Sarjana Bukan Sebuah Akhir, Tetapi Awal Pembuktian
SARJANA bukan Akhir, tetapi Awal Pembuktian. Ungkapan ini merupakan peringatan bagi saudara-saudara yang telah, sedang diwisuda atau akan menjadi sarjana. Dibalik istilah sarjana ini sebenarnya banyak mengandung makna, di antaranya: orang yang terpelajar yakni orang yang laku tindakannya sebagai pencari dan pelaku ilmu.
Sebagai pencari ilmu berarti dia sedang dalam proses pembelajaran pengayaan ilmu yang sedang ditekuni. Sedangkan sebagai pelaku berarti dia mempraktikkan dan mengamalkan ilmu. Artinya ilmu dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan realitasnya.
Makna lain dari sarjana adalah orang yang mempunyai ilmu. Orang disebut sarjana karena mempunyai ilmu tertentu yang dia kuasai. Tapi ilmuwan disini seharusnya dimaknai penguasaan ilmu secara utuh. Artinya orang menguasai ilmu secara teoritis, direlevansikan dalam dunia realitas praktis, juga melakukan transformasi sosial dalam bidangnya. Ilmuwan mempunyai ilmu, bermanfaat untuk dirinya juga orang lain.
Menjadi sarjana atau ilmuwan mempunyai tiga tanggung jawab, pertama tanggung jawab terhadap dinamika ilmu yang dia kuasai, tanggung jawab terhadap praktik ilmiyahnya, juga tanggung jawab sosialnya. Kuntowidjoyo dalam buku monumental paradikma Islam, membedakan antara ilmuwan dan cendekiawan. Ilmuwan sebatas orang yang mempunyai ilmu teoritis, tetapi cendekiawan orang yang berilmu yang melakukan aksi-aksi sosial, pengabdian masyarakat, transformasi dan pemberdayaan masyarakat. Maka seorang sarjana dalam dunia akademik diukur dengan tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Artinya seorang sarjana itu orang mempunyai otoritas dalam bidang ilmu tertentu, tidak hanya pada pengertian teoritis, tetapi dia juga bertanggung jawab terhadap dinamika ilmiyah dengan research (penelitian) dan memanfaatkan ilmunya di masyarakat, sebagai bekal melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi. Sebagaimana nabi Adam AS dibekali ilmu untuk menjalankan tugas kekhalifahan.
Berhubungan dengan otoritas inilah kemudian muncul istilah wisuda sarjana dan ijazah. Artinya serangkaian acara yang bertujuan memberikan kuasa ilmiyah dari seorang guru kepada murid-muridnya.
Dalam hal ini, Nabi Saw. Pernah dawuh اذا وسدالامر الى غير اهله فانتظر الساعة (apabila sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya). Nawawi al Bantani dalam Muraqi al Ubudiyah menuliskan bahwa kode etik ilmuwan atau sarjana ada 30 kode etik, guru mempunyai 17 kode etik, sedang murid 13 kode etik. Jika seorang guru dan murid menjaga kode etik tersebut niscaya akan tercapai derajat keilmuan sesuai dengan yang diharapkannya.
Kita dapat belajar dari sejarah tranformasi ilmiyah yang dipraktikkan oleh para ulama-ulama kita misalnya Syafi’i ketika berguru kepada Imam Malik, al-Ghozali berguru kepada Imam Haramayn, Kyai Hasyim kepada Kyai Kholil, Kyai Maymun Zubair kepada Mbah Karim, Kyai Thohir kepada Kyai Romli dan lain lain. Betapa ilmuwan-ilmuwan itu disebut Ulama karena ilmunya, ibadahnya dan perjuangannya memberdayakan umat, walaupun mereka semua tidak sarjana karena memang belum ada wisuda, yang ada masih ijazahan. Allahu yarham hum. Waaallohu A’lamu.
Mungkin untuk beberapa tokoh ulama di atas menemukan relevansinnya dengan dawuh Allah انما يخشى الله من عباده العلماء ( bahwasanya yang takut kepada Allah dari hamba-hambanya adalah para ulama). Ilmuwan yang bahasa arabnya adalah ‘alim jamaknya adalah ulama, mereka yang berilmu dan mempunyai sifat takut kepada Allah. Mereka takut karena dekat kepada Allah, patuh terhadap dawuh atau perintahnya, patuh untuk meninggalkan semua larangannya. Artinya antara ilmu dan kepribadiannya menjadi sebuah kesatuan yang tidak dipisahkan dan sinergis. Maka dalam keseharian kita akan menemukan sarjana syariah mempunyai profil pendidik yang santun, penampilan yang baik, layaknya kehidupan seorang guru ketika berada di hadapan para muridnya. Sarjana syariah yang berpenampilan rigid, kaku, normativ, perfectionis, senyumnya mahal, layaknya undang-undang itu sendiri. Sarjana ilmu filsafat menampilkan diri sebagai filosof yang kritis, rasionalis, yang kadang tidak perduli dan tidak suka dengan kemapanan akibat dari daya kritisisme. Mari kita berusaha menjadi sarjana-sarjana yang dapat memenuhi unsur-unsur teoritis, kritis, dan dinamis, sehingga tugas-tugas untuk memakmurkan bumi ini akan lebih mudah, lancar, sesuai dengan taqdir hamba masing-masing. Amiin.
Penulis merupakan pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal