Ngaji dan Ngabdi (3): Kenangan Bersama Kyai
Sebagai santri HMP Putra kegiatan ngaji bersama Kyai adalah sebuah kenikmatan dan kesempatan berharga, karena dapat ngaji bersama Kyai secara langsung (mubasyarah), apalagi kalau suasana mendukung fisik sehat, fikiran jernih, hati terasa nyaman, ini sebuah anugerah yang tiada tara mendapatkan tranfer ilmu, doa dan barakah.  Sejak 1994 di HMP ada program ngaji bahasa Arab yang diajar oleh Romo Yai Imam. Biasanya dilaksanakan secara bersama-sama seluruh santri di Mushola HMP. Dengan telaten, sabar, beliau memberikan penjelasan-penjelasan muhadatsah, hiwarah, qira’ah, istima’, maknawiyah, contoh-contoh untuk mempraktikkan bahasa arab di komplek HMP putra Lirboyo. Juga program-program rutinitas pengajian kitab syarah al-Fiyah Ibn Aqil, Taysirul Khalaq, Fath al-Qarib, Tanqihul Qawl, Mukhtashar Jiddan syarah Jurumiyah, Tafsir Ahkam Rawaiul Bayan, biasanya diajarkan oleh beliau secara istiqamah dengan sistem bandongan. Ada kenangan ketika suatu tempo, malam-malam saya kebetulan bersama beliau untuk sekedar mendengar nasihat-nasihatnya di teras ndalem. Tidak dipikirkan oleh saya sebelumnya, tiba-tiba saya bertanya ”kenapa Kyai Imam yang dibaca biasanya kok kitab-kitabnya tidak yang besar-besar, setiap tahun selalu diulang-ulang kitab itu saja?” Beliau menjawab, kitab-kitab yang besar sudah dibaca oleh Yai Idris, Yai Anwar dan Yai Kafa Bihi. Mendengar jawaban beliau saya sebagai santri semakin terharu dengan kepribadian kyai saya ini. Sungguh sikap-sikap beliau sebagai kyai besar menunjukkan bahwa Yai Imam Yahya adalah Kyai yang tawadhu’ (rendah hati), sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap kesombongan sama sekali.
Bahkan ketawadhu’an beliau tidak hanya dalam soal pengajian tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Ini terbukti ketika suatu saat saya kangen rumah, lama sudah tidak pulang dan sambang orang tua, kemudian saya mencoba menghadap beliau, untuk meminta izin pulang ke rumah. Kemudian oleh Romo Yai dijawab “sampean lek sir mulih, bareng aku ae lee”, (kamu kalau ingin pulang bareng aku saja). Tiba-tiba beliau mengeluarkan mobil dan mengajak saya bersamanya, dan saya sendiri tidak mengira, akhirnya kendaraan berjalan ke Selatan ternyata menuju ke kecamatan Kras, sampai di Pasar Kras belok kiri, sampai lah ke Desa Bendosari alamat saya, di perempatan barat rumah saya disuruh turun, terus pesan“ salam dingge bapak ibukke yo lee”, kemudian beliau balik lagi ke Kediri. Masyaalloh ternyata beliau tadi hanya ingin mengantar saya pulang ke rumah santrinya ini.
Tidak berhenti di situ, ekspresi ketawadhu’an beliau diperlihatkan dengan selalu menampilkan figur atau sikap yang humoris, baik dikala rapat, mengajar, mengaji, waktu bercengkrama nyantai, bersama santri, para guru, para dosen, sesama kyai, dengan pejabat, masyarakat umum menampilkan joke-joke segar. Sehingga suasana dalam majlis beliau selalu nyantai dan low profile.  Itulah sifat ketawadhuan yang beliau tunjukkan kepada saya, dan masih banyak lagi ekspresi sifat-sifat mulia, keteladanan, cermin dari keluhuran derajat dari Yai Imam Yahya Mahrus (Allahu Yarham).
Selama saya nyantri ada pengalaman yang berkaitan dengan barang antik bersama Yai Imam Yahya Mahrus. Di antaranya banyak sekali tamu-tamu dari luar kota, misalnya Rembang, Semarang, Tegal, Brebes, Jawa Barat, atau Jawa Timur sendiri sowan kepada Yai Imam untuk menawarkan barang antik yang berbagai macam bentuknya. Ada tombak, merah delima, keris, samurai, sabuk, rajah, samurai dan sebagainya. Biasanya diterima secukupnya oleh yai, kemudian memanggil saya untuk meminta tolong mengantarkan tamu kepada Bapak KH. Nurhadi Setono Rejo Kras. Sampai di ndalem KH. Nurhadi, kemudian ramah tamah, dan mendiskusikan barang yang ditawarkan atas arahan yai Imam Yahya Mahrus. Kemudian oleh H. Nurhadi biasanya barang yang ditawarkan itu terus diuji coba, dan yang menjadi obyek percobaannya selalu saya. Cara uji cobanya biasanya saya suruh memegang barangnya, kemudian Pak H. Nur memotong rambut saya. Dan anehnya, selama saya mengantarkan tamu mulai tahun 1995-2003 tidak ada satu pun barang yang berhasil untuk diujicobakan. Pelajaran untuk saya yang bisa dipetik adalah Romo Yai Imam memberikan pengajaran kepada saya tentang dunia lain, selain pengajian-pengajian yang saya dapatkan di Pesantren, yakni ternyata ada praktik jual beli barang antik juga, yang dalam pelaksanaannya harus sangat hati-hati, karena orang yang mempraktekkan barang itu tidak semua, hanya orang-orang yang memahami tentang kualitas barang antik itu.
Pengalaman lain yang teringat bersama Yai Imam adalah biasanya yai memanggil pengurusnya secara berkala, untuk diberi doa-doa tambahan sebagai pengajaran rohani dan bekal kalau sudah pulang ke masyarakatnya. Di antara doa-doa yang di ijazahkan adalah beberapa hizib, sab’u al-munjiyat, awrad istighasah, beberapa shalawat, doa-doa untuk menyembuhkan orang sakit, doa untuk kesuksesan hidup, doa untuk mudah dalam rizki, mudah dalam belajar, doa kekebalan diri, doa untuk mencari jodoh, doa untuk menduduki sebuah jabatan, doa tolak sihir dan sebagainya. Beliau juga berpesan bahwa ketika di rumah nanti, setelah terjun di masyarakat kita pasti akan dihadapkan oleh problematika kehidupan yang komplek, maka amalkan doa-doa yang dijazahkan insyaaloh nanti akan membutuhkannya. Pelajaran yang dapat diambil adalah seorang santri tidak hanya mumpuni dalam hal ilmu-ilmu agama dhahir tetapi juga harus kuat dalam hal rohaniyahnya, batinnya. Supaya nanti ketika berada di masyarakat juga akan kuat untuk menghadapi godaan dan tantangan yang datangnya dari berbagai macam, dan latar belakang. Berhubungan dengan hal ini, pada tahun terjadinya kasus “Ninja” di Indonesia yang menteror para Kyai, suatu saat Kyai Imam tiba-tiba memanggil ke ndalem, sampai di sana saya diminta untuk membantu beliau untuk mengusap-usapkan rotan yang ada di teras rumah dengan air yang sudah disiapkan oleh Beliau, yang tujuannya adalah rotan itu dapat dijadikan sebagai senjata oleh orang-orang yang memegangnya. Tidak hanya itu saja pernah suatu hari saya diajak oleh Kyai Imam Yahya Mahrus, untuk mendampingi beliau untuk acara doa bersama, istighosah, ke daerah Bojonegoro. Di sana acaranya selain Istighosah, juga ijzahan, doa untuk pengisian badan para jamaah yang jumlahnya sekitar 2000-an, sebagai bekal menghadapi teror ninja yang lagi musim waktu itu.
Cerita pengalaman lain bersama Kyai sebagai gambaran sifat beliau yang begitu perhatian kepada santri adalah saat keluarga saya mempunyai hajat, misalnya akad nikah adik saya Laylatul Fitriyah walaupun dalam keadaan payah tetap saja beliau menyempatkan hadir bersama Ibu Nyai ke Rumah, untuk memimpin acara akad nikah adik saya pada tahun 1999. Juga waktu tunangan saya tahun 2004, akad nikah, juga resepsi pernikahan saya, baik di rumah maupun di rumah istri, dihadiri oleh beliau, dan sempat menyempatkan diri untuk mengisi mauidhah pada waktu walimah al-ursy. Tidak hanya itu juga hadir dalam haul 1000 hari wafatnya mertua KH. Mahmud Hamzah, saat itu hadir pula KH. Idris Marzuki, KH. Ilham Nadhir, dan KH Halimi Turmudhi, KH Hasan Zamzami, dan Gus Melvin. Biasanya sebelum acara saat menyampaikan undangan ke ndalem, beliau selalu memberikan ijazah doa untuk kelancaran acara-acara yang saya punyai. Inilah cerminan sifat perhatian beliau kepada para santri tidak hanya saat masih di pesantren tetapi juga ketika sudah pulang ke rumah.
Pernah juga suatu hari saya dipanggil ke halaman mushola HMP, di sana sudah terparkir mobil beliau, kalau tidak salah waktu itu adalah Suzuki Escudo, sedang kempes bannya. Maka saya datang untuk membantu mengganti ban mobil yang kempes dengan ban serepnya. Setelah selesai beliaupun dawuh, “mengganti ban mobil pun harus tahu ilmunya”, dan ketika itu beliau meneruskan dawuhnya, iki niayatono sinahu le, sopo ngerti engko sampean iso nduwe mobil”, dan al-hamdulillah, mungkin karena doa Kyai 1 tahun setelah itu, saya juga mempunyai kendaraan roda empat, walaupun tidak sebaik milik Yai Imam. Tapi yang menjadi pengalaman adalah, beliau selalu memberikan dawuh dan pelajarannya. Ketika melakukan sesuatu kepada para santrinya, baik urusan mobil, ekonomi, pendidikan, ilmu bathin, rohani, ubudiyah, pekerjaan, politik, dakwah dan lain-lain.
Masalah pekerjaan, pernah juga saya meminta nasehat beliau tentang pekerjaan yang waktu itu ada formasi komisioner di Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang kebetulan, sebagai ketua panitia seleksi adalah Yai Imam Yahya Mahrus. Saya yang waktu itu sudah sarjana dan Magister mencoba matur kepada beliau untuk dapat mengikuti seleksi komisioner KPU Kota Kediri. Oleh beliau dijawab, KPU ini bukan tempatmu, carilah pekerjaan lain yang sesuai dengan karaktermu, dan itu saya ikuti. Tidak terlalu lama kemudian ada formasi dosen di STAIN Tulungagung, dan saya minta izin beliau untuk daftar di STAIN Tulungagung, dan oleh beliau di izinkan, didoakan dan diarahkan supaya bisa diterima di Tulungagung. Alhamdulillah, berkah doa beliau akhirnya benar-benar diterima sebagai tenaga pendidik di STAIN Tulungagung, sambil tetap mengabdi di IAI Tribakti Kediri.
Berkaitan dengan bangunan, juga mempunyai pengalaman menarik dengan Kyai yaitu, perintah beliau ketika mendirikan bangunan, rancangan besi cor selalu dicampur dengan bambu, menggali pondasi tidak boleh terlalu dalam karena boros material, kalau mau menyelenggarakan pengecoran harus pamit dulu kepada Kyai sebab nanti selalu akan diberi doa-doa agar bangunan tetap kokoh dan berkah. Suatu saat mendirikan bangunan utara mushola HMP lantai tiga, ternyata tukang yang menggali pondasi ukurannya terlalu dalam. Maka beliau memintanya untuk menguruknya kembali, dengan alasan pondasi terlalu dalam akan membuat kebutuhan material boros. Akhirnya semua tukang dan panitia pembangunan pun harus mengikutinya, walaupun menurut ukuran tukang galian itu sebenarnya sudah sesuai dengan rasionalisasi bangunan.
Cerita yang lain adalah proses penjilidan al-Sab’u al-Munjiyat yang pertama kali di PP HM Putra. Waktu itu Kyai mencanangkan bahwa santri HMP diharapkan hafal dan mengamalkan al-sab’u al-munjiyat. Sebagai pengurus kita berinisiatif untuk mencetakkan dan melakukan penjilidan. Langkahnya kemudian mencari teman-teman santri yang dapat menulis tangan tujuh surat, al-Sajdah, Yasin, al-Dukhan, al-Waqiah, al-Mulk, al-Insan, al-Buruj, awrad istighasah, tahlil dan doanya. Setelah selesai kemudian kita sowankan kepada Kyai untuk diperiksanya, dan selalu ditemukan banyak kesalahah-kesalahan tulis, yang kemudian direvisi. Alhamdulillah, saat itu di HMP mempunyai jilid al-sab’u al-munjiyat yang pertama kali, untuk memudahkan para santri untuk membaca, menghafalkan dan mengamalkan, sesuai dengan arahan dari Romo Kyai Imam.
Cerita lain sebagai pengalaman adalah saat beliau memanggil kami sebagai pengurus atau waktu koordinasi dengan beliau, setelah pamitan selain didoakan juga diberi dua bungkus rokok. Yang kita tahu Kyai biasanya mendapatkan jatah rokok dari perusahaan, kadang Gudang Garam atau Grendel. Mungkin karena beliau tahu bahwa santrinya ini perokok akhirnya hampir setiap hari selalu diberi rokok. Hal ini juga mencerminkan bahwa beliau mempunyai sifat perhatian dan dekat kepada para santrinya, walaupun untuk urusan hobi merokok sekalipun. Ini sebagai bentuk rasa kemanusiaan yai Imam kepada santri atau masyarakatnya. Bahkan setiap pagi beliau selalu keliling ke tempat-tempat bangunan yang ada di Pesantren atau Kampus, dengan membawa snack atau jajanan satu plasti besar untuk di bagikan kepada pengelola bangunan dan tukang-tukang yang kerja.
Pengalaman lain adalah masalah ubudiyah sehari-hari, KH. Imam Yahya Mahrus selalu istiqamah memimpin, membimbing para santrinya untuk beribadah, jamaah, tahlil, istighasah, riyadhah di akhir kelas tiga. Untuk mendidik santrinya agar terbiasa menjadi imam ibadah, biasanya Kyai mempersilahkan santri senior untuk memimpin membaca dhikir atau tahlil, sedangkan beliaunya mengikutinya, mengawasinya. Sering kali, hampir tiap hari saya sebagai makmum dibelakang beliau selalu ditunjuk menggantikannya memimpin saat jamaah harian. Hal ini akhirnya mendidik kita terbiasa untuk menjadi pemimpin istighasah, jamaah, tahlil, yasin atau awrad yang lain. Sudah menjadi ciri khas dari PP HM putra adalah kalau malam selalu istiqamah shalat malam, istighasah berkat latihan dan bimbingan dari Romo Yai.
Banyak pengalaman, pelajaran dan suri tauladan yang didapatkan bersama Kyai oleh santri-santri, ketika sudah pulang ke rumah masing-masing merasakan begitu besar jasa seorang Kyai kepada kita dalam mengajarkan, memberikan ilmu, mendoakan, membentuk karakter, kepribadian santrinya yang kuat dari sisi lahir dan batin. Harapannya bimbingan ini tidak berhenti saat di Pesantren saja, tetapi akan terus berlanjut sampai kita di akhirat kelak. amiin.
Penulis merupakan Pengajar IAIN Tulungagung, Pimpinan PP al-Kamal Blitar, dan Dewan Pembina Yayasan Masjid Bayturahman Kras Kediri