Ngaji dan Ngabdi 22: Dinamika Mengelola Majelis al-Quran
Setelah istiqamah mengelola pesantren dengan program pengajian pada level ibtidaiyah sampai pengajian tingkat mahasantri, kita merasakan ada kekurangan santri dalam hal pendalaman membaca al-Qur’annya. Gejala ini terlihat dari pembacaan al-Qur’an santri sehari-hari yang menunjukkan penurunan kualitas, baik dari sisi makharijul huruf-nya, tajwidnya, atau penggunakan ilmu-ilmu qiraah yang lain. Maka pada tahun 2016 kita berusaha untuk sebuah lembaga baru yang membidangi pembelajaran tilawatil Qur’an, yang kemudian kita sebut dengan Majelis Murattil al-Qur’an (MMQ). Majelis ini dibentuk dalam rangka menutupi kekurangan kemampuan bacaan santri terhadap al-Qur’an. Pengelolanya adalah ustadh-ustadh senior yang mempunyai kualifikasi baik dalam membaca al-Qur’an dan didukung oleh para hafidh dan hafidhah yang berjumlah sekitar 12 orang. Dengan kualifikasi baik dari para asatidh ini diharapkan dapat memperbaiki bacaan al-Qur’an Santri Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal Blitar.
Peserta majelis ini adalah semua santri baru, wajib mengikuti program pemberdayaan al-Qur’an selama satu tahun. Dalam rentang waktu satu tahun ini, diharapkan santri mempunyai kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik, meliputi tajwidnya, makharijul hurufnya, tilawahnya, kelancaran bacannya, lebih lagi kalau sesudah paketan satu tahun ini mereka dapat melanjutkan program tahfidh bersama asatidh yang sudah tersedia. Sejak berdirinya sampai sekarang Majelis Muratil al-Qur’an ini dapat berjalan dengan istiqamah, selama enam tahun, mungkin ada kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan program secara teknis, itu sebuah keniscayaan, tetapi sebagai sebuah program ketika sudah dijalankan secara berkelanjutan insyaalloh nanti akan kelihatan prestasi dan hasilnya.
Dari sisi pengelolaan dan pembiayaannya, majelis ini secara keseluruhan dibiayai dari uang pesantren baik dari operasional organisasi pengelola, teknis operasional, alat tulis kantornya, bisyarah asatidhnya, sampai kepada biaya haflah tahunan yang biasanya diadakan tiap tahunnya. Memang kalau dilihat dari sisi pemasukan untuk para asatidhnya, di Pesantren al-Kamal selalu menyisihkan anggaran untuk itu, hanya saja besaran nominalnya adalah ukuran pengabdian di Pesantren, bukan ukuran upah minimum atau standar gaji para pekerja-pekerja professional di luar Pesantren. Prinsip uang saku di pesantren adalah sekedar untuk belanja transport dan membeli kekurangan belanja sabun untuk keperluan sehari-hari para asatidh. Dengan prinsip inilah tumbuh sikap pengabdian dari para asatidh yang mengabdi ke Majelis Murottil al-Qur’an.
Hanya catatannya, adalah majelis ini kedepan harus berkembang sesuai dengan tuntutan pembelajaran al-Quran sebagai dasar-dasar ilmu. Artinya al-Qur’an sebagai fondasi keilmuan harus ditempatkan sebagai kurikulum asasi dalam pengajaran di Pesantren, disamping kurikulum-kurikulum ilmu keislaman yang lain. Misalnya di majelis murottil al-Qur’an ini yang semula targetnya adalah Tahsin al-Qira’ah (memperbaiki bacaan al-Qur’an), maka kedepan majelis ini bisa menjadi madrasah al-Qur’an, yang menekankan pengajian- pengajian dalam ilmu al-Qur’an. Sehingga lembaga ini tidak hanya menjadi majelis murottil al-Quran, tetapi menjadi madrasah al-Qur’an, yang mendasari studi ilmu keislaman yang lain.
Memang idealnya mengaji ilmu-ilmu Keislaman itu harus diawali dengan penguasaan al-Qur’an dahulu, sebelum mengaji kepada ilmu Hadits, fiqih, sejarah, nahwu, Sharaf dan lain sebagainya. Mungkin berkat doa dan restu para pecinta pondok pesantren semoga majelis ini dapat menuju masa keemasannya pada waktunya, entah tahun depan atau tahun-tahun yang akan datang, senyampang majelis ini terus istiqamah sampai kiamat. Amiin.
Ekspektasi atau harapan ini sebenarnya bukan utopia belaka, dikarenakan, didukung oleh beberapa hal, di antaranya animo semangat masyarakat terhadap al-Qur’an semakin hari semakin baik. Pesantren sebagai tempat bernaung juga mendukung seratus persen, apalagi sudah jelas-jelas kontribusi santri sebagai pesertanya sudah diwajibkan. Dilihat dari sumber daya manusianya sebagai guru juga semakin banyak. Maka modal mendasar sebagai sebuah lembaga pengajaran al-Qur’an tidak mengalami kendala yang berarti, tinggal kita ke depan selalu mengevaluasi kekurangan, diperbaiki dan diperbaiki insyaalloh kedepan akan mencapai sebuah target yang dicita-citakan.
Catatan lainnya adalah menumbuhkan sikap cinta kepada Lembaga dan al-Quran, adalah sebuah keniscayaan. Artinya semua elemen masyarakat pesantren sekarang ini harus sudah seiring sejalan untuk memaksimalkan potensi-potensi yang ada di dalam pesantren, tak terkecuali tentang pengajian al-Quran yang diampu oleh MMQ. Program al-Quran juga harus disikapi sama dengan madrasah-madrasah yang lain. Kalau selama ini perhatian kita kepada pengajian kitab kuning, madrasah diniyah, madrasah bahasa, mah’ad Aly dan pengajian-pengajian wajib pesantren, mulai sekarang juga harus melihat majelis murottil al-Quran sebagai potensi yang sama disamping pengajian yang lain. Selama ini memang studi pengajian pesantren banyak berpihak kepada kajian nahwu sharaf, fiqih, atau madrasah bahasa. Tetapi kurang memberikan perhatian yang luas kepada madrasah Qur’annya. Sehingga alumni-alumni pesantren kita banyak yang menguasai bahasa atau kitab-kitab fiqih, tetapi kurang mumpuni dalam pengajian kitab al-Qur’an. Apalagi kalau pengajian al-Qurannya, hanya dilihat dalam program-program tahfidh saja, tidak diletakkan sebagai pondasi dalam pengajian ilmu-ilmu keislaman secara umum.
Mungkin kita harus melakukan revitalisasi pengajian al-Quran sebagai sebuah ilmu, tidak hanya sebagai keterampilan membaca. Ini kita dapat belajar dari para ulama-ulama kuno dahulu misalnya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hanbali, Al Ghazali, Jalaludin al-Suyuti, al-Tabari, dan lain sebagainya. Mereka mereka menempatkan mengaji al-Qura’n sebagai sebuah dasar keilmuan, sehingga menjadi orang-orang alim dalam bidang ilmu keislaman dikarenakan diberi pondasi dasar dari sumber Ilmu yaitu al-Quran. Kalau kita dapat meniru mereka dalam hal strategi belajar ilmu agama Islam, niscaya kedepan pesantren kita akan menghasilkan ulama-ulama yang alim dalam bidang studi agama Islam.
Ini harus dimulai dari majelis murattil al-Qur’an, yang sejak dini harus mempersiapkan diri, menjadi sebuah lembaga yang mempersipkan diri dari sisi kurikulum, sumberdaya manusianya dan infrastrukturnya yang mengarah kepada program ideal, sebagaimana harapan diatas, dan semoga berhasil. Karena kalau studi al-Quran ini tidak dimaksimalkan oleh masyarakat pesantren, nantinya akan dijalankan oleh kelompok-kelompok di luar pesantren, yang mungkin dari sisi sanad keilmuannya, tujuan mempelajarinya, kurikulumnya tidak murni kajian keilmuan, bisa jadi ada motif politik, ekonomi atau tujuan-tujuan lain yang kadangkala menghasilkan generasi-generasi yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia. Maka dari itu kita berharap banyak, majelis atau madrasah al-Qur’an dapat dikembangkan di lembaga-lembaga pesantren, terutama yang selama ini istiqamah mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang ramah, sejuk, sederhana, moderat, sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Penulis adalah Pimpinan PPT al-Kamal Blitar, Pengajar UIN Satu Tulungagung dan Pengurus NU Blitar