3 tahun yang lalu / Pendaftaran Santri Baru Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar akan dibuka secara online pada awal Maret 2022.
3 tahun yang lalu / Pendaftaran AEC 2022 gelombang ke 2 dibuka mulai tanggal 20 Desember 2021 – 15 Januari 2022
Home › Editorial › Tradisi Baju Baru (Ngaji Dan Ngabdi Edisi 109)
25
Apr 2024
Tradisi Baju Baru (Ngaji Dan Ngabdi Edisi 109)
Diterbitkan : Thursday, 25 Apr 2024, Penulis : KH Asmawi Mahfudz
0
BAGIKAN
Masyarakat muslim Nusantara dalam menjalani labaran Ied Al-Fitri mempunyai tradisi yang unik dan menarik, berbagai tradisi yang muncul sebagai penggabungan antara aspek kebiasaan masyarakat setempat dan aspek keagamaan sebagai seorang muslim. Sebagai sebuah tradisi temtunya kegiatan ini dijalani oleh banyak masyarakat dan di ulang-ulang setiap tahun selama lebaran, sebagai sebuah ajaran agama pelaksanaannya selalu didasari sebagai sebuah ibadah, ketaatan karena selalu beradasarkan dalil-dalil yang dipegangi oleh pelakunya. Di antara tradisi itu adalah membeli dan memakai pakaian baru saat lebaran. Hampir seluruh muslim yang merayakan lebaran selalu membeli dan mamakai pakaian baru, untuk shalat ied dan berkunjung kepada sanak kerabatnya. Tradisi ini dalam perspektif ajaran agama memang dianjurkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, telah mampu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, sehingga ekspresinya memakai pakain yang bersih dan paling baik, atau pakaian putih. Ini adalah sebuah cerminan kebersihan badan yang sehat, jiwa yang bersih, berseri-seri menjalani lebaran, karena kotoran hatinya, dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah SWT.
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
(Barang siapa berpuasa dengan iman dan ikhlas maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah dahulu dia lakukan). Dalam perspektif sosiologis ekonomi memakai pakaian baru ini menjadikan masyarakat dapat memperkuat jaringan ekonomi yang berlaku di masyarakat, antara kelompok produsen barang, penyedia jasa, juga dengan para konsumen sebagai pemakai. Akhirnya pakaian-pakaian lebaran yang diperjual belikan saat lebaran begitu beragamanya. Misalnya sarung dengan merek yang berbeda-beda, pakaian koko yang menjadi pakaian identitas muslim, kopyah yang berwarna-warni, baju batik dari berbagai daerah di Nusantara, mukena sebagai penutup shalat, sajadah sebagai alas shalat, tasbih, kerudung dan sebagainya. Seiring dengan rutinitas lebaran tiap tahun akhirnya penguatan jaringan sosial ekonomi menjadi semakin kuat. Misalnya di Surabaya ada tempat belanja baju muslim oleh saudara-saudara dari latar belakang yang beragam, misalnya komunitas Arab, Madura, Jawa, Banjar, Sunda dan lain-lain seolah tradisi lebaran menjadi perekat dan penguatan network ekonomi bagi muslim. Jaringan sosial ekonomi ini pun sekarang sudah tidak terbatas bagi pelaku ekonomi muslim saja, tetapi non muslim juga menjalankan praktik ekonominya dalam tradisi lebaran Nusantara. Akhirnya dalam tradisi memakai baju lebaran oleh seorang muslim dapat membuka ta’aruf ekonomi dan budaya yang indah untuk aktualisasi pergaulan yang sifatnya Rahmat li al-alamin. Gara-gara baju menjadikan manusia dapat beraktualisasi diri dalam berbagai dimensinya, baik ibadah, taat, ekonomi, tradisi, budaya, identitas, Pendidikan sosial dan aspek-aspek lainnya.
Kembali ke memakai baju dalam kacamata agama, terdapat fatwa
وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب
(Bukanlah ied bagi orang-orang yang memakai baju baru tetapi adalah mereka yang bertambah ketaatannya, juga bukan bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraannya tetapi bagi orang yang diampuni dosa-dosanya). Ungkapan ini ada beberapa hal penting bahwa berhari raya itu tidak dengan simbol lahir, tetapi yang lebih penting adalah penguatan ibadah dan ketaatan kepada Allah, dengan menambah frekuensi ibadahnya, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah, sebagai ending dari peradaban ibadah selama Ramadhan. Karena manusia itu mempunyai karakteristik dinamis, selalu bergerak, berubah dan berkembang sesuai dengan situasi yang melingkupinya, dalam kondisi apapun seseorang tetap bisa beribah sebagaimana Ramadhan kemarin, berarti dia lulus dalam meaktulisasikan Ramadhan dalam kehidupannya, tetapi kalau sesudah Ramadhan kita Kembali sebagaimana sebelum Ramadhan dulu, dengan tidak tertib dan disiplin dalam beribadah, berarti dia belum sukses dan bisa jadi dia tidak jadi berhari raya secara hakiki, hanya berhari raya sebatas lahir dan simbolisasi semata.
Pemahaman keduanya adalah hari raya bagi hamba yang sukses menjalaninya akan mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Sebagai seorang mukmin mendapatkan maghfirah dari Allah menjadi harapan bagi semuanya, mengingat dinamika perilakunya selama hidup tidak menentu, kadang taat, kadang maksiat, maka tatkala Ramadhan selama sebulan penuh dia dapat mencapai kesuksesan, mendapatkan pengampunan dosa, di sini lah dia dikatakan berlebaran, di akhirat kelak dia akan mendapatkan balasan surga, terbebas dari beratnya hisab di akhirat. Untuk itu berlebaran harus dimaknai secara lahir dan batin, memakai baju lebaran harus menjadi simbol kebahagiaan seorang muslim yang mencapai kebahagiaan tidak hanya dunia, tetapi juga akhirat. Wa Allahu A’lamu!
*Asmawi Mahfudz (Khadim PP Al-Kamal dan Pengajar UIN Satu Tulungagung, Fungsionaris NU Blitar)
Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal (PPTA), merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Blitar raya yang memadukan kurikulum salafi yang kental dengan kajian berbagai kitab klasik dengan kurikulum modern yang berkonsentrasi dalam skill bahasa asing baik arab maupun inggris. Sehingga lulusan PPTA diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mengedepankan syari’at Islam yang moderat.