Manaqib Sosial KH Mahmud Hamzah: Edisi Haul ke 16 Risalah Ngaji dan Ngabdi 105
Hari ini tanggal 1 Sya’ban 1445 H, 16 tahun yang lalu Pesantren al-Kamal berduka karena wafatnya pengasuh, yakni KH Mahmud Hamzah bin KH Hamzah bin KH Syarif. Kyai kelahiran Kalirejo Kangkung Kendal Jawa Tengah 8 Agustus 1948, 76 tahun yang lalu. Tulisan ini dalam rangka mengenang tentang manaqib beliau, baik dari sisi kehidupan keluarganya, latar sosial pendidikannya, beberapa jasa pengabdiannya, pekerjaan ma’isyahnya, amal ibadahnya sehari-hari, peran kemasyarakatannya, thariqah sufi yang dijalaninya dan lain-lain. Harapannya dengan tulisan ini dapat menjadi pengingat untuk santri dan alumni yang pernah menimba ilmu darinya, baik dari pesantren, masyarakat umum atau jamaah-jamaah pengajian yang lainnya. Bahwasanya Kyai Mahmud Hamzah pernah mewarnai kehidupan kita dalam hal penyebaran ilmu ataupun aspek pemberdayaan kemasyarakatan. Sebagai seorang ulama akhirnya dapat dijadikan i’tibar bagi murid-murid dan masyarakat yang pernah berinteraksi dengan Kyai Mahmud. Sebagaimana dawuh,

هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

   “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambilnya”.
Dari sisi Pendidikan, Kyai Mahmud menjalani sekolah formal mulai MI sampai perguruan Tinggi, tepatnya MI di Kalirejo Kendal, SMP di Cepiring Kendal, SMA di Krapyak Yogjakarta, perguruan Tinggi di Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri Fakultas Syariah sampai sarjana muda, kemudian dilanjutkan di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah. Seiring dengan Pendidikan formalnya, juga menjalani pendidikan madrasah diniyah di berbagai Pesantren. Diantaranya adalah Pondok Pesantren Krapyak Yogjakarta, Pesantren Bendo Pare Kediri, Pesantren Lirboyo kediri dan Pesantren al-Kamal Blitar. Maka dari sisi pendidikan Kyai Mahmud tipe kyai yang sudah maju pada zamannya. Mengingat pada abad 20-an semangat kebangkitan Islam, memang terus didengungkan oleh Umat Islam. Sehingga pengayaan keilmuan dari sisi agama saja dirasa kurang, sehingga harus dipadu dengan pendidikan formalnya. Maka dari latar pendidikan inilah dari yang membekas dalam menampilkan peran-peran dalam kehidupan selanjutnya. Baik dalam perjuangan ilmiyah menyampaikan ilmu, perjuangan ijtimaiyah kemasyarakatan, atau perjuangan thalab ma’isyah pemenuhan ekonomi dan kebutuhan.
Selanjutnya kiprah Kyai Mahmud setelah menimba ilmu yang begitu panjang, peran pengabdiannya dimulai dengan khidmah, mengabdi di PP HM Lirboyo Kediri, tepatnya saat kepengasuhan diampu oleh KH. Mahrus Ali dan KH Marzuki Dahlan. Cerita beliau semasa hidupnya di Lirboyo dijalaninya selama 4 tahunan, yang kemudian saat dia kuliah di Jakarta juga pernah mengabdi dengan mengajar di Yayasan Islam al-Ziyadah. Pada saat inilah Kyai Mahmud sambung dengan Bu Nyai Astutik Hidayati, yang saat itu juga mengabdi di Dewan Masjid Indonesia. Kyai Mahmud saat di Lirboyo mempunyai teman yang bernama H. Sunandari. Seiring sengan silaturahim yang terjalin dengan H Sunan inilah, kemudian kenal dengan Bu Nyai Tutik, yang notabene juga sepupu dari H. Sunandari. Maka dengan proses keluarga yang sepakat antara Blitar dan Kendal, akhirnya Kyai Mahmud menjadi suami dari Bu Nyai Tutik, putri pertama dari KH. Thohir Widjaya.
Mulai dari situlah khidmah, pengabdian kemasyarakatan Kyai Mahmud kemudian dijalani di Pesantren di al-Kamal Kunir Blitar. Di sini banyak inovasi yang dilakukan untuk memajukan al-Kamal Blitar, diantaranya mengembangkan jenjang Pendidikan santri. Yang semula tidak ada madrasah Aliyah, Kyai Mahmud berinisiasi membabatnya, yang kemudian menjadi mudir pertama di Madrasah Aliyah al-Kamal, yang sekarang menjadi MAN 3 Blitar.  Saat menjadi mudir di madrasah ini, banyak cerita bahwa Madrasah Aliyah al-Kamal mencapai puncak keemasanya dengan ditandai kualitas santri yang baik, jumlah siswa yang banyak, fasilitas sekolah yang memadai. Karena saat itu al-Kamal mempunyai jaringan politik yang kuat dengan keberadaan Kyai Thohir di Jakarta sebagai Anggota DPR-MPR, DPA, ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Ketua Dewan Dakwah Islam.
Saat itu pula rentang waktu 1980-2008, Kyai Mahmud juga memajukan kajian-kajian kitab kuning di Pesantren al-Kamal ini dengan diajar sendiri mulai pagi sampai malam, baik di madrasah diniyah, pengajian kitab dengan santri pagi atau sore, pengawalan praktek bahasa Arab. Saat itu pula Kyai Mahmud juga mengajak masyarakat desa Kunir dan sekitarnya untuk ngaji kitab kuning. Kitab yang pernah dikajinya dengan masyarakat adalah Husun al-Hamidiyah, Bidayat al-Hidayah, Taysir al-Khalaq, Tafsir Jalalayn.  Pada tahun 2002 Kyai mahmud juga berinisiasi mengadakan pengajian kitab kuning dengan para alumni, yang waktu itu ditentukan kitabnya adalah qami’ al-thughyan. Kyai Mahmud juga mendorong untuk diadakannya Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) al-Kamal. Dan sejauh pengetahuan penulis problematika haji yang berhubungan dengan praktik ibadahnya referensi rujukan kitabnya selalu melalui Kyai Mahmud.
Peran Kemasyarakatannya lagi, Kyai Mahmud selalu berusaha untuk ngayomi masyarakat desa Kunir untuk mengadakan shalat Ied di lapangan desa. Dengan alasan demi kerukunan umat, mengajak mereka-mereka yang jauh mau shalat berjamaah bersama di lapangan. Walaupun sebenarnya praktik ini sudah ada sebelum Kyai Mahmud, tetapi dia selalu istiqamah mengikutinya supaya shalat Ied bersama masyarakat desa tetap berjalan. Soalnya kalau sampai Pesantren tidak mengayomi shalat di lapangan, bisa jadi warga masyarakat yang biasa shalat Ied di lapangan tidak melaksanakan shalat Ied lagi, karena sudah tidak ada figur yang dijadikan panutan, yang mau membimbingnya.
Peran kemasyarakatan lagi adalah mengisi pengajian kitab Kuning di Masjid Agung kota Blitar. Pengajian ini biasanya dijalani seminggu sekali, dengan materi kitab bidayat al-hidayah. Dari beberapa jamaah Masjid Agung, mereka selalu menceritakan bahwa apa yang disampaikan oleh Kyai Mahmud selalu kontekstual, penjelasannya mudah diterima, pemahamannya tentang kitab kuning juga alim. Sehingga peran di masjid Agung tidak hanya menyampaikan kajian kitab kuning, juga menjadi khatib shalat Jumat.
Selain itu peran pemberdayaan terutama yang berkaitan dengan kajian kitab kuning dijalani ketika menjadi hakim di Pengadilan Agama, baik wilayah Kediri atau Blitar. Menurut paparan berbagai kolega hakim dan karyawan di Pengadilan Agama, Kyai Mahmud selalu menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan perkara, ketika harus memakai referensi kitab kuning. Mereka para hakim mengakui bahwa Kyai Mahmud selalu dapat memberikan solusi jawaban dari problematika hukum Islam yang dihadapi para hakim di Pengadilan Agama, dengan berbagai rujukan kitab kuning. Sehingga dari praktik keseharian bertanya kepada Kyai Mahmud inilah di Pengadilan biasanya pada saat waktu istirahat selalu mengadakan pengajian kitab kuning. Hal ini biasanya dijalani seminggu sekali, tetapi saat bulan Ramadhan dilaksanakan tiap hari. Materinya pun biasanya berkaitan dengan fiqih atau akhlaq tasawuf.
 Itulah sekilas tentang peran sosial dari Kyai Mahmud yang mungkin dari para alumni, santri, keluarga, masyarakat dapat memberikan data yang lebih. Hanya ada beberapa catatan bahwa keberhasilan Kyai Mahmud dalam menjalani peran sosialnya karena didasari dengan kedalamn ilmu agamanya, barokah kyai-kyai yang telah mengajarkannya baik di sekolah formal maupun di pesantren-pesantren tempat mengaji dan mengabdi. Berangkat dari kedalaman ilmu itulah akhirnya masyarakat sekitar berkehendak untuk belajar kepadanya. Sehingga ilmu yang dipunyai oleh kyai Mahmud memberikan manfaat baik untuk dirinya, keluarganya, santri-santrinya ataupun masyarakat pada umumnya. Ini sesuai dengan dawuh

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”
Wa Allahu A’lam
*Penulis adalah Pengajar UIN Satu Tulungagung, Pengasuh PP al-Kamal Dan Fungsionaris NU Blitar