Spesial Ramadhan (Edisi 06): Belum Mandi Wajib, Sah kah Puasanya?
Ramadhan adalah bulan mulia. Oleh karenanya, terdapat beberapa larangan yang tidak dapat diterjang begitu saja oleh seorang muslim. Salah satunya adalah larangan berhubungan badan di siang hari. Kendati demikian, jika dilakukan di malam hari, maka tetap diperbolehkan. Hanya saja, terkadang pasutri terlanjur tertidur pulas dan lupa bahwa mereka belum mandi wajib, sedangkan waktu telah memasuki waktu subuh. Apakah mereka tetap harus melanjutkan puasanya?
Pembaca yang baik. Sesungguhnya, hakikat dalam puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkannya. Hanya saja, ada perihal yang tidak dapat ditunaikan, kecuali bagi pasangan yang telah halal, yakni ritual hubungan suami istri. Terkadang, pasutri ketika diminta sabar untuk absen berhubungan justru cenderung tidak mampu, sebab hak biologisnya meronta-meronta untuk segera dipenuhi. Biasanya hal demikian terjadi pada pengantin baru yang masih seger-segernya pernikahan.
Khusus urusan hubungan badan di bulan Ramadhan, dimungkinkan dapat dilakukan di siang hari atau di malam hari. Apabila di siang hari, maka hal tersebut dapat membatalkan puasa dan akan dikenai kafarat. Rasulullah Saw dengan tegas melarangnya dalam sebuah sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: إِنَّ الْأَخِرَ وَقَعَ عَلَى امْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: أَتَجِدُ مَا تُحَرِّرُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: أَفَتَجِدُ مَا تُطْعِمُ بِهِ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَأُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، وَهُوَ الزَّبِيلُ، قَالَ: أَطْعِمْ هَذَا عَنْكَ، قَالَ: عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا، مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا، قَالَ: فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه البخاري)

“Dari Abu Hurairah Ra: Seseorang telah mendatangi Nabi Saw lalu berkata: ‘Sesungguhnya seseorang di akhir pernah menyetubuhi istrinya di Ramadhan’. Rasul merespon: ‘Apakah kamu punya sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Ia menjawab: ‘Tidak’. Rasul bertanya: ‘Kamu bisa berpuasa 2 bulan berturut-turut?’ Ia menjawab: ‘Tidak’. Rasul kembali bertanya: ‘Kamu punya makanan untuk 60 orang miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak’. Lalu da seseorang mendatangi Nabi Saw sambil membawa satu wadah kurma. Lalu Nabi berkata: ‘Kasihlah makan (kurma) ini untuk (kafarat)mu!’. Ia kemudian bertanya: ‘diberikan kepada yang lebih membutuhkan dariku? Sementara antara ujung timur-ujung barat keluargakulah yang paling membutuhkan’. Rasul menjawab: ‘Berilah makanan ini kepada keluargamu!’” (HR. Al-Bukhari).
Kendati demikian, Allah Swt masih memberikan kelonggaran waktu bagi pasutri (pasangan suami istri) untuk dapat berhubungan intim di malam hari sesuai firman Allah Swt berikut:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ… (البقرة: 187)

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa untuk bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…..” (QS. al-Baqarah: 187).
Apabila pasutri melakukannya di malam hari, lalu akibat efek dari berhubungan tersebut pada akhirnya membuat pasutri tertidur pulas hingga masuk waktu subuh, apakah puasanya dianggap batal sebab belum bersuci (mandi wajib)?
Pembaca yang budiman. Perlu diketahui bahwa syarat sah puasa adalah mukallaf (muslim, akil, dan baligh) dan mampu berpuasa hingga akhir. Sehingga, tidak ada persyaratan harus telah bersuci. Oleh karenanya, tanpa perlu menunggu bersuci pun, pasutri tersebut wajib untuk melanjutkan puasanya, selama ia telah berniat di malam hari.
Ketentuan hukum ini sama halnya berlaku bagi perempuan yang telah usai haid atau nifasnya. Ketika dicek waktu sahur, ternyata darah sudah mampet dan umumnya memang sudah usai masa haidnya atau bagi yang nifas memang benar-benar telah bersih, maka tanpa perlu mandi wajib pun, ia harus berpuasa seketika itu.
Di dalam Fath al-Wahab dijelaskan:

(وَإِذَا انْقَطَعَ) مَا ذُكِرَ مِنْ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ (لَمْ يَحِلَّ) مِمَّا حَرُمَ بِهِ (قَبْلَ طُهْرٍ) غُسْلًا كَانَ أَوْ تَيَمُّمًا، فَهُوَ أَعَمُّ مِنْ قَوْلِهِ “قَبْلَ الْغُسْلِ” (غَيْرَ صَوْمٍ وَطَلَاقٍ وَطُهْرٍ) فَتَحِلُّ لِانْتِفَاءِ عِلَّةِ التَّحْرِيمِ

“Ketika telah usai haid dan nifas dari keterangan yang lalu, maka belum menjadi halal dari keharaman-keharaman tersebut sebelum menyucikan diri, baik mandi wajib atau tayamum, kecuali pada ibadah puasa, talak, dan masa suci, maka ia berstatus halal (dari segala keharaman) sebab hilangnya penyebab keharaman tersebut” (Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Thullab, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], Juz 1, Hal 32).
Dari keterangan di atas, Syekh al-Bujairami memberi catatan komentar berikut:

(قَوْلُهُ: غَيْرَ صَوْمٍ) لِأَنَّ الْحَيْضَ زَالَ وَصَارَتْ كَالْجُنُبِ اهـ

“(Redaksi: selain puasa), hal ini dikarenakan haidnya telah usai, sehingga ia statusnya seperti orang junub” (Sulaiman al-Bujairami, al-Tajrid li Naf’i al-Abid, [Mesir: Mathba’ah al-Halabi, 1950], Juz 1, Hal 134).
Kendati demikian, perlu dipahami pula bahwa tetap sah berpuasa meski masih berstatus junub, bukan berarti ibadah puasa tidak memerlukan kesucian dan kebersihan, sebab tidak mungkin orang yang junub tidak segera mandi ketika memasuki waktu subuh. Artinya, ia tidak bisa mengerjakan shalat subuh tanpa bersuci terlebih dahulu dengan mandi wajib atau tayamum (bila tidak dapat terlaksana mandi wajib), sebab shalat fardlu mensyaratkan bagi mushalli untuk suci dari dua hadas. Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.