Spesial Ramadhan (Edisi 02) : Keistimewaan Makan Sahur Yang Sering Dilupakan
Sahur merupakan ciri khas Islam. Pasalnya, sahur hanya terjadi pada ibadah puasa, khususnya ketika menghadapi puasa Ramadhan. Sahur identik dengan makan, sebagaimana berbuka puasa (futhur). Namun, keduanya memiliki fungsi berbeda. Sahur berfungsi sebagai penguat puasa, sedangkan berbuka berfungsi sebagai pembatal puasa.
Dalam ensiklopedia bahasa arab, kata “sahur” dapat diucapkan dengan dua versi: sahur (dengan membaca fathah sin) dan suhur (dengan membaca dhammah sin). Keterangan ini disampaikan oleh Ibn Hajar al-Asqalani ketika menjelaskan maksud dari hadis tentang keberkahan sahur berikut:

(تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةٌ (رواه البخاري ومسلم

“Sahurlah, karena di dalam sahur terdapat keberkahan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Beliau menjelaskan bahwa bilamana makna keberkahan yang dimaksud adalah pahala akhirat, maka yang tepat adalah menggunakan kata “suhur” yang bermakna “kegiatan sahur”. Dan bilamana makna yang dimaksud adalah menguatkan seseorang untuk berpuasa, membuat lebih semangat, dan meringankan beban fisik, maka yang tepat adalah menggunakan kata “sahur” yang bermakna “makanan sahur” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1930], Juz 4, Hal. 140).
 Sahur memiliki beberapa keistimewaan, antara lain:
Pertama, Anjuran untuk Mengakhirkan Makan Sahur
Perintah untuk mengakhirkan sahur bersumber dari hadis berikut:

(لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُوْرَ (رواه أحمد

“Umatku senantiasa mendapatkan limpahan kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur” (HR. Ahmad).
Dari dalil ini, Jumhur ulama menyepakati bahwa mengakhirkan sahur hukumnya sunah. Lantas kapan waktu sebaiknya makan sahur dilakukan?
Sahur dapat dilakukan mendekati fajar terbit (masuknya waktu subuh). Dahulu Rasulullah Saw mempraktikkan makan sahur pada waktu mendekati fajar shubuh dengan jarak sekira seseorang membaca 50 ayat al-Qur’an sampai waktu shalat subuh tiba. Al-Rafi’i mengutip suatu riwayat berikut:

رُوِيَ: أَنَّهُ كَانَ بَيْنَ تَسَحُّرِ رَسُولِ اللهِ ﷺ مَعَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَدُخُولِهِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً

“Diriwayatkan bahwa antara sahurnya Rasulullah Saw bersama Zaid bin Tsabit serta dengan masuknya waktu shalat subuh adalah sekitar lamanya seseorang membaca 50 ayat al-Qur’an” (al-Rafi’i, Fath al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Juz 6, Hal. 418).
Akan tetapi, meskipun kesunahan sahur adalah diakhirkan, sebaiknya tidak begitu mepet dengan fajar shubuh, khawatir menjadi lupa bahwa shalat subuh telah tiba. Jika, tetap diteruskan makan, padahal telah masuk awal waktu shubuh, maka puasanya menjadi batal. Untuk itu, para ulama memberikan penanda berupa “waktu imsak” sebagai bentuk kehati-hatian.
Perlu diketahui bahwa “waktu imsak” bukan sebagai penanda awal waktu menyelesaikan makan sahur. Ibarat lampu lalu lintas, waktu imsak adalah lampu kuning yang mengisyaratkan bahwa waktu subuh akan tiba. Oleh karenanya, memang sebaiknya mulai mengakhiri makan sahur di waktu imsak tersebut. Sehingga jeda di antara imsak ke waktu subuh dapat digunakan untuk membersihkan gigi dari sisa-sisa makanan yang berpotensi membatalkan puasa.
Apakah sahur sebelum jam 12 malam sudah mencukupi? Pertanyaan ini kiranya sering ditanyakan oleh orang-orang yang malas bangun sahur, mereka sering menyiasatinya dengan makan-minum sebelum jam 12 malam. Namun, hal demikian masih belum bisa mendapatkan kesunahan dari makan sahur, sebab permulaan waktu sahur adalah di pertengahan malam (jam 12 malam ke atas). Syekh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan:

وَيَدْخُلُ وَقْتُهُ بِنِصْفِ اللَّيْلِ، فَالْأَكْلُ قَبْلَهُ لَيْسَ بِسَحُوْرٍ، فَلَا يَحْصُلُ بِهِ السُّنَّةُ

“Waktu sahur dimulai pada pertengahan malam. Maka, makan pada sebelum itu tidak dapat disebut sahur, sehingga tidak mendapatkan kesunahannya” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ala Syarh Fath al-Qarib, [Beirut: Dar al-Minhaj, 2016], Juz 1, Hal 293).
Kedua, Sahur Memiliki Keberkahan Yang Istimewa
Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas bahwa sahur memiliki keberkahan yang melimpah. Lantas, keberkahan apa yang dimaksud pada hadis tersebut?
Ibn Hajar al-‘Asqalani menukil pendapat Ibn Daqiq al-‘Id yang mengungkap bahwa ada 2 macam keberkahan pada sahur. Ada keberkahan ukhrawi dan keberkahan duniawi. Keberkahan ukhrawi bisa didapat bilamana seseorang melakukan sahur, niscaya ia akan mendapatkan pahala akhirat. Sedangkan keberkahan duniawi bisa didapat sebagai dampak dari mengerjakan sahur, seperti fisik menjadi kuat dan tubuh menjadi ringan. (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1930], Juz 4, Hal. 140).
 Oleh karena terdapat limpahan keberkahan pada sahur, maka seyogyanya bagi seorang muslim untuk tidak meninggalkan makan sahur. Meskipun, memang dalam kondisi sudah kenyang. Setidaknya dapat makan atau minum, walaupun sedikit agar tidak menyia-nyiakan keberkahan tersebut. Rasulullah Saw bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ أَكْلَةً وَلَوْ حَسْوَةً، فَإِنَّهُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ، وَهُوَ فَصْلُ صَوْمِكُمْ وَصَوْمُ النَّصَارَى

“Sahurlah kalian, walaupun hanya sekali suapan atau sekali tegukan, sebab sahur termasuk makanan berkah dan sahur termasuk pembeda antara puasa kalian dengan puasa kaum Nasrani” (HR. Al-Daylami).
Ketiga, Didoakan Oleh Para Malaikat
Waktu sahur tergolong pada separuh malam terakhir yang tentu kita tahu tentang keutamaan-keutamaan waktu tersebut. Di satu sisi, Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa malaikat turut mendoakan kepada siapapun yang makan sahur. Beliau bersabda:

اللهم بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي سَحُورِهَا، تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِشُرْبَةٍ مِنْ مَاءٍ، وَلَوْ بِتَمْرَةٍ، وَلَوْ بِحَبَّاتِ زَبِيْبٍ، إِنَّ المَلَائِكَةَ تُصَلِّي عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ

“Ya Allah berkahilah umatku pada sahurnya. Sahurlah kalian meskipun dengan segelas air, sebuah kurma, maupun beberapa biji zabib. Sungguh para malaikat turut mendoakan kepada seluruh orang yang makan sahur” (HR. Al-Daraquthni).
Keempat, Waktu untuk Menyusulkan Niat Puasa bagi Yang Lupa
Selain memiliki keistimewaan, ternyata waktu sahur juga menjadi pengingat bagi yang malamnya lupa niat. Entah karena alasan tidak salat tarawih berjamaah atau memang benar-benar lupa. Maka dari itu, diperkenankan untuk segera berniat puasa, sebab batas akhir niat puasa Ramadhan adalah awal masuknya waktu subuh. Keterangan ini turut dijelaskan oleh Ibn Hajar al-Asqalani sebagai berikut:

وَالْأَوْلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ فِي السُّحُورِ تَحْصُلُ بِجِهَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ …….. وَتَدَارُكُ نِيَّةِ الصَّوْمِ لِمَنْ أَغْفَلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنَامَ.

 “Yang paling utama bahwa keberkahan sahur dapat ditinjau dari beberapa sisi: …… Waktu sahur dapat digunakan untuk menyusulkan niat puasa bagi mereka yang lalai niat sebelum tidur” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1930], Juz 4, Hal. 140). Wallahu A’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.