Keikhlasan Mbah Yai Abu Umar (Edisi Ngaji Dan Ngabdi 101)
Tadi malam saya ditaqdir oleh Allah untuk ambil bagian dalam laporan pertanggung jawaban Yayasan Masjid Bayturrahman. Sebuah yayasan yang dahulu diinisiasi oleh mbah buyut yang bernama Kyai Abu Umar. Bermula dari perjuangannya mewakafkan sepetak pekarangan di depan rumahnya untuk didirikan masjid Bayturahman dan Madrasah Diniyah Miftahul Ulum. Dari inisiatif perjuangan inilah kemudian banyak dari tokoh-tokoh masyarakat desa akhirnya bergabung untuk menyerahkan sawah atau pekarangannya untuk digunakan operasional  masjid dan madrasah. Mbah Yai Abu Umar berhasil mengajak para tokoh masyarakat sekitar Desa Bendosari tidak hanya dari sisi materi saja, bahkan dari sisi pengamalan agama Islam para masyarakat juga merubah pemahaman dan pengamalan Islamnya.
Di antara perubahan yang terjadi di masyarakat adalah masyarakat desa menokohkan Kyai Abu Umar sebagai tokoh agama satu-satunya yang menjadi panutan dalam mengamalkan Islam. Tradisi menokohkan kyai sejak dahulu sampai sekarang pun masih terjadi walaupun Mbah Kyai Abu Umar sudah wafat sejak tahun 1980-an. Pertanyaannya kemudian mengapa Mbah Kyai Abu Umat menjadi simbol panutan agama di desa?. Sejauh penglihatan penulis Kyai Abu Umar adalah orang yang bersahaja dalam menampilkan sikapnya. Dia bisa bergaul dengan siapa saja, baik tokoh politik, tokoh agama, tokoh masayarakat atau adat sekitar. Dalam kehidupan sehari-haripun juga terlihat sederhana atau tampil dalam kesan kekurangan sebagai seorang tokoh. Bahkan Kyai Abu Umar dapat hidup di tengah-tengah lingkungan yang menjadi obyek amar ma’ruf nahi mungkar. Misalnya mempunyai rumah di tengah kampung para pekerja pabrik, lokalisasi, masyarakat abangan atau sebutan lain bagi masyarakat awam. Itulah profil singkat dari pendiri Yayasan Masjid Bayturahman, yang dapat dijadikan tauladan bagi kita penerusnya.
Selain kesederhanaan dalam performa keseharian, totalitas kecintaan dalam perjuangan Agama Islam menjadi catatan penting setiap pejuang Islam. Dengan totalitas mengamalkan Islam akhirnya seseorang akan tumbuh sikap keikhlasan, bahwa dalam berjuang hanya berharap ridla dari Allah, murni tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya, tanpa berharap balasan duniawi, materi, posisi ataupun identitas yang lain, sebagaimana  sufi besar dari Mesir, Syekh Dzunnun Al Misri,

ثلا ث من علا ما ت الاخلاص : إستواالمدح والذ م من العامة , ونسيا ن رؤ ية العمل فى الا عما ل ونسيا ن إعتضا ء ثواب العمل فى الا خرة

Artinya; “ Ada tiga tanda keikhlasan seseorang: jika ia menganggap pujian dan celaan orang sama saja, jika ia melupakan pekerjaan baiknya kepada orang lain, dan jika ia lupa hak kerja baiknya untuk memperoleh pahala di akhirat”. Mbah Yai Abu Umar tidak pernah mempertimbangkan pujian atau celaan dari orang-orang sekitar walaupun dirasani orang-orang disekitarnya Ketika mukim di sekitar lokalisasi. Mbah Yai Abu Umar juga juga tidak mengharapkankan jerih payahnya(amalnya) dihargai atau dibalas oleh orang  lain sampai-sampai pakaian kesehariannya kadang sobek, sarungnyanya juga tidak bermerek, tutup kepalannya kadang tidak mempunyai pojok-an, bahkan untuk menutupi tutup kepalanya yang jelek dia kadang kain-kain dijadikan udeng-udeng di kepalanya. Tetapi harapanya dia amalnya dinilai oleh Allah, terbukti situs perjuangannya masih disebut-sebut, dikenang, dibacakan Al-Fatihah tahlil oleh masyarakat sekitarnya.
Suri tauladan yang diberikan oleh Mbah Yai Abu Umar nampaknya membawa pengaruh perilaku kepada  masyarakatnya. Contohnya tradisi wakaf yang didahului oleh mbah yai dicontoh mereka dengan memberikan sebagian tanah atau hartanya untuk kepentingan masjid dan madrasah. Di antara nama-nama wakifin adalah Mbah Yai Abu Umar, Mbah Kyai Ambar, Mbah Sumiatun, Mbah Kanirah, Mbah Hj. Repi, Mbah Hj. Rohemi, Mbah Hj. Inem, Mbah Hj. Tukinah, mbah Sunarmi, Bu Tatik, Bu Harin, H. Muh Yasin, H. Subandi, Siti Zulaikah dan lain-lain yang belum teridentifikasi. Artinya suri tauladan keikhlasan dari Mbah Kyai Abu Umar memberikan dampak perubahan sosial ekonomi, ketika mbah yai mendakwahkannya.
Dari semangat pembaruan Islam lokal yang dinovasi oleh Mbah Abu Umar, perubahan perilaku lagi dalam bidang pengajaran dan pendidikan Islam, di Desa Bendosari itu. Masyarakat sekitar akhirnya tumbuh kecintaan terhadap belajar agama tidak hanya untuk golongan yang tua, tetapi juga  untuk generasi mudanya. Untuk generasi yang tua biasanya mereka mbelajar agama dengan mengikuti ajaran atau praktik thariqah, baik Qadiriyah, Akmaliyah, Naqsyabandiyah, Syadhiliyah. Pengajaran lewat thariqah ini akkhirnya di Masjid Bayturahman selalu dijalankan berkumpulnya para pengikut thariqah yang melaksanakan shalat Jumat baik laki-laki atau perempuan, praktik tawajuhan, praktek selasan, juga masuk pondokkan di pesantren suluk, misalnya di Pondok Baran, di pasulukan KH Bakar Pelas, di Pesantren Suluk Mantenan Blitar. Sementara yang muda-muda diarahkan untuk belajar agama di pesantren-pesantren sekitar. Ada yang di Pesantren al-Falah Ploso, Pesantren Lirboyo, Pesantren Kemayan Mojo, Mantenan Blitar dan pondok-pondok pesantren sekitar. Akhirnya yang meneruskan perjuangan dan pengajaran Islam adalah generasi-generasi yang alumni pesantren-pesantren ini.
Demikian kokohnya keimanan dan keIslaman masyarakat sekitar akibat dakwah oleh Mbah Yai Abu Umar, pengamalan ajaran agama secara totalitas sudah tidak lagi memperhitungkan materi, baik untuk wakaf, jariyah perjuangan atau untuk melksanakan ibadah haji di tanah suci. Pada awal abad 20 an itu sudah banyak orang-orang kaya di desa yang menjual tanahnya untuk berhaji, padahal ibadah haji tempo dulu biayanya mahal juga waktunya sampai 6 bulan atau satu tahun. Sering didengar cerita para orang tua yang menjual sawah atau ladangnya sampai beribu-ribu meter demi untuk menyempurnakan ke-Islam-an mereka. Padahal dilihat dari pemahaman keagamaan mereka masih katagori awam atau abangan. Misalnya orang-orang dulu yang teringat sudah haji adalah H. Soyono, H. Abd. Syukur, H. Inem, H. Shodiq, H. Mashudi, H. paidi dan lain-lain. Mereka-mereka ini tidak pernah mengenyam pendidikan yang mumpuni, baik formal atau pesantren, madrasah diniyah, hanya karena dakwah dari mbah kyai, semangat kecintaan terhadap Islam akhirnya dapat melaksanakan rukun Islam yang ke lima.
Figur seorang Kyai Abu Umar memang inovatif pada zamannya, dia dengan ikhtiyar dan keikhlasannya dapat melakukan perubahan sosial di masyarakat, dari masyaarakat awam menjadi santri yang cinta kepada Islam, dari yang tidak tahu menjadi tahu tentang manisnya mengamalkan Islam, dari yang tidak ada masjid menjadi ada masjid dan pengajian madrasah, dari yang tidak ada kelompok thariqah menjadi ada. Kelestarian perjuangan Kyai Abu Umar dilanjutkan oleh Mbah Kyai Ambar. Semangat perjuangan Mbah Ambar (orang menyebutnya) juga sama dengan Mbah Abu Umar, baik dalam totalitas mengamalkan Islam dengan mewakafkan sebidang tanahnya, kesederhanaan, ke-Islam-an, keikhlasan, ketaatan, pendidikan, kelompok thariqah dan sebagainya. Pada masanya inovasi dari Mbah Ambar yang paling kuat dakwahnya adalah bidang tarbiyah, pendidikan diniyah dan kelompok thariqahnya. Artinya madrasah diniyah yang dulunya hanya lesehan di masjid pada masa mbah ambar dibangunkan sebuah lokal besar madrasah diniyah, sampai sekarang masih tegak berdiri. Tradisi pembelajaran madrasah secara klasikal inilah nantinya yang menjadi embrio perkembangan pendidikan formal yang sampai sekarang berjalan. Hanya harapannya semoga kita yang melanjutkan dapat mengikuti para kyai-kyai kita, yang begitu ikhlasnya menyiarkan, mengajarkan Islam pada tingkat lokal ini. Karena dari praktik pengajaran Islam lokal inilah dapat memberikan kontribusi islam pada skala yang lebih besar, terutama dalam regenerasi kader-kader pejuang Islam yang Ikhlas. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
* Asmawi Mahfudz (Dewan Pembina Yayasan Bayturahman Kras Kediri, Khadim PP Al-Kamal Blitar dan Pengajar di UIN Tulungagug.)