Tradisi Ulama Dan Hakim KH. Mahmud Hamzah : Edisi Haul Ke-16 Risalah Ngaji Dan Ngabdi 107

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama, Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun).
Sebagai seorang Ulama, Kyai Mahmud mempunyai kebiasaan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu agama  yang dia ajarkan dalam amaliyah sehari-hari. Misalnya pengajian kulliyat al-Shabah, yakni pengajian pagi bersama santri dengan metode muthalaah kitab fath al-Qarib. Yaitu santri disuruh membaca, menulis, menjelaskan i’rab dari materi yang dia baca, penjelaskan maknanya, dan paparan dari kandungan isi kitab. Biasanya pembaca dilakukan dengan bergiliran semua santri, kalau ada kesullitan maka dimusyawarahkan bersama-sama, baik dari sisi arti mufradat-nya, kedudukan dan i’rab-nya, kandungan maknanya dan lain sebagainya. Dengan metode muthalaah yang dikembangkan Kyai Mahmud ini memang ada nilai positifnya, di antaranya santri akan berusaha secara mandiri untuk mengetahui arti mufradat, kedudukan i’rab, kandungan atu isi dari materi. Sehinngga aspek kreatifitas dan keaktifan santri lebih muncul dengan metode semacam ini. Seorang santri setelah bisa menyelesaikan materi muthalaah-nya  berarti dia akan dapat mengkaji materi-materi lain dari berbagai kajian kitab yang ada di pesantren.
Kelebihan lainnya kemampuan santri dalam mengkaji kitab akan terukur, karena semua santri pasti akan mendapatkan giliran untuk melakukan muthalaah sebagaimana yang dilakukan oleh temannya. Jika di madrasah diniyah dengan menggunakan metode bandongan, seorang santri kadang hanya pasif, apalagi kalau jumlah santri banyak yang ikut pengajian, maka kemampuan santri dalam memahami materi yang telah diajarkan oleh kyai tidak dapat diukur. Hanya metode bandongan lebih menekankan pada aspek tranformasi ilmunya dari seorang guru kepada murid, tetapi kalau muthalaah lebih kepada memberi keluasan santri untuk mengekspresikan, berinovasi kemampuan dalam ilmu yang mereka tekuni.
Metode mutalaah juga mempunyai kelebihan dalam hal penekanan ilmu dalam hati santri. Dalam ajaran Islam ilmu itu tempatnya ilmu (wa’yu al-Ilmi) di dalam hati, anggota badan yang lain hanya sebagai perangkat pembantu untuk menanamkan ilmu ketempatnya ke hati. Dengan memakai metode muthalaah seorang santri akan melibatkan semua anggotanya, baik tangannya untuk menulis, lisannya untuk membunyikan, matanya untuk melihat bacaan, akalnya berfikir, badannya melakukan gerakan-gerakan, kakinya berdiri di hadapan audien, hatinya tinggal mewadahi (rasikhun fi al-qalbi). Dengan demikian santri nanti tinggal aktualisasi diri untuk mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam kajian fiqih wudlu, setelah santri menguasai materinya, dia akan mengamalkannya dalam menjalankan kewajibannya, dalam berbagai ibadah yang mengharuskan thaharah dahulu. Hal ini pernah penulis coba di santri tingkatan madrasah aliyah, jurusan MAN PK terakhir, sekitar tahun 2004-2005. Kebetulan santri kala itu  belum begitu banyak, di kelas tiga jurusan itu sekitar anak 25 santri. Saya melakukan tes kepada mereka sebanyak satu kelas itu, dan alhamdulillah secara merata kemampuan baca kitab kuningnya, dengan materi Fath Al-Qarib. Ini tidak terlepas dari metode muthalaah yang diterapkan dalam pengajian subuh oleh Kyai Mahmud Hamzah.
Selain itu tradisi ngaji ilmiyah lain oleh Kyai Mahmud adalah bersama para pengurus pusat pesantren Al-Kamal Blitar, dengan materi kitab Ibn Aqil Syarah Alfiyah Ibn Malik. Para pengurus biasanya menanti beliau saat isya, setelah kyai beristirahat bersama keluarganya. Para santri yang datang pun juga tidak pernah banyak kadang lima, kadang tiga, seberapa pun pengurus yang datang oleh Kyai Mahmud selalu dilayani untuk mengaji. Mengingat para pengurus itu di pesantren selain bantu-bantu kyai mengurusi santri, tetapi mereka juga harus tetap mendapatkan ilmu dari kyai. Terutama ilmu-ilmu atau kitab-kitab sebagai penjelasan dari berbagai kitab yang ada dalam kurikulum madrasah dan pesantren. Supaya pemahaman ilmu santri lebih mendalam sebagaimana misi awalnya mendalami agama (Tafaquh fi al-din). Tradisi ngaji bersama pengurus ini selain setelah magrib, biasanya kalau sewaktu musyawarah bulanan asatidz, sebelum mulai musyawarah Kyai Mahmud juga membacakan kitab Qawaid Al-Lughah. Diambilnya kitab ini sebagai panduan bagi para asatidz dalam membacakan kitab kepada para santri biar ada kesamaannya. Misalnya dalam hal kesamaan makna mufradat, makna pegon jawi, struktur i’rab-nya. Di samping perkumpulan ini untuk membahas problem madrasah diniyah, misalnya keaktifan siswa, asatidz, masalah ujian, kualitas santri, jumlah santri yang belum berkembang dan problem madarasah pada umumnya.
Kyai Mahmud juga menyampaikan pengajian bersama alumni, dalam forum pengajian Ahad Wage, bersama Kyai Zen Masrur.  Pengajian ini biasanya dilakukan selapan sekali, dengan materi kitab-kitab tasawuf. Sampai tahun 2008 Kyai Mahmud sudah pernah mengkhatamkam satu kitab yaitu Qami’ Al-Thugyan, sebuah materi kajian Islam yang berisi tentang keimanan, akhlaq yang berjumlah 77 cabang,  dijelaskan secara gamblang melalui struktur nadham dan kedudukan i’rabnya. Pelaksanaan pengajian diikuti oleh sebagian alumni yang dekat, para asatidh, pengurus pesantren, jamaah pengajian masyarakat. Latar belakang diadakannya pengajian alumni ini supaya silaturahim santri dengan kyai, pesantren terus selalu terjaga walaupun mereka sudah berdomisili di berbagai tempat yang berbeda-beda. Juga sentuhan ilmiyah, ruhaniyah untuk para santri juga akan didapatkan oleh para alumni sehingga mereka ketika ngaji akan terus mendapatkan ilmu, tidak berhenti walaupun sudah tidak berada di pesantren.
Tradisi ilmiyah lagi adalah menyampaikan pengajian bersama masyarakat secara umum, dengan materi kitab tafsir Jalalayn dan bidayat alhidayah.  Biasanya Kyai Mahmud dalam pengajian ini tidak begitu banyak paparan yang beliau sampaikan, beliau hanya membacakan maknanya, penjelasan sedikit, kemudian ganti kitab yang kedua, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Pada saat tanya jawab inilah berbagai problematika masyarakat ditanyakan, baik urusan ibadah, ekonomi, politik, rumah tangga, utang-piutang, nikah sirri, kesehatan, kemajuan teknologi dan sebagainya. Biasanya Kyai Mahmud menjawab pertanyaan dengan berbagai referensi yang dia punyai dari kitab-kitab tafsir dengan berbagai syarahnya, kitab hadits, perbandingan fiqih, kitab sejarah, kitab-kitab yang modern dari berbagai madhab biasanya selalu dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan. Sehingga jawaban Kyai Mahmud menjadi sesuatu yang menarik bagi para pengikut pengajian, mereka kemudian mensosialisasikan kepada lingkungannya, akhirnya yang ikut pengajian dari berbagai desa di sekitar Srengat dan sekitarnya, dengan berbagai organisasi keagamaan.
Tradisi ngaji yang lain Kyai Mahmud  adalah pengajian ba’da magrib di Masjid Agung Kota Blitar. Materi yang disamapaikan adalah kitab akhlaq dan tasawuf karya Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah. Sejauh pengetahuan penulis, tradisi ilmiyah ini dijalani baru beberapa tahun belakangan,  keburu wafat. Tetapi dari cerita beberapa jamaah peserta pengajian memberikan kesaksian bahwa respon jamaah baik untuk mengikuti pengajian Kyai Mahmud dikarenakan paparan ilmunya disampaikan secara tertib, retorika yang bagus, dan kedalaman ilmu yang dikuasai oleh Kyai Mahmud.
Itu sekelumit pengabdian Kyai Mahmud kepada ilmu dan agama, masih ada beberapa kegiatan, misalnya menjawab problematika masyarakat sehari-hari di rumah, mengaji bersama teman-teman di pengadilan, baik dalam waktu istirahat, pengajian Ramadhan atau musyawarah hakim dalam menyelesaikan masalah.  Maka kalau merunut tulisan-tulisan sebelumnya, memberikan perspektif kepada Kyai Mahmud dapat kita samakan dengan ulama-ulama tempo dahulu yang mempunyai profesi seorang hakim, juga seorang mufti. Misalnya Al-Mawardhi, Abu Yusuf dan lain-lain, yang mempunyai kapasitas ilmu agama terutama dalam masalah hukum, tetapi juga sebagai praktisi hukum, yakni sebagai hakim, dipandang sebagai seorang ulama karena kemampuan agamanya yang mendalam, tetapi juga seorang pejabat negara, yang melaksanakan tugas-tugas pemerintah dalam bidang hukum. Maka Kyai Mahmud termasuk tipe ulama semacam ini, dia mengajarkan agama juga sebagai hakim, tidak hanya mengajarkan kitab-kitab kuning sebagai basis ilmu agama, tetapi juga masuk dalam dunia realitas, mengerti problematika masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah hukum di Peradilan Agama. Harapanya santri-santri Al-Kamal dapat meneruskan perjuangannya dalam hal mengajarkan agama, juga berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Akhirnya para santri semuanya mendapatkan keberkahan dari amal shalih Kyai Mahmud, menjadi santri yang shalih dan shalihat. Amiiin.  Wa Allahu A’lam!
*Penulis merupakan Pengajar UIN Tulungagung dan Pengasuh PP Al-Kamal, Fungsionaris NU Blitar