Oleh: Asmawi Mahfudz*
Pada minggu ini, semua umat Islam di seluruh dunia akan menjalani wadhifah sanawiyah baru (rutinitas spiritual tahunan) yakni ibadah puasa. Untuk memberikan apresiasi mereka menyerukan kalimat ‘Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan”, selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio dan berbagai forum Muslim yang lain, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif. Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu’-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali. Untuk itu memberikan apresiasi yang maksimal atas datangnya ramadhan menurut ajaran Islam dapat memberikan spirit tersendiri bagi seorang muslim, dengan harapan dapat mengisi bulan suci tersebut dengan sebaik-baiknya sampai akhirnya. Berhubungan dengan apresiasi ramadhan Kanjeng rasul juga mengingatkan “man fariha bi dukhuli ramadhan haramahu jasadahu ‘ala nirani”(barang siapa merasa gembira dengan datangnya (masuknya) ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya tersentuh api neraka). Tak heran pada minggu-minggu ini sebagai rasa bahagia umat Islam banyak mengadakan tradisi genduri (megengan) sebagai ekspresi kegembiraan atas datangnya ramadhan dan berharap semoga dapat mengisinya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan dikembangkan pembahasannya. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq(sang maha pencipta). Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan istemewa ini dengan lebih mumpuni.
Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali relung jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai ‘bulan Ibadah’ harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai bulan kemenangan harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai bulan petunjuk, harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai bulan keselamatan, harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai bulan perjuangan, harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai bulan pengampunan, harus kita hiasi dengan meminta dan memberikan ampunan.
Dengan mempersiapkan aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.” Li Shaimi farhatani, farhatun ‘inda iftharihi wa farhatun ‘inda liqai rabbi”(bagi orang yang puasa akan mendapatkan kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya)
Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia “Ifthar” (berbuka). Ini artinya kebahagiaan duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritual dan amal sholehnya.
Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.
Akhirnya, hikmah dan keutamaan Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah (introspeksi) dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata “Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum”. Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan ‘puasa’ lain yang bersifat batiniah.
Dengan memberikan apresiasi kepada ramadhan, diiringi dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat “libtighai mardhatillah”, karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.Wa Allahu A’lam!
*Pengajar di IAIN Tulungagung dan
Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal