3 tahun yang lalu / Pendaftaran Santri Baru Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar akan dibuka secara online pada awal Maret 2022.
3 tahun yang lalu / Pendaftaran AEC 2022 gelombang ke 2 dibuka mulai tanggal 20 Desember 2021 – 15 Januari 2022
Home › Editorial › Ngaji dan Ngabdi 99: Fiqih Peradaban Pengalaman Indonesia
14
Dec 2023
Ngaji dan Ngabdi 99: Fiqih Peradaban Pengalaman Indonesia
Diterbitkan : Thursday, 14 Dec 2023, Penulis : KH Asmawi Mahfudz
0
BAGIKAN
Indonesia sebagai negara paling banyak penduduknya yang beragama Islam, tentunya pengalaman keagamaannya akan memberikan makna tersendiri, dibanding dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini, terutama dalam praktik hukum Islamnya. Sejarah panjang Islam keIndonesiaan inilah yang nantinya memberikan kontribusi dalam membangun peradaban Islam di Indonesia. Dalam bahasa sekarang fiqih yang dipraktikkan di Indonesia ini akan memberikan kontribusi dalam membangun fiqih peradaban di Indonesia. Misalkan dalam bidang politik (siyasah) pengalaman hukum Islam juga sudah lama diterapkan di Indonesia, ketika presiden Soekarno diangkat menjadi pejabat yang sah sebagai kepala negara melalui keputusan fiqih siyasah, waliy ul amri aldharury bi alsyaukah, yang diputuskan oleh Nahdlatul Ulama pada tahun 1954. Latar belakang ditetapkannya presiden soekarno ditetapkan sebagai pemegang kuasa secara darurat, karena dengan pemahaman bahwa presiden tidak ditetapkan oleh para ulama, sehingga kewenangannya dianggap darurat sebagai kebutuhan yang harus segera diambil dalam menyelesaikan berbagai kebijakan negara. Maka dengan keputusan ini keputusan-keputusan presiden sebagai kepala negara mendapatkan legitimasi siyasah yang kuat. Di antaranya tentang pegawai KUA menjadi wali hakim menjadi sah, pengangkatan amil zakat menjadi sah, keputusan peradilan dalam menyelesaikan negara juga menjadi sah.
Pengalaman siyasah (politik) lagi yang memberikan kontribusi dalam fiqih peradaban di Indonesia adalah adanya penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini waktu itu diinisiasi oleh KH Ahmad Shidiq yang dapat mempertemukan antara Pancasila dengan konsep tauhid, kemanusiaan, persatuan, keadilan, musyawarah dalam Islam. Sehingga antara Islam dan Negara dapat sinergi sebagaimana apa yang dahulu diijtihadi oleh ulama-ulama ahl Sunnah abad pertengahan. Ijtihad dari Kyai Ahmad shidiq lagi yang memberikan kontribusi dalam kehidupan beragama di Indonesia adalah konsepsi tentang tri Ukhuwah, tiga persaudaraan. Yakni ukhuwah basyariah, persaudaraan antara manusia satu dengan manusia yang lain, ukhuwah Islamiyah, persaudaraan antara muslim satu dengan muslim yang lain, ukhuwah wathaniyah, persaudaraan antara warga bangsa Indonesia. Dengan konsepsi ukhuwah ini memberikan pengalaman tersendiri bagi umat beragama di indonesia, baik sebagai warga negara, umat beragama atau hamba tuhan yang maha esa. Apalagi Indonesia dihuni oleh berbagai warga yang mempunyai latar belakang yang berbagai dari sisi agama, ras, suku, bangsa, sehingga konsepsi ukhuwah sebagaimana yang telah digagas oleh Kyai Ahmad Shidiq benar-benar memberikan kontribusi yang besar dalam pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana yang akan terjadi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang plural ini, seandainya tidak ditopang oleh pemahaman, pengertian yang sinergis diantara anak bangsa.
Pemikiran politik kebangsaan yang lain di lontarkan oleh KH. Abdurahman Wahid yang menggagas tentang Islam Substantif. Artinya islam dimaknai tidak secara formalitas ajaran, tetapi dinilai dari sisi perilaku shalih para pengamalnya. Misalnya di Indonesia ini para Muslim telah melakukan keshalihan baik pribadi maupun sosialnya. Dari sisi pribadi praktik keagamaan di Indonesia telah marak dilakukan, misalnya tentang pengamalan rukun Islam, shalat, zakat, puasa, haji semua telah dilakukan oleh semua muslim secara semarak. Di sisi lain kesalihan seorang muslim juga terwujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Misalnya sikap dermawan, jauh dari kejahatan, kerukunan, kepatuhan, terwujudnya keadilan sosial, terwujudnya kesejahteraan ekonomi, terpenuhinya pendidikan yang layak. Aspek-aspek kesalihan sosial yang terpraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia inilah yang paling ditekankan oleh KH. Abdurahman Wahid. Yang kemudian dalam bahasa yang lain disebut dengan membumikan Islam. Artinya antara Islam sebagai sebuah syariat dengan praktik keseharian warga telah menyatu tanpa harus diformalisasikan dalam sebuah aturan.
Kontribusi lain dari ulama indonesia dalam bidang siyasah adalah pemikiran KH. Sahal Mahmud yang membagi bahwa politik itu ada yang high politic (politik kelas tinggi) dan low politic, (politik kelas rendah). Politik kelas tinggi adalah praktik berpolitik yang bertujuan untuk kemaslahatan umat secara umum. Maka yang dicapai adalah tujuan-tujuan ideal dalam bernegara. Misalnya tujuan kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, pendidikan yang layak, keberagamaan yang harmonis. Berbeda dengan politik kelas rendah yang bertujuan kepada pragmatisme politik kekuasaan, jabatan, ekonomi, bisnis dan tujuan-tujuan jangka pendek lainnya. Menurut Kyai Sahal Mahfudz, tujuan politik Nahdlatul Ulama adalah tercapai high politik, politik kelas tinggi itu, bukan mencari jabatan, uang dan pragmatism politik itu lagi.
Apapun yang digagas oleh para ulama indonesia, terutama dari Nahdlatul Ulama itu semuanya dilatarbelakangi oleh semangat kecintaan kepada ajaran islam, melanjutkan dakwah Rasulillah Saw. Sebagaimana ulama-ulama yang lain di belahan dunia Muslim. Karena sebagaimana sudah dimengerti bahwasanya kedalaman ilmu para ulama kita akhirnya mereka mencurahkan perhatianya akan praktik keIslaman yang ada disekitarnya, tak terkecuali di Indonesia ini. Kehidupan kegamaan di indonesia sejak Islam disyiarkan sampai sekarang mengalami dinamika yang berubah-ubah. Tetapi yang patut dicatat adalah pemikiran siyasah para ulama Nusantara ataupun di masa-masa klasik Islam adalah adanya sinergisitas antara ulama dan umara’, orang-orang alim dengan pra penguasa atau pejabat, Negara dan agama. Karena dengan sinerginya kedua unsur masyarakat ini akan terciptalah harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, sebagaimana para ulama Sunni abad pertengahan sampai sekarang juga demikian adanya. Ini sejalan dengan apa yang diungkap oleh al-Mawardi, al-siyasah manshubatun lihirasah al-dini wa al-siyasah al-dunia, Politik itu didirikan untuk menjaga agama dan mengatur dunia.
Maka yang kita lihat sekarang ini di Indonesia ini telah mempraktikkan kehidupan berbangsa sebagaimana konsepsi para ulama dahulu, yang selalu berdampingan antara ulama dan pejabat, antara agama dan Negara. Dalam simbolisasi kehidupan sehari-hari bisa dibuktikan bagaimana kantor-kantor pemerintah, pendopo, sekolahan, kampus, selalu di sampingnya ada tempat ibadah. Ini menunjukkan para ulama yang mensyiarkan Islam di Indonesia ini sudah dapat menggabungkan aspek keduniaan dengan aspek agama, dalam bentuk bangunan tempat bekerja dan bangunan tempat beribadah yang selalu berdampingan. Bahkan kalau kita mengamati di Indonesia ini tiap kabupaten atau kota selalu ada pendopo, masjid agung, alun-alun, sebagian ada tempat tahanan. Hal inikan sudah mencerminkan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara kita selalu ada penguasa, aspek ketuhanan, tempat berkumpul masyarakat. Ini sudah berabad-abad telah di tata oleh nenek moyang bangsa Indonesia ini. Untuk itu, sekarang ini situasi politik sedang memanas, kita doakan semoga nanti Indonesia diberi pemimpin yang benar-benar amanah, dapat membawa bangsa Indonesia lebih makmur, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Wa Allahu A’lam bi alshawab.
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah dan Khadim Pondok Pesantren al-Kamal Blitar
Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal (PPTA), merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Blitar raya yang memadukan kurikulum salafi yang kental dengan kajian berbagai kitab klasik dengan kurikulum modern yang berkonsentrasi dalam skill bahasa asing baik arab maupun inggris. Sehingga lulusan PPTA diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mengedepankan syari’at Islam yang moderat.