Budaya Organisasi Pesantren (Risalah Ngaji dan Ngabdi edisi 125)

Budaya adalah cara hidup yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, yang biasanya mencakup berbagai hal, seperti   yang dilakukan oleh sebuah individu dalam sebuah komunitas akan memberikan kontribusi kepada budaya masyarakatnya. Orang daerah Jawa Timur-an akan memberikan sumbangsih terhadap budaya Jawa, orang Jawa Tengah, orang yang berasal dari Papua, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan lain sebagainya dengan perilaku dan sikapnya akan memberikan kontribusi terhadap budaya kelompoknya. Sebagaimana pepatah, ”lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.  Sedangkan organisasi adalah sekumpulan individu yang berkomitmen dan bekerjasama untuk mencapai cita-cita bersama. Misalnya organisasi Nahdlatul Ulama yang berisi orang-orang yang berhaluan ahlu sunnah wa al-Jama’ah mempunyai visi dan misi untuk mencapai tujuan organisasinya baik dalam hal dakwah keagamaan, pendidikan, sosial politik, hukum, ekonomi, seni dan sebagainya. Juga organisasi-organisasi lain, sampai kepada organisai kepemerintahan. Demikian juga organisasi di pesantren juga berisi dari santri-santri yang menuntut ilmu agama, berserikat, berkelompok, bekerjasama untuk mencapai tujuan yakni mendapatkan, memahami ilmu agama. Perilaku para santri dalam organisasi pesantren dalam mencapai tujuan mereka baik berupa aturan, nilai, norma, adat, pengetahuan, bahasa, pakaian, makanan dan lain-lain itulah yang kemudian disebut dengan budaya organisasi pesantren.
Melihat organisasi pesantren di Indonesia kebanyakan berdirinya atas kepemimpinan seorang kyai atau ulama yang mengajarkan ilmu agama Islam, atau para santri yang berdatangan kepada seorang ulama untuk mendapatkan curahan ilmunya. Maka faktor kyai dalam menjalankan organisasi pesantren menjadi sebuah keharusan, mengingat organisasi yang ada sebagai perangkat untuk membantu kyai dalam mengajarkan ilmu atau memudahkan mengkoordinasikan berbagai aspek kebutuhan organisasi pesantren. Meliputi menyiapkana sarana prasana belajar-pengajian, membina para santri dalam menjalankan kegiatan belajarnya, mengatur logistik kebutuhan santri, mengawasi keamanan, membangun relasi hubungan dengan masyarakat sekitar, mengelola finansial pesantren, memelihara kebersihan dan kesehatan warga pesantren dan kebutuhan lain. Semuanya adalah bermuara kepada khidmah, pengabdian kepada kyai dalam mengajarkan ilmunya. Walaupun seorang pengurus pesantren mempunyai tugas mengawasi kebersihan atau kesehatan pada hakikatnya dia juga melaksanakan tugas kyai dalam hal kesehatan santri dalam mengajarkan agama kepada para murid-muridnya.
Mungkin pesantren pada abad 18 atau 19 masehi pengajaran ilmu agama seorang kyai hanya dilakukan dengan sederhana, misalnya seluruh santri mengaji kepada seorang kyai yang hanya satu orang, berjamaah dengan kyai, fungsi keamanan, kesehatan, sarana prasarana juga dijalankan oleh kyainya, memang waktu itu dimungkinkan, tetapi di era kekinian dengan kompleksitas kebutuhan dan problematika belajar santri, terlalu berat atau kesulitan seorang kyai menjalani sendiri. Harus dibantu oleh sebuah organisasi pesantren yang dapat membagi tugas-tugas kyai dalam mendidik para santri. Dari situ sebenarnya organisasi pesantren adalah pengejawentahan dari tugas kyai dalam mengajar santri, walaupun tidak berwujud mengajarkan kitab kuning atau memimpin jamaah para santri-santri, nilai dan kulitas tugas para pengurus-asatidh dalam menjalankan tugasnya tetap dihitung sebagaimana dawuh jeng Nabi

 ‎وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

 “Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga.”  Jalan untuk menempuh ilmu dalam dawuh ini dapat dimaknai dengan mengajar kitab kuning, menyiapkan perairan santri, menyiapkan logistik kebutuhan santri, menjaga keamanannya, menjaga kebersihanya dan semua yang berkaitan dengan ilmu sebagai kapasitas seorang kyai, disitulah berarti kandungan hadits ini. Maka dalam konteks kekinian pengurus atau asatidh pesantren semua harus berniat, mempunyai komitmen menempuh jalan diajarkannya ilmu-ilmu Allah di pesantren, supaya tugas dan fungsinya bernilai sebagaimana dawuh jeng Nabi Saw tersebut.
Juga budaya organisasi pesantren adalah membiasakan ilmu agama yang telah diperoleh dari kyai dalam bahasa lain adalah mempraktikkan ilmunya (amal shalih). Dalam khazanah ilmu pesantren yang tidak dapat ditinggalkan adalah pendalaman agama disertai dengan pembiasaannya sehingga berwujud dalam akhlaq al-karimah. Dengan akhlaq al karimah seorang santri atau pengurus di pesantren memanfaatkan ilmunya, baik dalam hal fiqih, tauhid, akhlaq, ilmu bermasyarakat, ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu tafsir dan lain-lain. Dengan pembiasaan ilmu yang dunia realitas menjadi akhlaq inilah kemudian seorang santri menjadi individu sebagaimana profil kyainya. Biasanya kalau kyainya alim dalam bidang tashawuf seorang santri berkepribadian sufi, kalau kyainya alim dalam bidang fiqih santrinya juga menampilkan profil fuqaha’, jika kyainya alim dalam bidang filsafat santripun juga akan menjadi para filosof. Dari berbagai potensi dan profil inilah akhirnya organisasi ini penting untuk menyatukan tujuan yakni ilmu, walaupun dalam kenyataannya mungkin performance para santri berbeda-beda. Hal ini perlu disadari bersama (common sense) supaya antara pengurus yang satu dengan pengurus yang lain, antara santri yang satu dengan santri yang lain tidak saling merasa tinggi atau saling merendahkan karena menjadi profil yang berbeda padahal dari kyai yang sama, memang yang membedakan adalah fitrah dari Allah, yakni potensi kemanusiaan alamiyahnya (law nature).
Dengan saling menyadari bahwa mereka semua adalah santri kyainya yang mempunyai tugas yang berbeda, diharapkan akan ada sikap equality, kesamaan dalam bersikap, bahwa semuanya adalah membantu kyai, hamba Allah, santri pesantren yang nilainya dalam berorganisasi sama apalagi nilai kualitas dihadapan Allah. Dengan sikap kesamaan ini seyogjanya budaya berorganisasi di pesantren lebih baik, lebih komunikatif, lebih koordinatif, tidak ada sekat yang menghalangi antar santri dengan pengurus, pengurus dengan kyainya atau semua sebenarnya adalah santri dihadapan kyainya. Prinsip al-musawah, kesetaraan dalam beroganisasi di pesantren sampai saat ini dapat disaksikan melalui realitas santri setelah pulang di rumahnya masing-masing.  Ikatan emosional sebagai santri, alumni dari pondok pesantren begitu kuatnya, yang kadang-kadang melebihi hubungan santri dengan kerabat di rumahnya.
Dengan kesetaraan ini juga akhirnya budaya organisasi pesantren selalu berbasis musyawarah dalam mencapai tujuan ilmunya. Hal ini dijalani dalam musyawarah pelajaran oleh kelompok kecil santri, organisasi di kelasnya atau kamarnya, organisasi di asramanya, musyawarah di level pondok pesantren atau musyawarah umum semua warga pesantren, mulai pengasuh sampai santri biasa. Dengan budaya musyawarah inilah kemudian hikmah didapat oleh para santri mulai dari inisiatif ide, pemikiran, konsep, pelaksanaan hasil musyawarah, mengkontrolnya, sampai kepada tercapainya cita-cita bersama melalui budaya musyawarah di Pesantren. Sebagaimana dawuh jeng Nabi saw,

ما خاب من استخار وما ندم من استشار

“Tidaklah gagal orang yang melakukan istikharah dan tidak menyesal orang yang selalu bermusyawarah”.
Budaya musyawarah akan mengakomodasi berbagai  pemikiran dan pendapat, juga akan didapatkan berbagai hujjah atau argumentasi ilmiyah rasional, sehingga para peserta musyawarah akan menjalani aktifitas rasional ilmiah, yang dengan sendirinya menjadikannya kecerdasan dalam hal intelektualitasnya. Juga dengan banyak menerima pendapat orang lain berarti organisasi itu menghargai, menghormati warganya dalam memberikan kontribusi dalam budaya organisasi. Lebih penting lagi dengan bermusyawarah keputusan diambil bersama-sama, yang dapat meminimalisir ke-alfaan oleh para santri, yang akhirnya berwujud kebaikan bersama yang dalam bahasa pesantren adalah keberkahan.
Selanjutnya dalam budaya organisasi pesantren, penekanan utamanya adalah belajar, aspek pendidikan dan pengajaran menjadi ciri khas utamanya. Siapa pun di pesantren ini mempunyai niat belajar yang akhirnya pasti akan mendapatkan ilmu. Karena pesantren  sejak berdirinya sebenarnya adalah institusionaliasi pengajaran agama (tafaquh al-din). Kemudian tergantung santri memberikan sudut pandangnya. Misalnya kalau pesantren ini adalah lembaga ilmu maka syarat-syarat mendapatkan ilmu, syarat-syarat menjadi guru-pengurus ilmu atau subyeknya, obyek atau sasaran ilmu, metode mendapatkan ilmu, semuanya harus diusahakan supaya goal utamanya yakni ilmu pengetahuan agama dalam berbagai penurunanya dapat dicapai. Dan sampai sekarang masih diyakini bahwa budaya organisasi pesantren masih menjadi rujukan dalam hal transformasi ilmu Agama Islam, menghasilkan insan-insan akademik santri, apalagi kalau kemudian dalam organisasi pesantren dan Kementrian Agama di Indonesia telah difasilitasi untuk mengembangkan ilmu agama pada jenjang yang lebih tinggi, melalui Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, baik negeri dan swasta.
Para santri dengan kapasitas akademik dan budaya organisasi yang mulia diyakini dapat menghidupkan, memajukan keagamaan Islam di Nusantara bahkan dapat menjadi percontohan pengembangan dan pengamalan Islam di seluruh dunia. Maka budaya organisasi pesantren tidak hanya eksis dalam ruang lokalitas, tetapi juga akan mewarnai budaya pengajaran Islam di masyarakat muslim di belahan negara muslim yang lain, yang pada akhirnya memberikan kontribusi peradaban umat manusia pada umumnya. Amiiin. Wa Allahu A’lam! 
*Penulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Satu, Khadim PP al-Kamal dan Fungsionaris NU)
 

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *