Penulis: K. Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag.
Katakanlah, Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, Janganlah kamu putus asa dari Rahmat Allah, Sesunggguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang maha pengampun lagi maha penyayang (53). (Majma’ Khadim al-Haramayn, al-Qur’an dan Terjemahnya: 1971)
Sebab nuzul (turunnya) ayat ke 53 tersebut adalah riwayat dari al-Nasa’i dari ibn Abbas ra. Yang berkata: Rasulullah Saw. telah mengirim utusan kepada Wahsyi (seorang pembunuh Abbas paman nabi Saw.) untuk diajak masuk Islam. Kemudia Wahsyi itu menjawab Bagaimana kamu mengajak ku untuk masuk Islam, sedang kamu menyangka bahwa orang yang membunuh, atau menyekutukan Tuhan (syirik), atau melakukan zina, sebagai orang yang berdosa dan siksanya akan dilipatkan. Padahal aku benar-benar telah melakukan dosa-dosa besar tersebut secara keseluruhan. (kemudian Allah menurunkan ayat yang artinya “Allah akan menerima orang yang taubat, beriman, dan beramal shaleh”). Terus Wahsyi menjawab lagi, Ini adalah syarat yang berat, barangkali saya tidak mampu untuk melakukannya, (kemudian Allah menurunkan ayat lagi yang artinya:” sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang-orang yang menyekutukannya dan memberikan ampun dosa-dosa selain syirik, atas orang yang dia kehendaki”), kemudian Wahsyi berkata lagi, saya melihat diriku ini masih ragu apakah Allah akan mengampuni dosa-dosaku atau tidak. Baru kemudian Allah menurunkan surat al-Zumar ayat ke 53 tersebut. Dan barulah Wahsyi mau masuk agama Islam (Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) Al-Shawi al-Maliki, Tafsir al-Shawi, III, (Beirut:Dar al-Fikr, 2002).
Setelah Allah pada ayat-ayat sebelumnya memberikan ancaman kepada orang-orang yang berbuat kedzaliman dan kekafiran, sekarang  Allah dalam Surat al-Zumar ayat 53-59 ini memberikan gambaran tentang pengampunan(maghfirah) dan rahmat kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Bahwasanya arti ayat di atas menjelaskan, orang-orang yang telah melewati batas dalam melakukan kemaksiatan kepada  Allah, baik telah melakukan dosa-dosa besar (kabair) atau dosa-dosa kecil (shaghair), baik dosa karena kekafirannya atau karena kemaksiatannya, untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah dia lakukan senyampang mau bertaubat dari kedurhakaan tersebut. (Husein al-hamshi, al-Quir’an al-karim, Tafsir wa Bayan, (Damaskus:Beirut). Juga dijelaskan orang-orang yang bertaubat dari perbuatan dosanya seperti  bayi yang baru lahir dari perut ibunya. Dikatakan dalam sebuah Hadits Nabi Saw. “orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak mempunyai dosa”. Al-Shawi al-Maliki, Tafsir al-Shawi, III, (Beirut:Dar al-Fikr, 2002)
Kemudian dalam ayat selanjutnya dijelaskan “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadanya sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi (54).  Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya(55)”. (Majma’ Khadim al-Haramayn, al-Qur’an dan Terjemahnya: 1971)
Maknanya  orang yang telah berbuat dosa (maksiat) supaya tidak tergantung dengan pengampunan dari Allah, kemudian meninggalkan taubat dan kembali kepada Allah. Karena kembali kepada Allah dan bertaubat adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang menginginkan pengampunan dari Allah. Karena orang yang meninggalkan taubat dan tidak kembali ke jalan Allah maka baginya ancaman dari Tuhannya. Selanjutnya penjelasan orang yang kembali kepada Allah, juga harus diikuti dengan melaksanakan semua perintah-perintah Allah dan menjauhi semua larangan-larangannya  yang tertuang dalam kitab terbaiknya yaitu al-Qur’an. Hasilnya orang yang betaubat juga harus diringi dengan keta’atan-keta’atan menjalankan semua perintah Allah.
Kemudian taubat yang akan dilakukan orang-orang yang durhaka(maksiat) itu harus dilakukan dengan segera, senyampang masih mempunyai kesempatan. Jangan sampai ditunda-tunda yang pada akhirnya nanti timbul penyesalan di kemudian hari. Allah menjelaskan dalam ayat selanjutnya:
“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolokkan agama Allah (56).  Atau supaya jangan ada yang berkata: kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa(57). Atau supaya jangan ada orang yang berkata: ketika ia melihat adzab: kalau sekiranya aku dapat kembali kedunia, niscaya aku termasuk orang-orang yang berbuat baik(58). Bukan demikian sebenarnya, telah datang keterangan-keterangan ku kepadamu lalu kamu mendustakannya, dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang kafir (59). (Majma’ Khadim al-Haramayn, al-Qur’an dan Terjemahnya: 1971)
Penyesalan yang besar bagi orang-orang yang menunda-nunda taubatnya, bisa jadi dikarenakan dahulunya dia lalai atau memang belum menyadari kesalahan-kesalahan yang telah dia perbuat. Atau Kesalahan itu mungkin saja dia tidak mampu menangkap hidayah Allah yang telah diturunkan melalui kitab suci al-Qur’an disebabkan kesombongan dan kepongahan ketika menerima ajakan-ajakan kebenaran dari ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an tatkala hidup di dunia. Jangan sampai manusia baru mau menyadari dan menyesali setelah menyaksikan adzab Allah yang nyata di hadapannya, baik siksa itu ada pada waktu masih hidup di dunia maupun nanti di akhirat kelak.
Kesimpulan dari ayat-ayat di atas, Pertama. Janganlah manusia itu putus asa untuk memperbaiki diri dengan bertobat kepada Allah, baik dosa yang telah dia lakukan akibat kekafiran atau kedurhakaan(maksiat) kepada Allah . Kedua. Taubat dilakukan dengan cara kembali kepada Allah, berserah diri kepadanya, dan mengikuti semua ajaran yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Artinya taubat harus diringi dengan kepatuhan-kepatuhan dalam menjalankan syari’at Allah. Ketiga. Tidak menunda-nunda dalam bertobat atau kembali kejalan Allah. Karena penundaan dalam bertaubat akan menimbulkan penyesalan yang sangat besar suatu saat pada waktu siksa Allah sudah di timpakan kepada kita, baik ketika kita masih hidup di dunia maupun nanti di akhirat kelak. Wa allahu A’lam bi al-Shawwab!
* Disampaikan dalam pengajian Rutin Tafsir Jalalayn dan Minhajul Abidin, Jumat malam sabtu, 2 November 2012, di PP al-Kamal Blitar
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.