari kekayaan. Jika kekuasaan Musa bertambah dipastikan Fir’aun tidak akan lagi memimpin Mesir seperti yang selalu diinginkannya. Untuk itulah dia bermaksud membenarkan upaya pembunuhan Musa dengan kesan bahwa upaya pembunuhan kepada Musa adalah jahat, namun ada dari pengikut Fir’aun yang mendukung Musa dan berkeberatan terhadap kejahatan Fir’aun (Kemenag RI, Bandung: 2010, 938).
Tafsir yang lain menjelaskan, setelah Allah menerangkan tentang Musa, bahwa ketika dia mendengar  perkataan Fir’aun yang mengajak membunuhnya, maka tidak lebih dia hanya meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan Fir’aun, selanjutnya dijelaskan Allah menakdirkan seseorang dari keluarga Fir’aun sendiri yang menyembunyikan imanya dari mereka sebagai pembela dan yang mempertahankan Musa dengan cara yang baik, disamping berusaha keras untuk meredakan huru-hara itu dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan kejahatan tersebut. Orang yang beriman itu berkata, apakah kalian melakukan perbuatan yang keji, yaitu membunuh jiwa yang diharamkan tanpa alas an yang memuaskan dan tanpa berfikir atau mennjau sebab yang mengharuskan dia dibunuh. Padahal alas an kalian untuk melakukan perbuatan pembunuhan secara keji seperti itu, perkataan dia tiada lain adalah”Tuhanku adalah Allah”. Menurut al-Shawi orang yang beriman itu namanya Hizkil (al-Suyuti, dalam al-Shawi, Beirut: 2002, 9-10)  (Kemenag RI, Bandung: 2010, 938) (Al-Shawi, Beirut, IV, 2002, 9).
Sayangnya peringatan dari orang istana itu tidak berpengaruh kepada Fir’aun yang hatinya telah penuh dengan kesombongan dan terbutakan dengan penyangkalan. Supaya kata-katanya berjalan efektif, Fir’aun mencoba mengejek orang-orang mukmin yang memperingatkanya dan seluruh orang Mesir. Pengikut Fir’aun yang beriman tersebut juga telah menjelaskan tentang Allah dan alam baka kepada Fir’aun dan rakyatnya. Dia juga memperingatkan keapda mereka tentang adanya penyiksaan yang tiada akhir. Orang itu pun juga telah mengajak untuk beralih kejalan yang benar dan membela mereka agar mengikutinya. Fir’aun dan teman-temannya tidak mempedulikan peringatan tersebut hingga siksaan hebat menanti mereka (Ibid).
Dalam ayat 28 di atas ditutup dengan bunyi “ Inna Allaha La Yahdi Man Huwa Musrifun Kadhhab”, firman Allah yang ditujukan kepada Musa As dan Fir’aun ini memberikan pemahaman sesungguhnya Allah mengutus dan menunjuk Musa untuk membawa risalah dengan mukjizat yang di berikannya. Maka orang-orang yang mendapatkan hidayah Allah seperti itu tidak akan melampaui batas (musrif) dan tidak mendustakan ajaran tauhid(kadhhab). Dan Musa tidak termasuk orang yang melampaui batas dan bukan orang yang mendustkan agama. Sebaliknya Fir’aun termasuk hamba Allah yang disebut dengan musrif (melampaui batas), karena bernit membunuh Musa, sebagai perbuatan yang melanggar syari’at Allah(Al-Shawi, Beirut, IV, 2002, 10). Juga Fir’aun disebut pendusta agama (kadhhab) dikarenakan mengaku sebagai Tuhan. Untuk itu Allah tidak akan memberikan petunjuknya bagi hmaba-hambanya yang mempunyai sifat pelanggar syari’at dan pendusta Agama. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.