Ngaji dan Ngabdi 65: Pengajian Ahad Wage, Halal bi Halal dan Tradisi Ilmiyah Santri
Halal bi halal adalah istilah arab yang diadopsi masyarakat Muslim Indonesia dalam rangka mengisi hari raya pasca lebaran tujuh hari. Term halal biasanya memang digunakan dalam kosa kata hukum Islam yang dalam memberikan status sebuah perbuatan itu boleh dilakukan. Misalnya makan hukumnya halal, minum halal, perempuan yang bukan muhrim dinikahi halal, hibah hukumnya halal, tidur hukumnya halal dan sebagainya. Kemudian term halal ini ketika ditambah dengan huruf  jairba” menjadi halal bi halal dalam kaidah arab bisa jadi bermakna tukar menukar, saling memberi dan menerima. Maka tatkala dua orang atau lebih melakukan sebuah perbuatan yang sama yaitu memaafkan, maka halal bi halal akan berarti mereka saling memaafkan, merelakan saudaranya, memberikan ridlo terhadap sesamanya. Inilah yang diijtihadi oleh ulama Nusantara ketika menghendaki adanya acara yang dapat mempertemukan hati masyarakat muslim Indonesia dengan mengadakan acara halal bi halal.
Dalam perkembangannya nampaknya halal bi halal menjadi sebuah acara yang mentradisi bagi masyarakat muslim Indonesia pasca lebaran, baik yang muda atau yang tua, baik yang pejabat atau rakyat, baik yang pegawai negeri atau swasta, individu atau kelompok, maupun lembaga-lembaga keagamaan dan non keagamaan, semua mengadakan acara halal bi halal dalam rangka mempertemukan hati mereka kembali, yang selama setahun mungkin jarang bertemu, saling menggunjing, dengan halal bi halal mereka saling merelakan, memaafkan dan memberikan ridlo untuk saudaranya. Bentuk acara halal bi halal biasanya diisi dengan pengajian hikmah iedul fitri, sekedar halaqah sederhana, dengan perayaan hidangan kupatan, diisi dengan group music, acara doa bersama, tahlilan dan sebagainya, sesuai dengan kesepakatan dan sifat kedaerahan masing-masing.
Kasus yang paling dekat dengan kami adalah halal bi halal bertepatan dengan acara Pengajian Ahad Wage di Pondok Pesantren al-Kamal Blitar, dikemas dengan Hari Lahir Pengajian Ahad Wage yang ke 20 tahun. Diikuti oleh keluarga, pengurus Pondok Pesantren, para asatidh madrasah, para alumni dan masyarakat umum. Mereka datang sesuai jadwal acaranya sejak jam 06.30 dan selesai sekitar jam 13.00. Dalam pertemuan itu acara dimulai dengan tahlil untuk para guru-guru kita yang telah mendahului menghadap Allah, kemudian diteruskan dengan pengajian rutin Ahad Wage, kajian kitab Kifatul Al-Atqiya’ Wa Minhajul Asfiya’ karangan dari Sayyid Abu Bakar Al-Makki. Kajian kemarin kita sudah sampai halaman 96 dari kitab terbitan Thoha Putra Semarang.
Dalam bahasanya dijelaskan sebagian yang dapat diketahui tentang keunggulan Syekh Muhyidin al-Nawawi, salah satu tokoh dari madhab Syafii. Di antara sifat-sifat unggul dari Imam Nawawi adalah sifat zuhud dan ketaqwaannya yang dapat diketahui oleh masyarakat sehingga dia mereka mengunggulkannya. Al-Nawawi menghiasi dirinya dengan sifat-sifat Nabi Saw, para sahabat, dan tabi’i al-tabiin, yang selalu dalam naungan hidayah Allah Swt. Juga dalam hal makanan dia merasa berat dengan yang enak-enak, berpakaian yang halus sebagaimana dijelaskan di muka, sebagai perilaku zuhudnya, tidak menyukai duniawi. Imam Nawawi merasa senang jika dalam perbedaan pendapat musuhnya mempunyai hujah atau dalil yang benar, jika orang lain sesat dalam mengambil dalil atau hujah dia berusaha untuk membimbingnya.
Imam Nawawi mempunyai ilmu yang membuat namanya selalu disebut oleh masyarakat muslim yang mempelajarinya. Dengan ilmunya nama Imam Nawawi tersebar ke seluruh penjuru dunia. Artinya ilmu al-Nawawi selalu kontekstual bagi pengkaji ilmu-ilmu keislaman yang diketahui dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Mulai al-Qur’an, Hadits, fiqih, akidah dan sebagainya. Begitu terkenalnya imam Nawawi dalam khazanah ilmu keislaman, kajian terhadap ilmu imam Nawawi tidak akan habis sepanjang masa, ”fa al-dahru hayhata yathwihi”. Kemudian dijelaskan lagi tentang kehilangan kita terhadap kepergian Imam Nawawi, terutama mereka yang menekuni ilmu Hadits, para perawi hadits, pembacanya, para ahli kitab Hadits. Dan sekarang sudah terlihat dengan jelas adanya keprihatinan dalam dunia ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan “anna al-ilma qad mata muhibbuhu”, bahwasanya pencinta ilmu keislaman telah mati.
Secara garis besal kajian tentang Imam Nawawi ada beberapa catatan, pertama sosok ilmuwan muslim yang mempunyai sifat luhur, yaitu zuhud dan bertaqwa kepada Allah Swt. Ini terbukti dengan sifat-sifanya yang berpegang teguh ajaran Nabi Saw, sahabat, dan ulama-ulama salaf, cara dia berpakaian dan mengkonsumsi makanan. Kedua, Imam Nawawi adalah ilmuwan yang obyektif, artinya perbedaan disikapinya dengan kejujuran, dan seandainya ada penyimpangan dalil dari masyarakatnya dia berusaha untuk membimbingnya. Lebih jauh lagi seandainya dipahami Imam Nawawi tidak tertutup untuk menerima hujjah yang kuat, juga tidak gampang untuk menyalahkan orang lain dalam tradisi ilmu keislaman. Ketiga. Imam Nawawi dengan kapasitas keilmuanya, kitab-kitab karangannya akhirnya menjadikan seorang imam dalam hal pengajaran ilmu-ilmu Keislaman, banyak orang mengkaji kitabnya, membuatnya menjadi rujukan dalam bidang ilmu. Akhirnya kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman yang tertuang dalam kitab-kitab al-Nawawi tidak akan pernah habis, seiring dengan dinamika perkembangan zaman. Keempat, Keulamaan imam Nawawi dalam bidang ilmu, semakin terasa dalam bidang ilmu Hadits. Dengan wafatnya imam Nawawi para pengkaji ilmu Hadits merasa kehilangan, mengalami keprihatinan, bahkan sampai sekarang semakin sulit untuk mencari ulama-ulama ahli Hadits sekaliber Imam Nawawi. Dalam bahasa yang lain keulamaan Imam Nawawi akan selalu dikenang oleh muridnya, pengikutnya dan masyarakat muslim dunia, terutama para pengikut madhhab Syafii, dan para pencinta ilmu.
Gambaran Harlah Pengajian Ahad Wage dan Halal Bi Halal kemarin, seolah kita mengenang guru-guru kita yang telah berjasa mengajarkan ilmu, memberikan suri tauladan, komitmen ilmiyah dalam bidang keislaman, dalam lingkup Pondok Pesantren al-Kamal. Guru-guru yang telah memberikan suri tauladan, bimbingan, memberikan perhatian kepada kita, tidak hanya ketika kita mengaji di madrasah atau forum pengajian, tetapi juga di luar itu memberikan ilmunya dalam banyak hal. Dan Mungkin samapai sekarang pun kita mendapatkan keberkahan dari Pesantren kita. Mungkin dalam hal pekerjaan, pemberdayaan ekonomi, pengabdian, kemanfaatan ilmu, jaringan ilmiyah, pemberdayaan masyarakat. Semuanya di dapatkan dari proses yang telah kita lalui bersama selama menjadi santri, mulai dari kecil, remaja, pemuda, dewasa, bahkan sampai kita menghadap Allah Swt, akan tetap mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan dari pondok pesantren tercinta. Itu semua adalah berkat jasa dan ajaran-ajaran guru-guru tercinta baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Maka aktualisasi isi pengajian ahad wage, dengan tema keunggulan dari Imam Nawawi dapat menjadi pelajaran kita bersama dalam memberikan inspirasi untuk selalu menghormati dan memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada para guru yang telah memberikan ilmu, dan uswah hasanah. Semoga kita semua menjadi santri-santri yang mempunyai komitmen keilmuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Nawawi. Aamiin. Wa Allahu A’lamu bi al-shawab.
*Pengajar UIN Satu, Alumni Lirboyo dan Khadim PP al-Kamal Blitar