Oleh Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag.*

Tulisan ini sebagai ungkapan kegundahan seorang Guru yunior yang mendapatkan beberapa pengalaman menarik sebagai seorang yang bergelut dalam dunia keilmuan dan berbenturan dengan suasana politik tanah air, yakni beberapa kali penulis menemukan kejadian yang mengitari para ilmuwan kita selalu dibenturkan dengan politik. Misalnya suasana menjelang pilkada di lingkungannya, pemilihan pimpinan lembaga pendidikan, pemilihan pejabat-pejabat kampus mengabdikan diri, bahkan pemilihan pimpinan organisasi sosial atau organisasi keagamaan, yang pada era kekinian juga kental dengan nuansa politisnya.

Kenyataan-kenyataan itu perlu mendapatkan perhatian bersama, supaya konsistensi dan idealisme seorang akademisi atau guru tetap terjaga di saat bersamaan syahwat politik lingkungan kita terus terjaga. Godaan-godaan para ilmuwan dalam tempat kerjanya, biasanya mengarah kepada jabatan-jabatan struktural ataupun fungsional di perguruan tinggi tempat mengabdi.Seperti jabatan Rektor, Dekan, Kepala jurusan atau program studi, kepala sekolah dan lain sebagianya. Jika seorang akademisi(guru) tidak dapat menahan godaan politiknya tentu semua ilmuwan akan berupaya untuk menjadi pejabat yang diinginkan dengan berbagai cara, yang kadangkala mengalahkan stabilitas belajar mengajar dan penelitian yang menjadi tanggung jawabnya. Hal inilah yang sering terjadi, di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, instabilitas pendidikan dapat terjadi saat perebutan kekuasaan telah mendominasi tujuan keilmuannya.

Mungkin perlu belajar dari para pendahulu, ilmuwan-ilmuwan terkemuka pada masanya seperti imam Fakhrudin al-Razy. Suatu saat al-Razi menolak permintaan seseorang untuk membuat racun, dalam kapasitasnya sebagai ahli fisika, ia sebenarnya mampu membuat racun, namun kekuatan moralitasnya mengatakan tidak. Orang-orang bijak berpendapat bahwa kesalahan-kesalahan moral dan praktis yang bisa melukai masyarakat jauh lebih menyakitkan dan mengecewakan dari pada kesalahan teori ilmiah melulu. Kesalahan teori ilmiah umumnya hanya terbatas pada kalangan ilmuwan dan ia bisa segera diperbaiki dan efeknya tidak mengena pada masyakat luas. Demikian juga ketika Apa yang dilakukan oleh al-Razi, serta yang diungkapkan oleh kaum bijak menegaskan pentingnya peranan moralitas dalam membangun peradaban yang berwajah manusiawi. Membangun peradaban dan kebudayaan yang hanya mengandalkan kekuatan intelektualitas, hanya mengandalkan kemampuan akal, skill (keahlian) dengan mengabaikan nilai – nilai moralitas hanya akan melahirkan keserakahan materi. Dan ketika keserakahan materi mendapat dukungan teknologi modern, maka peradaban ini akan mempertontonkan persaingan dalam mengeksploitasi sumberdaya tak bernyawa secara massif.

Itu tidak ada bedanya dengan pabrik-pabrik yang mengolah produksinya atau limbahnya tanpa mengindahkan dampak negatif yang ditimbulkan. Kerusakan lingkungan, tercemarnya sistem alami (air, tanah, udara), semakin menipisnya sumberdaya alami akibat eksploitasi yang tak terkendali, buangan gas pabrik industri modern, asap kendaraan yang lepas ke atmosfir lalu dibawa angin menyebar dan mengalami transformasi kimiawi berdampak langsung kepada makhluk hidup, tetumbuhan, hewan dan manusia. Keadaan udara yang tidak sehat ini menjadi ancaman kesehatan yang serius seperti penyakit pernafasan dan asma.

Di antara dampak negatif dalam kehidupan ekonomi seperti itu adalah meningkatnya dorongan kerja untuk money making, yakni kerja untuk memperoleh upah secara tunai. Money making menjadi daya tarik yang hebat, dan ini yang harus dihindari sejak dini.Hal ini sekarang biasa terjadi bagi para wanita yang tidak mau tidak ketinggalan tertarik untuk bekerja demi uang tunai. Banyak wanita yang meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di industri-industri modern di kota-kota besar dan bahkan sampai ke luar negeri menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Sepanjang moralitas mereka terjaga atau dibantu dijaga oleh pihak-pihak lain, kemungkinan efek samping dari pergaulan antar lawan jenis para pekerja yang sama-sama jauh dari pengawasan orang tua mereka bisa diminimalkan, namun jika moralitas mulai berangsur-angsur dikesampingkan atau bahkan diabaikan, dan kontrol masyarakat industri terhadap pergaulan lawan jenis tidak ada sama sekali bukan tidak mungkin akan mudah terjadi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan menyusul terjadinya pergaulan antar lawan jenis. Keadaan ini makin diperparah oleh semakin tingginya kebutuhan hidup sehari-hari.

Dampak sosial dari kemajuan sains teknologi juga tidak murah. Menipisnya rasa solidaritas terdesak oleh makin menguatnya sikap individualistis, kesibukan mengejar keuntungan materi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dirinya sendiri serta memacu terjadinya keadaan anomie. Yakni keadaan sosial yang tidak mengakar, tidak bertujuan, tidak merasa betah hidup karena didera kesulitan dan kekecewaan akibat kalah bersaing memperoleh materi, dan keadaan kehilangan tata nilai. Gejala yang dapat didiskripsikan antara lain banyak usaha dengan menempuh jalan pintas untuk mencapai tujuan memperoleh harta-materi semisal melalui korupsi, perampokan, perampasan, dan tidak jarang disertai dengan kekejaman dan kesadisan.

Gejala yang paling meprihatinkan adalah tidak sedikit generasi muda, sebuah generasi masa depan yang akan mengambil peran dalam kehidupan bangsa dan negara juga telah terhuyung-huyung jatuh ke dalam lembah anomie melalui sabu-sabu, kecanduan obat-obatan terlarang, tindak kriminal dalam berbagai jenisnya, pergaulan bebas antar jenis yang tidak jarang menyeret mereka dalam rayuan syetan dan terombang-ambing melalui sajian film-film pornografi. Sebuah generasi yang hanya mengejar nikmat kekinian dan mengabaikan masa depan dan tanggung jawab mereka sendiri sebagai kekuatan masa depan yang menjanjikan.Ini bertentangan dengan Sabda Nabi Saw, “ Subbanul yawm Rijalul Ghad (pemuda sekarang adalah pemimpoin masa depan)”. Udara yang sudah tidak sehat ini akibat penerapan teknologi modern yang tak terkendali oleh sisi-sisi moralitas, dan lebih mengedepankan aspek intelektualitas. Padahal keduanya harus berjalan seiring, sejalan secara sinergis. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.

*Pengajar IAIN Tulungagung, Musytasyar NU dan Pengasuh PP al-Kamal Blitar