3 tahun yang lalu / Pendaftaran Santri Baru Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar akan dibuka secara online pada awal Maret 2022.
3 tahun yang lalu / Pendaftaran AEC 2022 gelombang ke 2 dibuka mulai tanggal 20 Desember 2021 – 15 Januari 2022
Home › Editorial › Ngaji dan Ngabdi 43: Bahaya Tradisi Konsumerisme (Edisi pengajian Ahad Wage Desember 2021)
23
Dec 2021
Ngaji dan Ngabdi 43: Bahaya Tradisi Konsumerisme (Edisi pengajian Ahad Wage Desember 2021)
Diterbitkan : Thursday, 23 Dec 2021, Penulis : KH Asmawi Mahfudz
0
BAGIKAN
Masih melanjutkan dari pengajian sebelumnya tentang adab seorang muslim adalah tidak mempunyai prilaku konsumtif, berlebih-lebihan yang berpengaruh negatif baginya. Di antara pengaruh negatifnya disebutkan oleh pengarang kitab sebanyak lima hal, diantaranya adalah beratnya badan (tsiqal al-jism). Karena orang yang berlebih dalam mengkonsumsi makanan atau minuman, badannya akan terasa berat, akhirnya juga berat untuk melakukan ibadah kepada Allah. Kedua adalah kerasnya hati (qaswat al-qalb). Diriwayatkan oleh sahabat Hudhayfah dari Kanjeng Nabi Saw. Bahwasanya Nabi dawuh, “barang siapa yang sedikit makannya, maka sehat perutnya, bening hatinya. Barang siapa banyak makannya, perutnya akan sakit, hatinya akan keras”. Kemarin juga kita beri penjelasan bahwa perilaku-perilaku kurang baik yang terjadi saat ini, sangat mungkin karena tradisi konsumerisme kita, yang berlebih dari kebutuhan sehari-hari. Kemarin sudah dijelaskan kebutuhan kita terhadap konsumsi makanan adalah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk ruang nafas kita. Maka kalau ada perilaku makan atau minum lebih dari tiga kebutuhan itu, maka namanya kenyang, dan tidak disarankan oleh ajaran Nabi Saw.
Yang ketiga bahaya berlebih-lebihan dalam konsumsi adalah hilangnya kecerdasan seseorang ((izalat al-fathonah), terutama kecerdasan hati, rusaknya hafalan. Dalam hal ini mengutip dawuh Sayiidina Ali, penuhnya perut akan menghilangkan kecerdasan “al-bithnah tudhhib al-fathanah”. Dalam perspektif lain imam al-Darani mengatakan bahwa “apabila kamu menghendaki terkabulnya hajat-hajat duniawi, janganlah makan (puasa) sampai hajat itu terlaksana, karena makan hanya akan menyebabkan akal manusia tidak cerdas. Pendapat-pendapat semacam ini sudah melalui eksperimentasi oleh para ulama dan pengamal ilmu dari orang-orang shalih. Yang keempat adalah melemahkan seorang untuk beribadah kepada Allah (tadh’if al-jism ‘an ibadati rabbihi). Sudah diketahui bersama bahwa ibadah tidak akan berkualitas jika perut seseorang itu penuh. Artinya dari sisi lahir badannya berat, yang pasti akan mengganggu konsentrasi dalam beribadah, dan dari sisi bathin seseorang akan dikalahkan oleh aspek-aspek duniawi yang ada dalam dirinya pengaruh dari ketergantungan dia kepada tradisi konsumsi yang berlebih. Dalam bahasa yang lain seseorang tidak akan mendapatkan kenikmatan dan kelezatan dalam beribadah seandainya seseorang masih terkooptasi oleh nafsu-nafsu bahiniyah yang ada di dalam dirinya. Seorang hamba ketika dikungkung oleh keinginan jasadiyahnya, otomatis dia akan mengalahkan aspek ruhaniyah dia untuk mendekatkan diri kepada Allah, semakin dia terikat dan tergantung dengan aspek duniawi, jasadi, dia akan semakin jauh dari sisi ruhani, spiritaulitas dia kepada Allah Swt.
Maka ada sebuah pendapat tidak ada harapan untuk mendapatkan manisnya beribadah disertai dengan dengan banyaknya makan, dalam bahasa arabnya:
لامطمع بحلاوة فى العبادة مع كثرة الاكل
Ibrahim ibn Adham berkata, saya banyak berteman kepada hamba-hamba Allah dari gunung Lubnan, mereka banyak berpesan, apabila kamu telah kembali kepada masyarakat, berilah nasehat kepada mereka dengan empat hal, “barang siapa banyak makan maka dia tidak akan mendapatkan lezat dan manisnya ibadah, barang siapa banyak tidur maka dia tidak akan mendapatkan barakahnya umur, barang siapa banyak berkumpul dengan manusia yang lain, maka dia tidak bisa berpegang teguh kepada prinsip ajaran untuk menuju akhirat, barang siapa banyak bicara sesuatu yang tidak ada manfaatnya, maka dia akan keluar dari dunia ini dengan tidak membawa Islam”. Empat hal ini, makan, bicara, tidur, interaksi sosial, dalam ajaran islam memang sesuatu yang harus diperhatikan, supaya hidup seorang hamba, sedapat mungkin berkualitas untuk kemanfaatan dan kebaikan baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk umat, bermanfaat di dunia maupun untuk maslahah di akhirat. Walaupun kita kadang memahami ajaran-ajaran itu, terbalik dari konsepsi awalnya. Misalnya makan, minum, tidur adalah fasilitas dari Allah untuk melakukan penghambaan kepadanya, kadang kita pahami sebagai kebutuhan pokok, yang mengalahkan segala-galanya.
Bahaya makan yang kelima adalah dapat mendorong seseorang untuk tidur (jalbu al-nawmi). Menurut Syekh Abu Bakar al-Makki memberikan alasan, karena orang yang banyak makan, akan banyak minum, orang yang banyak minum akan banyak tidur, orang yang banyak tidur, akan menyia-nyiakan kebaikan yang seharusnya dapat dia lakukan. Misalnya menyia-nyiakan umur, meninggalkan tahajud, lemahnya karakter, kerasnya hati. Padahal umur adalah sesuatu yang paling berharga bagi semua hamba, umur adalah modal hamba (ra’su al-mal) dalam memperoleh keuntungan kita beramal di dunia. Seseorang yang tidak dapat mengelola modalnya, maka dia akan mengalami kerugian hidup di dunia, yang pada akhirnya nanti juga terjadi penyesalan di akhirat kelak.
Paparan akhlaq tentang konsumsi itu memberikan pelajaran kepada seorang muslim, bahwa yang selama ini kita anggap biasa, sepele, sebenarnya berimplikasi besar dalam kehidupan kita di masa yang akan datang, baik dunia atau akhirat. Hal ini dalam masalah makan dan minum pada era kekinian sudah membuktikan bahwa penjelasan Allah dan Rasul Muhammad tentang tidak boleh berlebih lebihan, sudah dapat dirasakan di zaman sekarang. Banyak sekali saudara-saudara kita yang mendapatkan musibah sakit badannya, dan obatnya adalah mengurangi prosentasi makannya. Karena terbukti orang yang berlebih tidak baik untuk kesehatan badan. Misalnya sakit darah tinggi tidak boleh makan sate kambing, sakit diabet mengurangi makan nasi putih, sakit asam urat tidak boleh kacang-kacangan, sakit trigisit tidak boleh makan gorengan, sakit asam lambung tidak boleh sambal dan sebagainya. Al-Ghazali pun mengingatkan dalam kitabnya, bidayat al-hidayah:
والشبع من الحلال مبدأ كل شر فكيف من الحرام
(perut kenyang dengan perkara yang halal menjadi pangkal semua perbuatan buruk, bagaimana kalau berasal dari perkara yang haram). Maka mari sama-sama berdoa kepada Allah supaya kita semua, hidup di zaman yang serba diliputi kebutuhan konsumerisme ini di beri kekuatan untuk dapat menahan nafsu kesenangan konsumtif, kita supaya di masa-masa yang akan datang mendapatkan keselamatan, kewarasan lahir dan bathin, dunia akhirat. Aamiin.
*Alumni PP Lirboyo, Pengasuh PP al-Kamal Blitar dan Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal (PPTA), merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Blitar raya yang memadukan kurikulum salafi yang kental dengan kajian berbagai kitab klasik dengan kurikulum modern yang berkonsentrasi dalam skill bahasa asing baik arab maupun inggris. Sehingga lulusan PPTA diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mengedepankan syari’at Islam yang moderat.