kerukunan-antar-umat-beragamaPenulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag*
Mulai 23 desember 2014 kemarin, umat beragama mayoritas di Indonesia akan merayakan hari besarnya masing-masing. Penganut agama Islam akan merayakan bulan robiul awal, sebagai hari besar lahirnya Rasul Muhammad Saw. Satu bulan ini biasannya diisi dengan kegiatan-kegiatan kemeriahan, sebagai ungkapan rasa syukur lahirnya Utusan Allah Swt. Kemeriahan itu terlihat dengan berbagai seremonial acara diselenggarakan di berbagai pelosok negeri. Mulai dari tumpengan, pembacaan manaqib atau al-barjanji, ada yang menyelenggarakan musabaqah (perlombaan) samapai kepada pecan olahraga santri penganut agama Muhammad Saw. Demikian juga bagi umat kristiani, pada tanggal 25 desember 2014 ini juga merayakan hari natal, yang kemeriahannya juga tidak kalah dengan perayaan hari besar Islam. Di harapkan dua perayaan hari besar yang kemudian menjadi libur nasioanal tersebut membawa efek positif bagi kedua penganut agama masing-masing. Artinya sebagai pengamal dan orang yang taat ajaran agamanya, kedua pengikut bisa saling menghargai atau menghormati keyakinan saudaranya. Sehingga terwujud kemeriahan yang damai dan rukun yang akhirnya menjadi potensi untuk membangun bangsa dan negara secara bersama-sama.
Sebagai umat mayoritas, Islam selalu mengajarkan kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan antar sesama umat beragama. Islam diturunkan ke muka bumi ini, tidak memilah dan memilih umat manusia untuk mengikuti ajarannya. Dengan atribut sosial apapun, seseorang dapat mengikuti dan mengamalkan Islam sesuai kemampuannya. Baik dia sebagai orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, mempunyai status sosial rendah (proletar) atau statusnya tinggi (borjuis), sebagai selebritis atau orang kampung, semuanya sama dihadapan ajaran Islam. Inilah semboyan Islam di muka bumi yang selalu menebarkan nilai kasih sayang kepada sesama, baik kepada golongan kulit putih atau kulit hitam. Al-Qur’an menjelaskan “wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamiin”tidaklah aq mengutusmu Muhammad melainkan memberikan rahmat kepada seluruh alam). Nabi sendiri pernah bersabda: ”la tufadhilu baina al-abyadh wa al-aswad” (jangan melebih-lebihkan antara golongan kulit putih dengan golongan kulit hitam). Kedua dalil tersebut dapat dijadikan dasar bagi muslim dalam mengamalkan ajarannya, dengan dilandasi oleh sifat kasih sayang dan tidak membeda-bedakan antara manusia satu dengan manusia yang lain.
Mungkin dua perayaan mauludan dan natalan ini, sebagai ujian bagi umat Islam dan Kristen dalam realitas keberagamaan di Indonesia, yang kadang kala kurang dapat dipahami atau dimengerti  oleh semua kelas pemeluk Agama masing-masing. Akhirnya pengamalan Agama yang seharusnya dapat menebar kasih sayang sesama makhluk Tuhan Swt, menjadi problem sosial masyarakat yang secara terus menerus tanpa mendapatkan solusi, layaknya mengurai benangkusut. Misalnya masalah kekerasan antar pemeluk Agama (umat mayoritas versus minoritas), kekerasan umat satu keyakinan Agama tetapi berbeda aliran. Semua kekerasan tersebut selalu menggunakan justifikasi ajaran-ajaran Agama. Akhirnya timbul beberapa pertanyaan di hati penulis, apakah problematika kekerasan atas nama Agama itu memang di ajarkan oleh Agama yang mereka yakini?, atau kekerasan atas nama Agama ini murni interpretasi (penafsiran) para penganut Agama saja?, juga mungkin kekerasan atas nama Agama itu disebabkan oleh faktor sosial politik, sosial budaya yang mengitarinya?. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini masih mendominasi benak para teolog dan pengamat-pengamat sosial keagamaan, renungan terhadap problematika keberagamaan di Indonesia ini.
Semua Agama yang berkembang di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kekerasan kepada penganutnya, baik Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Agama akan selalu mengajarkan kebaikan kepada umatnya, karena eksistensi Agama bertujuan untuk mengantarkan umatnya mencapai kesejahteraan. Bahkan semua Agama mengajarkan kebaikan, itu tidak hanya tergantung kepada baktinya kepada umat manusia, tetapi juga untuk kebaikan seluruh makhluk Tuhan Swt. Baik kebaikan itu diwujudkan kepada binatang, batu-batuan, tumbuh-tumbuhan dan seluruh alam ciptaan Tuhan. Untuk itu kekerasan yang terjadi selama ini tidak benar kalau mengatasnamakan ajaran Agama. Dalam kasus kekerasan yang selama ini terjadi dengan mengatasnamakan ajaran Islam, menurut penulis, itu merupakan problem penafsiran dan problem sosiologis masyarakat Indonesia, yang solusinya pun juga harus mengikutkan dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan sosiologis.
Problem penafsiran yang penulis maksud adalah interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang memerintahkan untuk melakukan perang atau memerangi orang-orang kafir (jihad fi sabilillah), yang berpotensi dimaknai secara take for grant (ditelan mentah-mentah) tanpa mengindahkan latar belakang turunnya perintah (asbab al-nuzul), dan konteks sosio historis sebuah perintah diturunkan kepada umat Islam. Akhirnya orang yang mengamalkan ajaran perintah perang itu akan memandang orang yang berkeyakinan berbeda dengan pandangan yang bermusuhan tidak bersahabat kepada selainnya dia. Inilah yang terjadi di sekitar kita, ketika terjadi perusakan, kekerasan terhadap umat non-Muslim dengan mengatasnamakan Islam.
Kekerasan terjadi  antar umat beragama di Indonesia dikarenakan problem penafsiran teks-teks Agama. Dalam term ke-Islaman berperang atas nama Agama disebut dengan Jihad. Di dalam ajaran Islam jihad merupakan ajaran vital yang diposisikan cukup vital. Bahkan, Rasulullah memposisikan jihad sebagai salah satu amal yang paling dicintai oleh Allah setelah amalan sholat dan berbakti kepada orang tua. Jihad adalah wujud tanggungjawab seorang muslim terhadap Agamanya. Hanya saja Beberapa tahun terakhir, terminologi jihad seringkali dikonotasikan dengan tindakan-tindakan terorisme, anarkisme, dan merusak. Sebenarnya, ini adalah anggapan yang belum tentu benar dan perlu segera diluruskan. Jihad bukanlah aksi teror, jihad bukanlah meledakkan bom. Akan tetapi jihad adalah upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan seperti yang digariskan oleh Tuhan Swt.
Bentuk kekerasan yang lain, terjadi  sesama pemeluk agama. Yang paling sering terjadi adalah kekerasan terjadi di-internal umat Islam Indonesia. Kekerasan ini terjadi akibat penafsiran yang memandang bahwa kelompok minoritas adalah keliru dan yang mayoritas itulah yang benar. Akhirnya interpretasi seperti itu melihat kelompok yang lain (the other) sebagai pihak yang keliru, dan yang benar adalah kelompoknya sendiri (the self). Akibatnya vonis sesat menyesatkan akan sering kita dengar, seiring dengan tumbuh suburnya aliran-aliran keagamaan di tengah-tengah kita. Dan sampai saat ini disinyalir aliran yang divonis sesat berjumlah sekitar 300 kelompok.
Dalam Islam sebuah pendapat tidak dapat dipaksakan kepada orang lain, senyampang praktek keberagamaan Islam oleh orang lain di luar kita, masih memenuhi kriteria-kriteria atau norma-norma yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Rasul Saw. Dalam konteks ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara teoretikal dan faktual, merupakan rujukan bagi ummat Islam Indonesia. Terhadap keadaan yang diutarakan di atas tadi, yaitu bagaimana suatu aliran itu dianggap sesat atau masih dalam koridor Islam, kita dapat merujuk kepada  produk rapat kerja (Raker) MUI 2007.   Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria.(1) Mengingkari rukun iman dan rukun Islam, (2) meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (al-Quran dan al-Sunah (3) Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran, (4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; (5) Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir; (6) Mengingkari kedudukan Hadits Nabi Saw sebagai sumber ajaran Islam, (7) Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul, (8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi dan Rasul terakhir; (9)  Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, (10) Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.
Untuk itu penafsiran terhadap ajaran Islam juga harus diperbarui disesuaikan dengan tawqifi (ajaran) dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta tuntunan para mujtahid yang otoritatif di bidangnya. Supaya keberagamaan Islam di Indonesia ini dapat dijadikan sebagai model Islam  rahmatan lil alamin, yang ada di dunia ini. Walaupun tatacara atau praktek ibadah furu’iyah (ajaran cabang) kita sangat beragam, tetapi tetap satu iman dan Islam. Inilah yang disabdakan oleh Rasul Saw. “Ikhtilafu Ummati Rahmatun”(perbedaan yang terjadi dalam umatku akan mewujudkan kasih sayang di antara sesama).
Dari kejadian-kejadian yang terjadi, baik oleh antar umat beragama dan intern umat seagama, itu semua adalah problem penafsiran oleh manusia terhadap kenylenehan-kenylenehan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, kemudian dikonfirmasi kepada teks-teks agama yang telah diyakini. Dan inilah yang perlu kita sempurnakan dalam melakukan penafsiran teks, sehingga ada perspektif yang lebih komprehensif terhadap praktek keberagamaan yang terjadi diluar yang kita ikuti dan yakini.
Maka dari itu potret keberagamaan Indonesia yang beragam itu dapat disikapi dengan beberapa langkah diantaranya: Pertama, dilakukanya interpretasi yang kontruktif terhadap praktek keberagamaan orang lain. Dengan adanya penafsiran yang membangun akan dihasilkan sebuah aturan-aturan hukum yang mengatur praktek-praktek keagamaan, terutama aturan yang dapat mengakomodasi semua elemen bangsa. Kedua, upaya-upaya pendekatan psikologis dan sosiologis  tentang latar belakang terjadinya problematika praktik keberagamaan di Indonesia. Sehingga solusi yang akan dibuat, memang benar-benar menyentuh akar permasalahan yang terjadi, apalagi problematikanya menyangkut hubungan antar umat beragama, dan internal umat beragama. Ketiga. reformasi sosialisasi peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor: 9 tahun 2006 Nomor : 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat mutlak untuk segera dilakukan agar mencapai sasarannya. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab!
* Pengajar Pascasarjana IAIN Tulungagung dan Pengasuh Ponpes al-Kamal Blitar