Oleh : M.Imam Sanusi Al-Khanafi,Mhs
Dalam realitas masyarakat sampai saat ini memang belum ada pengertian secara epistemologis yang mendefinisikan ASWAJA secara tuntas dan menyeluruh . Kalaupun istillah Aswaja sering disebut dalam buku- buku klasik maupun dalam wacana pengajaran Agama dipesantren, biasanya itu demi penyederhanaan cara penyebutan dan kepraktisan saja.
Ini bukan berarti bahwa pengertian yang kita anut saat ini keliru. Namun, pengertian Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi pada mazhab- mazhab tertentu. Misalnya, dalam perkara akidah mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w.324 H) atau Imam Abu Hasan al-Manshur al-Maturidi (w.333 H). Dalam soal-soal ubudiyah mengikuti salah satu dari aliran Imam madzhab empat yaitu hanafiyah, malikiyah , syafi’iyyah dan Ahmad ibn Hambal. Dan dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari imam besar sufi, yakni Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Berbicara tentang moderasi agama Islam, jaringan mata rantai dalam mengaktualisasikan dalam kehidupan kita yakni dengan akidah, syari’at, dan tasawuf. Ini merupakan ajaran mata rantai hingga Rasulullah SAW. Dalam dimensi Akidah, selama ini masih banyak kita jumpai saudara- saudara kita, termasuk para ustadz, mubaligh dan juga beberapa kiai, yang masih kurang perhatian dalam menanamkan akidah umat Islam. Alangkah riskannya jika cuma cukup menghafalkan sifat- sifat wajib, sifat mustahil dan jaiz, apalagi dilantunkan secara berulang- ulang. Bagaimana kita bisa meyakini sebuah keyakinan akidah jika hanya diamalkan sebatas bibir ? bisakah seseorang yang hafal pancasila, apakah ada jaminan bahwa orang itu sudah menjadi insan pancasilalis sejati ? betapa banyak dijumpai para orientalis atau sarjana barat tentang Islam, yang hafal al-Qur’an, tetapi hatinya kering dari keimanan.
Persoalan akidah tidaklah bisa diyakini secara spekulatif atau dengan bertaqlid. Setiap orang harus memiliki “sense of belonging” dari hati sanubari yang paling dalam atas lafadz “la ilaha illallah” dan Muhammad utusan-Nya. Keyakinan ini diucapakan dengan sepenuh hati dan direalitaskan dalam amalan sehari- hari. Jadi, lafadz dan makna dalam kalimat tauhid ““la ilaha illallah” dalam bidang akidah dapat dihayati dalam sendi- sendi kehidupan, baik dalam muamalah, ubudiyah dan proses berfikir. Dan itu mencerminkan hamba yang mukmin. Walaupun tidak bisa menghafalkan 20 nama – nama sifat Allah, justru itu lebih baik dari pada hafal, akan tetapi dalam realitasnya masih membela status quo, untuk kepentingan jabatan, dan memiliki kepentingan selain-Nya. Dalam hal ini, masih taraf belum mencapai makna inti dari Tauhid yang sebenarnya.
Dalam dimensi syari’at, berbeda dengan pendekatan akidah yang menolak taqlid, dalam bidang syari’at justru diperlukan pendekatan taklid atau ittiba’. Pasalnya, hukum- hukum agama dibangun diatas basis dan landasan kukuh melalui kontinuitas silsilah atau mata rantai  yang dapat dipertanggung jawabkan orisinalitasnya.
Sebaliknya, langkah- langkah para puritanisme yang hanya mengandalkan al-Qur’an dan Hadits justru akan melelahkan dan bahkan merugikan. Terutama bagi kaum awam, dikarenakan selain tidak memiliki asanid dengan generasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kita juga harus menggali hukum dari nol. Mengapa kita harus bersusah payah ? apakah hal tersebut akan membuat kita stagnan ? Dalam mengutip ayat al- Qur’an, esensi taqlid dan ittiba’ dalam syari’at adalah “Kasyajaratin ashluha tsabit wa far’uha fi al-sama” (Qs. 14 : 24), yakni ibarat pohon yang baik dan berakar kuat dalam tanah, dan cabangnya menjulang kelangit.
Sejarah telah mencatat, jatuhnya umat islam di Andalusia (spanyol) setelah berkuasa selama 7 abad ditangan penguasa Castile, Aragon Verdinand dan ratu Isabella di spanyol menunjukkan ampuhnya penghancuran taqlid dan ittiba’ baik dalam bidang mua’malah,  pranata sosial dan lainnya. Padahal, pada saat itu  Spanyol menjadi mercusuar di kalangan bangsa- bangsa eropa. Akan tetapi sekarang menjadi Negara yang terbelakang dari Negara- Negara eropa seperti inggris, jerman dan prancis.
Dari sini bisa di interpretasikan, bahwa pemaknaan taqlid yang dimaksud bukanlah dalam hal harfiah dan qouliyah yang mana sesorang tidak berani untuk keluar dalam kerangka makna tekstual yang dibuat oleh pendahulu. Dalam hal taqlid perlu sikap kritis, dalam bahasa fiqih disebut “Taqlid manhaji” yakni bertaqlid secara metodologis dan analitis. Dalam konteks ini kesegaran berfikir, kreativitas dan dinamika pemikiran sangat dibutuhkan walaupun dengan satu madzhab. Dan bahkan tidak dinafikan, yakni dari sepanjang jalan pemikiran dari era klasik sampai kontemporer tetap sejalan dengan a’immat madzahib (beberapa imam mazhab), jadi bisa dikatakan walaupun bertaqlid dalam satu madzhab, kita bisa berkreasi dengan tidak dengan pemahaman secara tekstual akan tetapi secara kontekstual, yang dikenal pula “taqlid manhaji”.
Dalam soal “taqlid manhaji” ini sudah diterapkan oleh beberapa ulama mazhab seperti Imam Nawawi dan Imam Rofi’i. Sungguh jelas bahwa ulama’ ini termasuk ulama’ mazhab syafi’iyyah, mereka bukan hanya persis secara tekstual seperti Imam Syafi’i. Masing- masing ulama’ ini mengembangkan metode dan analisisnya dengan ijtihadnya, walaupun dalam kerangka umum madzhab yang digariskan masih madzhab Syafi’i.  Begitu fleksibel kerangka bermadzhab ini, sampai mewanti –wanti “ idza shaha al-Hadits fahuwa mazhhabi” (apabila sudah shahih sebuah hadits, itu adalah mazhabku).
Dalam soal syari’at ini, objek cakupannya semestinya juga harus diperlebar. Pemahaman ulama’ faqih dalam hal fiqih pada abad klasik, sungguh penting akan harus diaktualisasikan secara cerdas, kreatif dan kritis dalam mengembangkan pemikiran dari klasik ke zaman kontemporer. Kita akui, para ulama dalam soal ini masih terjebak dalam hal khilafiah, yakni dalam masalah Halal dan Haram. Sementara permasalahan diluar yang jauh lebih penting tidak terurus. Barulah ketika bangsa Indonesia dilanda krisis, mereka  terbuka nalarnya, merekapun mulai bertanya- Tanya , mengapa tidak dari dulu dipikirkan tentang pentingnya pemberdayaan rakyat kecil, menghilangkan korupsi,  monopoli, budaya status quo dan lainnya. Kita sudah bangga mengeluarkan fatwa mengharamkan minuman keras, mabuk- mabukan dan pezinahan. Padahal diluar masih banyak tindakan yang jauh membahayakan Agama, bangsa dan Negara yang kita anggap penting dan sepele. Itulah yang dimaksud dengan pentingnya Islam diposisikan sebagai etika sosial, yang memberi perhatian pada problem- problem kemanusiaan, seperti ketidak-adilan, kezaliman,, ketimpangan sosial  dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
Dalam dimensi Tasawuf selama ini sering diidentikan dengan tarekat. Anggapannya, banyak pelaku tarekat yang bertasawuf. Yang tidak bertarekat tidak dianggap tidak bertasawuf, atau mereka tidak diberi kesempatan untuk jadi seorang sufi. Pandangan ini sebetulnya lebih melihat sikap lahiriah dan symbol- symbol formalitas yang bersifat indrawi. Mereka hanya puas dengan atribut- atribut seperti jubah, srban, sarung, padahal kondisi internal tidaklah diperhatikan sama sekali. Praktik bertasawuf semacam ini menurut Al-Ghozali  dikategorikan sebagai orang- orang yang maghrur (tertipu).
Hakikat tasawuf tidak lepas dari jati diri manusia yang terdiri dari dua unsur.Pertama, manusia sebagai khalq, sebagai manusia ciptaan tuhan yang bersifat materi. Yang kedua manusia sebagai khuluq (bentuk tunggal dari etika atau akhlak), yakni kreasi tuhan yang bersifat immateri. Bertasawuf dengan demikian merupakan upaya penyempurnaan wujud kerahanian  manusia. Dalam hadis nabi : “Tiadalah aku diutus kecuali  untuk penyempurnaan  akhlak”.
Wujud kerahanian  bisa jadi bernama qalb, bashirah. Dan semuanya itu diisi oleh ma’rifatullah. Sementara yang dimaksud dengan “penyempurnaan” itu ialah agar manusia bisa mendekat sedekat- dekatnya dengan Tuhan yang maha Sempurna, yang selalu dirindukan  dan dicintai. Kedekatan ini tidak bisa dicapai hanya dengan bekal materi, dan mustahil juga mendekati Allah hanya bersifat immateri. Oleh karena itu, untuk memerangi hawa nafsu yang menguat karena rangsangan materi sesaat, hanya mungkin dihadapi dengan jihad dan mujahadah. Jihad bisa berarti perjuangan lahiriah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, baik dalam hal peperangan maupun medium yang bersifat lain yang bersifat temporer. Sedangkan “mujahadah” lebih menekankan sisi bathiniah yang berlangsung setiap saat selama hayat dikandung badan. Wa Allahu A’lamu bi Ash-Showab.
 
Tentang penulis : Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung dan juga terdaftar sebagai salah satu mahasantri di Ma’had Ali Ashabul Ma’arif Al-Kamal Blitar.