Diterbitkan : Thursday, 21 Mar 2024, Penulis : Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H
0
BAGIKAN
Puasa Ramadhan merupakan ibadah wajib bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, kewajiban ini bersyarat bagi perempuan, yakni selama tidak terhalang hadas besar, berupa haid dan nifas. Untuk itu, bagi mereka yang terhalang, maka ia tidak diperkenankan berpuasa, melainkan mengqadha’ di kemudian hari ketika telah suci. Kendati demikian, tidak semua orang mampu untuk mengqadha’ puasa di lain waktu. Oleh karenanya, terdapat inisiatif untuk menggunakan obat penunda haid agar dapat berpuasa satu bulan penuh. Bolehkah demikian?
Pembaca yang budiman. Perihal mengkonsumsi obat penunda haid ini sebenarnya tergolong masalah kontemporer. Sehingga permasalahan ini tidak ditemukan di dalam referensi-referensi klasik mazhab secara tegas (sharih).
Sekilas tentang motif dibalik konsumsi obat atau suntik penunda haid ini adalah sifat kecemasan dan keinginan perempuan untuk bisa berpuasa satu bulan penuh tanpa ada tanggungan qadha puasa di kemudian hari. Sebab, mengqadha puasa di hari selain Ramadhan terkadang menjumpai momentum-momentum yang tidak cocok untuk dilakukan puasa. Sehingga, mereka sering beralasan karena malas, atau ada alasan lain.
Di satu sisi, ketika perempuan memiliki tanggungan hutang puasa yang harus ditunaikan, bila tidak ditunaikan hingga datang bulan Ramadhan di tahun berikutnya, maka ia akan terkena konsekuensi hukum yakni tetap wajib qadha dan membayar fidyah. Tentunya ini lebih menyusahkan lagi bagi mereka. Oleh karenanya, di dunia medis dikenal beberapa cara untuk mengantisipasi haid (penundaan haid) dengan mengkonsumsi pil obat atau menggunakan suntik.
Fatwa-fatwa kontemporer yang membahas hal ini cenderung membolehkan, sekalipun selalu memberi rekomendasi dan solusi agar tidak perlu mengkonsumsinya mengingat pasti ada efek samping di balik itu. Sebelum Fuqaha kontemporer, terdapat 2 ulama yang telah memberikan fatwanya, yakni Ibn Ziyad dan Husein bin Ibrahim al-Magrabi.
Ibn Ziyad mengutip dari fatwa Syekh Jamaluddin al-Qimath sebagai berikut:
“Mengutip dalam kitab Fatawa al-Qimath (bahwa Syekh al-Qimath berpendapat) yang kesimpulannya adalah diperbolehkan mengkonsumsi obat untuk mencegah terjadinya haid” (Ibn Ziyad, Ghayat Talkhish al-Murad fi Fatawa Ibn Ziyad, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], Hal 247)
Ibn Ziyad yang tegas mengikuti pendapat al-Qimath berkesimpulan menyatakan akan kebolehan mengkonsumsi obat penunda haid. Sejalan dengan itu, namun cenderung menghukumi makruh adalah fatwa Syekh Husein bin Ibrahim al-Maghribi berikut:
“Ketika perempuan menggunakan obat untuk mengangkat haid atau meminimalisir (hari) haid, maka hal tersebut dimakruhkan selama tidak berkonsekuensi memutus keturunan atau menyedikitkannya. Jika demikian, maka menjadi haram sebagaimana keterangan dalam Hasyiyah al-Kharasyi” (Husein bin Ibrahim, Qurrat al-‘Ain bi Fatawa Ulama’ al-Haramain, [Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1937], Hal 30)
Dengan demikian, mengikuti pendapat di atas, maka mengkonsumsi obat penunda haid dengan tujuan untuk menghentikan haid sementara agar dapat berpuasa penuh di bulan Ramadhan diperbolehkan. Namun saran dari penulis agar tidak perlu mengkonsumsinya. Sebab, pasti ada efek samping yang dialami oleh yang bersangkutan, seperti mengakibatkan siklus haid yang berubah dan tidak teratur serta berpotensi besar terjadi istihadhah. Sehingga puasa Ramadhan dijalani sesuai dengan kodrat dan normalnya saja. Wallahu a’lam…
* * * *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu
Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal (PPTA), merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Blitar raya yang memadukan kurikulum salafi yang kental dengan kajian berbagai kitab klasik dengan kurikulum modern yang berkonsentrasi dalam skill bahasa asing baik arab maupun inggris. Sehingga lulusan PPTA diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mengedepankan syari’at Islam yang moderat.