Oleh:  Misbahul Khoironi*
ABSTRAK
Pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, jalannya pemerintahan di Baghdad tidaklah mulus. Banyak terjadi perang, kekacauan dan kerusuhan di beberapa daerah. Sehingga hal ini menjadi salah satu sebab munculnya dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad yang memerdekakan diri dari kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Beberapa dinasti-dinasti tersebut adalah Dinasti Idrisi di Maroko, Dinasti Aghlabi, Dinasti Thulun di Mesir, Dinasti Tahiri, Dinasti Safari, Dinasti Samani dan Dinasti Ghuznawi. Selain itu, ada beberapa dinasti yang berpengaruh dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah diantaranya Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk. Dinasti Buawaihi sempat mengambil alih kekuasaan pemerintahan selama kurang lebih 130 tahun. Sedangkan Dinasti Saljuk juga berkuasa setelah era Buwaihi yaitu selama kurang lebih 200 tahun. Runtuhnya Dinasti Saljuk sekaligus menjadi akhiri dari masa Daulah Bani Abbasiyah.
Kata kunci: Dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad, Buwaihi, Saljuk, Ghuznawi, Abbasiyah.
A. PENDAHULUAN
Setelah masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pertama berakhir, keadaan politik dunia Islam dengan cepat mengalami kemunduran. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat secara politik hanya pada periode pertama saja. Pada periode selanjutnya, pemerintahan Dinasti Abbasiyah mulai menurun. Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pada masa Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan baru selain pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan al-Mutawakkil sampai dengan al-Mu’tashim.[1] Pada masa ini hubungan antara Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan dan dinasti-dinasti baru dapat digolongkan sebagai berikut; Pertama, dinasti yang menyatakan setia pada khalifah, tetapi tidak mengirimkan hasil pajaknya pada pemerintahan pusat. Kedua, dinasti yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak tunduk pada Abbasiyah.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan yang mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang menginspirasi banyak gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-dinasti yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[2]
Selanjutnya mulai periode kedua, wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara mengambil alih kekuasaan dari khalifah. Namun, kekuasaan para tentara itu tidak bertahan lama karena mereka saling berselisih dan tidak didukung penduduk akibat kedzaliman mereka. Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasi dan dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Pada masa Bani Abbasiyah ini muncul dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya cukup banyak diantaranya adalah dinasti Idrisiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti Syaffariyah, dsb. Namun dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mengkhususkan pada pembahasan “Dinasti-Dinasti Kecil Di Barat dan Timur Baghdad” dan beberapa dinasti-dinasti yang berkuasa pada masa daulah bani Abbasiyah.
B. PEMBAHASAN
Menurut para pakar Sejarah Islam, Daulat Abbasiyah telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian dan filsafat. Sekalipun demikian menurut Philips K. Hatti dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negrinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid daerah kekuasaan ini mulai goyah baik daerah timur dan barat Baghdad. Hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H /788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M). Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M), Dinasti Samani (261 H-395 H / 874 M-1004 M).
Faktor yang mendorong berdirinya dinasti kecil ini yaitu adanya persaingan jabatan Khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap Abbasiyah antara keturunan Arab dan Non Arab, tepatnya Arab dan Persia. Pendapat lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti kecil ini pada abad ke III Hijrah, disebabkan banyaknya kegoncangan politik, yang timbul dalam dunia Islam yang dimanfaatkan oleh keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah Baghdad.[3]
a. Dinasti-Dinasti di Barat Baghdad
1. Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H /788 M-985 M)
Kerajaan ini didirikan oleh Indris bin Abdullah, cucu Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar maka dinasti idrisiyah ini lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahnya.
Pada masa kekhalifahan bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, beliau merasa posisinya terancam dengan hadirnya dinasti Idrisiyah tersebut maka Harun Ar-Rasyid berencana untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun faktor geografis yang berjauhan menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain sehingga Idris meninggal dengan cara diracun, taktik ini disarankan oleh Yahya Bermaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid. Selanjutnya Idris bin Abdullah (Idris II) menggantikan ayahnya sebagai pemerintah (177 H/793 M). Ketika Idris II wafat, Pemerintahannya diganti oleh Muhammad Al-Muntashir (213 H / 828 M). Pada masa ini, kerajaan Idrisi berpecah-pecah. Akibatnya kerajaan menjadi lemah, terutama selepas Muhammad Al-Muntashir meninggal, pemerintahannya semakin rapuh.
Kerajaan Indrisi adalah kerajaan Syiah pertama dalam sejarah. Zaman kerajaan Indrisi (172-375 H/788-985 M) adalah suatu jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Dalam aspek dakwahnya, Idrisi yang membawa Islam dan mampu meyakinkan penduduk Marocco dan sekitarnya.
2. Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M)
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab. Beliau adalah anak pegawai Khurasan, tentara bani Abbasiyah. Pada tahun 179 H/795 M, Ibrahim mendapatkan hadiah di daerah Tunisia dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dengan tujuan untuk menahan bila Idrisiyah melakukan ekspansi ke negri Mesir dan Syam, dan juga sebagai imbalan kepada jasa-jasanya dan kepatuhannya membayar cukai tahunan.[4]
Pada zaman kepeimpinananya Ibrahim berjaya mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Idrisi, menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota pemerintahan serta membangun Al-Qadim. Ibrahim berjaya memadamkan pertikaian antara Kharijiyah dan Barbar.
Dinasti Bani Aghalab di perintah oleh 11 khalifah, antara lain:

  1. Ibrahim (179 H/795 M)
  2. Abdullah I (197 H/812 M)
  3. Ziyaadatullah (210 H/817 M)
  4. Abu Ilqal Al-Aghlab (223 H/838 M)
  5. Muhammad I (226 H/841 M)
  6. Ahmad (242 H/856 M)
  7. Ziyaadatullah II (248 H/863 M)
  8. Abu Al-gharaniq Muhammad II (250 H/863 M)
  9. Ibrahim II (261 H/875 M)
  10. Abdullah II (289 H/902 M)
  11. Ziyaadatullah III (290-296 H/903-909 M)

Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam konflik berkepanjangan antara Asia dan Erofa dibawah pimpinan Ziyadatullah 1, suatu armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyang pesisir Italia, Perancis kemudian Ziyadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut Sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. kontribusi terpenting dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban islam hingga ke Erofa. Bahkan Renaisans di Italia terjadi karena tranmisi ilmu pengetahuan melalui daerah ini.[5]
Dinasti ini juga terkenal di bidang arsitektur, terutama dalam pembangunan masjid yaitu mesjid Qairawan, dan Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem.
3. Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
Kerajaan Tuluni mewakili kerajaan pertama Mesir di Syiah yang memperoleh anatomi dari Baghdad. Ahmad bin Thulun, seorang budak dari Asia Tengah Oleh karena itu, Pada tahun 254 H /868 M, Ibn Thulun dihantar ke Mesir sebagai wakil pemerintahan pada khalifah Al-Makmun. Ahmad Bin Thulun ini dikenal sebagai sosok yang di kenal kegagahan dan keberaniannya, dia juga seorang yang dermawan, Hafiz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer sehingga akhirnya menjadi gubernur di wilayah kekuasaan sampai ke Palestina dan Suriah.
Dalam membangun negeri, beliau menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memperhatikan juga, di bidang ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam.[6]
Selepas Ibn Thulun (279 H/884 M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896 M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/967 M).
b. Dinasti-Dinasti di Timur Baghdad
1. Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M)
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden di sebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari Khurassan, ia berhasil memimpin balatentaranya untuk melawan Al-Amin. Thahir adalah keturunan budak Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad dengan pusat kekuasaannya di Khurassan. Dinasti ini mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Baghdad, secara formal para penerus Thohir juga adalah pengikut khalifah Abbasiyah, mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India.
Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, para ahli sejarah mengakui bahwa dinasti ini telah menyumbang dalam kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam dan disitu mereka berkuasa sampai tahun 872 H, sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah.[7]
2. Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M)
Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia, didirikan oleh Yakub bin al Laits al Shaffar. Al Saffar menjadikan pengrajin tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur Sijistan, yang kelak memberinya kepercayaan untuk memimpin balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan Khalifah al-Mu’tamid.
Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan dengan ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya, kemudian pada dua tahun berikutnya, ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 256 H terjadilah puncak kemelut di ibukota Samarra. Demikian pula khalifah penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa pemerintah tampak berkurang.
Dengan meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan Amr, ia menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap berusaha memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat itu secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat dari pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu Ahmad dari Bani Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua hasil penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam kekuasaannya.
Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan perhatian oleh para sejarawan.Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu Muhammad (900-909 M), al-His ibnu Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil ibnu Ali (910-911 M). Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan dalam pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.[8]
3. Dinasti Samani (261 H-395 H / 874 M-1004 M)
Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand. Yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan Saman, yaitu seorang bangsawan dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin Ahmad, cucu dari Saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil merebut Khurassan dari genggaman dinasti Saffarriyah. Ketika berada dibawah kepemimpinan Nashr II (Ibn Ahmad yang berada di garis keturunan ke 4 Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi, dan Tabaristan.[9]
Berdirinya dinasti Samaniyah ini di dorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan diri terlepas dari baghdad. Dimata Baghdad, Samaniyah adalah para amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di mata rakyat, kekuasaan mereka tak terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, Al-Razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada masa ini pula, pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibnu Sina muda tinggal di Bukhara dan memperoleh mengakses buku-buku. Disanalah ia memperoleh imu-ilmu yang tak ada habisnya.
Sejak masa media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia yang cenderung mulai berkembang, bahkan Ibnu sina pernah menjabat sebagai mentri. Kendati merupakan dinasti yang paling cerah, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan.
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail. Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.[10]
Pada masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki perpustakaan yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya terdapat kitab-kitab masyhur dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya. Mereka juga membantu menghidupkan kembali bahasa Persia.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu. Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari Ismail. Belum lama memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh Samani merasa khawatir, sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania. Lalu tokoh Samani menyampaikan permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan. Serangkaian revolusi istana memperlihatkan bahwa kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan sentralisasi administratif para amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini. Dan pada tahun 1005 M Ismail al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya.[11]
c. Dinasti-Dinasti Besar Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
1. Dinasti Ghuznawi (365 H-583 H / 977 M-1187 M)
Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan, Pakistan dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di kota Ghazna Afganistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala menggantikan kuil dengan masjid dan mampu berjaya sampai kurang lebih 220 tahun.
Pendiri dinasti Ghaznawiyah adalah Sabaktakin keturunan alptakin bangsa Turki, salah seorang pendiri kerajaan kecil di bawah naungan kerajaan bani Saman yang sedang berjaya. Pada tahun 961 M Raja bani Saman Abd Malik bin Nuh, mengangkat Alptakin menjadi Gubernur di Hirrah, Barat Laut Afganistan. Jabatan ini berakhir ketika rajanya meninggal dunia dan digantikan oleh Mansur bin Nuh. Oleh karena itu Alptakin bersama anak buahnya pergi menuju Ghazna dan menguasai wilayah itu pada tahun 962 M, dan menjadikan Ghazna sebagai basis perlawanan menghadapi Mansur bin Nuh.
Setelah Alptakin wafat digantikan oleh salah satu keturunanya yaitu Sabaktakin. Ia menjadi penguasa dinasti Ghaznawiyah pada tahun 977 M. Pada awalnya ia memiliki Khurasan sebagai hadiah dari raja Samani Nuh bin Mansur atas jasanya berhasil memadamkan pemberontakan di Transoxiana. Setelah menguasai Persi, Sabaktakin menguasai Pesyawar, kemudian Kabul dan wilayah India. Setelah berjuang selama 20 tahun Sabaktakin meninggal pada tahun 997 M. Walaupun berasal dari bangsa Turki namun ia dapat menyatukan kedua bangsa Turki dan Afganistan karena sama sama satu madhab yaitu ahlu sunnah wal jamaah.
Sabaktakin digantikan oleh putranya, Mahmud yang bergelar Mahmud Ghaznawi pada tahun 999 M, tetapi masih mengatasnamakan dinasti Samani sehingga ketika di Balkan terjadi pemberontakan terhadap dinasti Samani, Mahmud membantu Abd Malik bin Mansur raja Samani. Pada tahun 1004 M, Muntasir dinasti Samani terakhir mati terbunuh, kemudian Mahmud Ghaznawi secara resmi memperoleh pengakuan dari Khalifah Abasiyah Al-Qadir dan digelari Yamin al-Daulah.
Pemerintahan Mahmud Ghaznawi banyak diwarnai denga peperangan sebagai upaya memperluas wilayah kekuasannya terutama ke India. Pada tahun 1001 M Mahmud menaklukkan Kabul, Multan dan Kasmir. Di setiap daerah penaklukkan, ajaran Brahmanisme dikikis dan diganti dengan ajaran Islam. Tahun 1006 menguasai Punjab, Kangra, Balujistan, Delhi, Mathura, Kalijar, Sind, Makran, Kirman, Surat dan terakhir Gujarat. Untuk menmgendalikan kekuasaannya di India Mahmud mengangkat seorang gubernur yang berkedudukan di Lahore Penaklukan India memerlukan waktu 24 tahun.
Mahmud Ghaznawi adalah orang yang ahli dalam ilmu peperangan, pembangunan dan pengembangan ilmu.pecinta ilmu dan sangat menghormati sarjana. Kota Ghaznah bukan saja sebagai tempat pertahanan tetapi juga tempat berkumpulnya para ahli hukum, ulama, fuqaha, para ahli bahasa, tasawuf dan falsafah. Mahmud membangun istana di Afghan, Shal, membangun taman Sad Hasan, Istana Fazuri, membangun masjid yang megah dan indah di Ghazna yang terkenal dengan nama Arus al-Falaq, membangun sekolah yang dilengkapi dengan perpustakaan.
Pada masa Mahmud dan Mas`ud tercatat ada beberapa ilmuwan seperti Bin al-Arraqi , bin al-Khammar, al-Marasyi (w 420 H), al-Utby (w 427 H), dan al-Baihaqi, ketiganya penulis sejarah al-Furrakhi, al-Asyadi (penyair dalam bahasa Persi), dan penyair Arab terkenal Badi` al-Zaman al-Hamdani.
Sayang setelah Mas`ud bin Mahmud, sultan-sultan Ghaznawiyah tidak ada yang kuat sehingga dinasti Ghaznawiyah mengalami kemunduran, melemah dan hancur.
2. Dinasti Buwaihi (320 H-454 H / 932 M-1062 M)
Kehadiran bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Ayuja Buwaihi yang berprofesi sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu:

  1. ‘Ali ibn Buwayh yang oleh Khalifah al-Mustakfi digelar sebagai ‘Imad al-Daulah.
  2. Hasan ibn Buwaihi bergelar Rukn al-Daulah.
  3. Ahmad ibn Buwaihi bergelar Mu’iz al-Daulah.

Sejarah mencatat bahwa Mardawij ibn Ziyar al-Jilli pendiri dinasti Ziyariyah, di Thabaristan dan Jurjan, bersekutu dengan Buwaihi. Persekutuan ini dimungkinkan karena Mardawij memiliki rasa kepersiaan yang kuat sedangkan kalangan Buwaihi sendiri, khususnya Rukn al-Daulah sangat terpengaruh dengan gagasan kepersiaannya. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaihi bermula.
Dominasi kekuasaan Bani Buwaihi di Baghdad berlangsung selama 130 tahun. Pada masa Dinasti Buwaihi, para khalifah Abbasiyah praktis tidak mempunyai kekuasaan, hanya tinggal namanya dasebagai lambing. Mereka hanya merupakan khalifah simbolis. Tata kelola, mamajemen, dan pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaihi. Bahkan posisi, tugas, dan keadaan khalifah lebih buruk dari pada maasa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaihi adalah penganut paham Syi’ah, sementara Bani Abbas adalah penganut paham Sunni.[12]
Ketika berada di bawah kekuasaan Dinasti Buwaihi kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad.
Banyak kemajuan-kemajaun yang terjadi di zaman Dianasti Buwaihi, terutama ketika kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah (949-983 M). Dalam dukunganya terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau melakukan pengembangan antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs udah usang, dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, observatorium terkenal dan lain-lain.
Dalam perjalanan berikutnya, karena adanya peperangan antara pembesar-pembesar dinasti Buwaihi antara lain Baha’, Syaraf dan saudara ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, dan juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka, serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Selain itu dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah menggeser kekuasaan Dinasti Buwaihi. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ”undangan” Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Dan inilah akhir dari kekuasaan Dinasti Buwaihi.
3. Dinasti Saljuk (454 H-656 H / 1062 M-1258 M)
Nama dinasti Saljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh yang berasal dari keturunan Turki yaitu Saljuk bin Tuqaq.berasal dari kabilah kecil keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua puluh kabilah kecil lainnya  bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula gabungan kabilah ini tidak memiliki nama, hingga muncullah tokoh Saljuk putra Tuqaq yang mempersatukan mereka dengan memberi nama suku Saljuk. Negeri asal mereka terletak di kawasan utara laut Kaspia dan laut Aral.[13]
Pada mulanya Saljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut kaspia. Saljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Saljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja Bequ bermaksud menyingkirkan Saljuk, namun sebelum rencana itu terlaksana Saljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak tetapi bersama dengan para pengikutnya ia  berimigrasi ke daerah Jand atau disebut juga daerah muslim di wilayah Transoxiana antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Jihun.[14]
Adapun silsilah kelurga Dinasti Saljuk bisa perinci  bahwa Saljuk Ibnu Tuqaq memiliki dua orang putra yaitu Mikail dan Arselan Payghu namun dalam leteratur lain disebutkan bahwa Saljuk memiliki empat orang anak yaitu Arselan, Mikail, Musa dan Yunus. Mikail memiliki dua orang putra yaitu Chager Bek Daud dan Tughril Bek. Chager Bek Daud memiliki dua orang putra yaitu Alp Arselan dan Kaward. Alp Arselan memiliki dua orang putra yaitu Malik Syah dan Tutush. Malik Syah memiliki empat orang putra yaitu Bargiyaruk, Muhammad, dan Sinyar serta Mahmud.
Berikut Daftar para pemimpin Dinasti Saljuq:[15]

  1. Rukn al-Dunya wa al-Din Thugril Bek I (429 H/1038 M)
  2. Adud al-Daulah Alp Arslan (455H/1063 M)
  3. Jalal al-Daulah Malik Syah I (465H/1072 M)
  4. Nasir al-Din Mahmud I (485 H/1092 M)
  5. Rukn al-Din Barkiyaruq (487 H/1094 M)
  6. Mu’izz al-Din Malik Syah II (498 H/ 1103 M)
  7. Ghiyath al-Din Muhammad I (498 H/1103 M)
  8. Mu’izz al-Din Sanjar (511-522H/1118-1157 M)

Beberapa capaian pemimpin Dinasti Saljuk yang cukup besar adalah pada masa Thugril Bek I, Alp Arslan dan Malik Syah I. adapun keberhasilan dari kepemimpinan Thugril Bek I adalah merebut kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah dari Dinasti Buwaihi yang notabenya menganut paham Syi’ah. Hal ini dilakukan atas permintaan khalifah Al-Qaim yang secara rahasia meminta bantuan kepada Dinasti Saljuk. Sehingga Baghdad dapat lepas dari kekuasaan Dinasti Buwaihi dan paham Sunni mulai membesar lagi.[16] Selanjutnya masa kepemimpinan Alp Arslan yang mana pada masa ini pasukan Dinasti Saljuk sukses mengalahkan pasukan Romawi dan ini menjadi pertanda dikuasaninya Byzantium (Romawi) oleh pasukan pimpinan Alp Arslan. Kemudian pada masa pimpinan Malik Syah I yang mana pada masa ini wilayah Saljuk sangat luas dan membentang dari Kashgor (sebuah daerah di ujung daerah Turki) sampai Yerussalem. Untuk itu dibagilah daerah kekuasaan itu menjadi lima bagian untuk lebih mudah dalam mengendalikan, mengurus, mengelola dan menjaganya. Adapun lima daerah tersebut adalah:

  1. Saljuk Besar (Iran) dipimpin oleh Malik Syah I
  2. Saljuk Qawurdiyun (Kirman) dipimpin oleh Qawurt Bek bin Dawud bin Mikail bin Saljuk
  3. Saljuk Iraq (Irak dan Kurdistan) dipimpin oleh Mughirs al-Din Mahmud
  4. Saljuk Syam (Suriah) dipimpin oleh Tutush bin Alp Arslan bin Daud bin Mikail bin Saljuk
  5. Saljuk Rum (Romawi/Asia Kecil) dipimpin oleh Qatalmasy bin Israil bin Saljuk.[17]

Pasca kematian Sultan Malik Syah dan Perdana Menteri Nizalmul Muluk, kekuasaan Saljuk Agung mulai keropos. Faktor-faktor internal dan eksternal menyumbang bagi keruntuhan kekuasaan Dinasti Saljuk, yaitu:

  1. Rivalitas antar pemimpin Saljuk di Iraq, Syiria, dan Persia pasca kematian Malik Syah.
  2. Pasca kematian tiga sultan (Thugril Bek, Alp Arslan, dan Malik Syah) dan pasca kematian Perdana Menteri (wazir) Nizamul Muluk, Dinasti Saljuk tidak mempunyai tokoh pemimpin yang kuat dan memiliki integritas dan kapasitas yang mampu mengelola dan mengatur administrasi Negara.
  3. Praktik intervensi dan perebutan pengaruh para Atabeg (panglima, wali asuh para pangeran, dan Putra Mahkota Saljuk) yang semakin dominan dalam urusan Negara dan pemerintahan.
  4. Gerakan perlawanan yang dilancarkan oleh kaum Syi’ah Ismailiyah (kelompok Hasyasyun/Assasins) pimpinan Hasan bin al-Sabah terhadap dinasti Saljuk.
  5. Penerapan system iqtha’ yang memberikan tanah-tanah yang dikuasai oleh Dinasti Saljuk kepada para panglima tentara.
  6. Penerapan system otonomi semi-independen oleh Dinasti Saljuk membuka peluang bagi gubernur untuk memisahkan diri dari kekuasaan pusat menjadi negara-negara kecil.
  7. Perang melawan tentara Byzantium-Kristen yang sangat menguras tenaga, pikiran dan waktu  sehingga sangat melelahkan mental dan fisik  tentara Saljuk.
  8. Pengaruh serangan tentara Mongol oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad dan hal ini menjadi tanda berakhirnya dinasti Saljuk dan secara umum menjadi runtuhnya Daulah Bani  [18]

C. KESIMPULAN
Menurut para pakar Sejarah Islam, Daulat Abbasiyah telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian dan filsafat. Sekalipun demikian menurut Philips K. Hatti dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negrinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid daerah kekuasaan ini mulai goyah baik daerah timur dan barat Baghdad. Hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H /788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M). Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M), Dinasti Samani (261 H-395 H / 874 M-1004 M).
Faktor yang mendorong berdirinya dinasti kecil ini yaitu adanya persaingan jabatan Khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap Abbasiyah antara keturunan Arab dan Non Arab, tepatnya Arab dan Persia. Pendapat lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti kecil ini pada abad ke III Hijrah, disebabkan banyaknya kegoncangan politik, yang timbul dalam dunia Islam yang dimanfaatkan oleh keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah Baghdad.
Selain itu, juga terdapat beberapa Dinasti yang ikut andil dalam mengukir sejarah pada masa Daulah Bani Abbasiyah, yaitu Dinasti Ghuznawi (365 H-583 H / 977 M-1187 M), Dinasti Buwaihi (320 H-454 H / 932 M-1062 M) dan Dinasti Saljuk (454 H-656 H / 1062 M-1258 M). Dua dinasti terakhir memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang secara berurutan menduduki periode ke tiga dan ke keempat dari Daulah  Bani Abbasiyah.
 
*Mahasiswa Pascasarjana di IAIN Tulungagung dan Sebagai Salah Satu Mahasantri Ma’had Aly Al-Kamal Blitar.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Bakar, Istianah Abu. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN-Malang Press.
Fuadi, Imam. 20011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Hitti, Philip K. 2007. History of Arabs. terj. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ismail, Faisal. 2017. Sejarah Dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XIII M). cet. 1. Yogyakarta: IRCiSoD.
Mahyuddin. 2009. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa  Klasik Hingga Modern. ed. Siti Maryam. dkk. cet. 3. Yogyakarta: LESFI.
Mughni, Syafiq A. 2001. Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syalabi, Ahmad. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam. terj. Mukhtar Yahya. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Yatim, Badri. 2001. Sejarah Kebudayaan Islam II. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam.
[1]Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 87
[2]Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam II, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 2001) hal. 438
[3]Ibid., hal., 156
[4]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1997), hal., 165
[5]Ibid., hal., 166
[6]Philip K. Hitti, History of Arabs, terj., (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal., 451
[7]Ibid., hal., 463
[8]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal., 276
[9]Philip K. Hitti, History of …., hal., 463
[10]Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban…, hal., 105
[11]Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal., 183-184
[12]Faisal Ismail, Sejarah Dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XIII M), cet. 1, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hal., 340
[13]Syafiq A Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal., 13
[14]Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan…., hal., 73
[15]Mahyuddin, 308, Hitti, 602, Dudung Abdurrahman, dkk. Sejarah Peradaban Islam: dari Masa  Klasik hingga Modern, ed. Siti Maryam ,dkk., cet. 3, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal., 308
[16]Faisal Ismail, Sejarah Dan Kebudayaan…, hal., 346-347
[17]Ibid., hal., 350-351
[18]Ibid., hal., 356-358