Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.

Artinya: Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (57). Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran (58). Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman (59). Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”(60).
Pada ayat sebelumnya Allah memberikan tuntunanya kepada kita, bahwa orang-orang yang menentang atau membantah ayat-ayat Allah dengan tanpa dalil atau hujah yang jelas, dikarenakan kesombongan yang ada dalam hati mereka akan kebenran ajaran tauhid kepada Allah. Untuk itu Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah untuk berlindung kepada-Nya dalam menghadapi kesombongan orang-orang kafir tersebut. Kesombongan dan kepongahan yang ada dalam hati mereka(orang-orang kafir) tidaklah akan bisa mengantarkan kepada kepada tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini Allah maha mendengar terhadap semua perkataan yang diucapkan oleh orang-orang kafir, dan maha mengetahui kepada semua perbuatan kekafiran yang disebabkan oleh kesombongan tersebut.
Pada ayat ini Allah juga berfirman yang berhubungan dengan kesombongan hati orang-orang kafir, yakni tentang keingkarannya terhadap hari kebangkitan (al-ba’ts). Suatu masa sesudah mati di mana semua makhluq akan dibangkitkan untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Padahal menciptakan langit dan bumi merupakan perbuatan yang lebih besar dibanding untuk membangkitkan manusia kembali sesuadah mati. Pada ayat 57 surat Ghafir ini disebutkan, yang artinya” Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia…” Kata-kata lebih besar (akbar) merupakan istilah yang biasa digunakan oleh manusia untuk membanding antara sesuatu dengan yang lain, menurut kebiasannya. Hal ini bukan berarti menyandarkan kepada perbuatan Allah dengan lebih besar, tetapi untuk mempermudah pemahaman manusia ketika memahami, bahwa penciptaan langit dan bumi menurut ukuran manusia lebih berat dibanding dengan membangkitkan manusia, baik penciptaan yang pertama kali maupun penciptaan kembali sesudah mati. Hal ini perlu diberikan penjelasan, supaya tidak ada salah persepsi  tentang penciptaan Allah, karena semua penciptaan Allah baik menciptakan sesuatu yang besar ataupun yang kecil, semua mudah menurut Allah. Setelah itu, ayat di atas menjelaskan bahwa kebanyakan manusia, terutama orang-orang kafir tidak mengetahui akan kebesaran Allah tentang penciptaan makhluqnya, hanya orang-orang yang beriman yang mampu menangkap kebesaran Allah. Menurut al-Suyuti, kebanyakan orang yang tidak mengetahui itu layaknya orang buta yang tidak mengetahui jalan menuju kebenaran. Sedangkan orang-orang beriman layaknya orang yang melihat dan mengetahui jalan kebenaran mencapai tujuan kebahagiaan dunia dan akhirat (al-Suyuti, “Tafsir Jalalayn”dalam al-Shawi, Hasyiyah al-Shawi al-Maliki, Bairut: Dar al-Fikr, 2002, IV, 15).
Ayat 58 surat mukmin menjelaskan bahwa tidak sama derajatnya antara orang-orang buta yang tidak mengetahui jalan kebenaran (al-a’ma) dengan orang-orang yang melihat (al-bashir) yakni mengetahui jalan kebenaran. Juga tidak sama orang yang selalu berbuat jahat (al-musi’) dengan orang yang mengamalkan perbuatan-perbuatan baik (amilu al-shalihat). Perbandingan ini dijelaskan sebagai gambaran antara orang-orang yang beriman, selalu menggunakan akalnya, belajar tentang kebenaran dari dalil-dalil yang diberikan kepadanya, kemudian apa yang diyakininya diamalkan dalam kehidupan keberagamaannya dengan orang-orang kafir yang tertutup hatinya, mengingkari kebenaran, tidak mau melihat dalil-dalil yang diterimanya, baik dalil aqli maupun dalil naqli dari al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Saw. Untuk itu orang-orang semacam ini dinamakan sebagi orang buta (a’ma). Maka dari itu ayat 58 ini ditutup dengan ungkapan “qalilan ma tadhakkarun”, sedikit  sekali orang-orang kafir itu mengambil pelajaran dari dalil kebenaran yang sudah diberikan.
Tentang keingkaran orang kafir kepada hari kiamat yang tercantum dalam ayat sebelumnya, al-Qur’an memberikan penekanan lagi tentang kepastian datangnya hari kiamat. Dijelaskan dalam surat Ghafir ayat 59, yang artinya: “ Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman”. Menurut al-Shawi, kepastian akan datangnya hari kiamat didasarkan kepada jelasnya dalil-dalil yang telah dibawa oleh para utusan Allah. Menurut penulis, semuanya tergantung manusia untuk menangkap dalil-dalil yang sudah jelas tersebut, baik dalil yang berupa logika berfikir maupun dalil syar’i. Allah Swt. adalah dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu yang diciptakannya, baik menjadikan dunia seisinya ini pada pertama kalinya, menghancurkanya atau membangkitkannya kembali. Hal ini merupakan kuasa Allah yang dapat diyakini oleh semua makhluqnya. Memang kebanyakan manusia tidak beriman adanya hari kiamat akan terjadi. Sesuai nass al-Qur’an “ wa lakinna aktsara al-nasi la yu’minun” (tetapi kebanyakan manusia tidak beriman kepada hari kiamat).
Pada ayat 60 ini Allah menjelaskan supaya manusia menyembah atau memohon kepadanya, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Dalil-dalil yang ada pada ayat sebelumnya, meggambarkan betapa kebesaran Allah yang tidak terhingga, sebagai bukti ajaran kebenaran yang harus diyakininya. Maka hanya kepada Allah manusia harus menyembah dan meminta pertolongan (doa) dari segala sesuatu, niscaya Allah akan mengabulkan permintaannya dan memberikan pahala atas segala ibadahnya. Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan, yang artinya ” Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (Ghafir: 60).  Berdoa dalam ayat ini berarti permintaan dan mendekatkan diri kepada Allah dalam semua urusan duniawi maupun ukhrawi, permintaan itu berwujud perkara-perkara yang besar maupun perkara-perkara yang remeh (al-haqirah). Sedangkan Allah akan mengabulkannya (al-ijabah), bisa dimaknai sebagai janji Allah untuk mengabulkan semua permintaan hambanya.
Kalau memang Allah berjanji akan mengabulkan permintaan hambanya, mengapa kadang manusia memohon kepadannya tidak dikabulkan doanya?. Mungkin pertanyaan ini dapat dijawab, bahwasanya orang berdoa itu ada syarat-syaratnya, maka seandainya seseorang berdoa sesuai dengan syarat-syarat berdoa, pasti akan dikabulkan, tetapi sebaliknya doa yang tidak memenuhi syaratnya juga tidak akan dikabulkan. Di antara syarat-syarat doa, pertama,iqbal al-abdi bikuliyatihi ala Allah wakta al-du’a, bi haystu la yahsulu fi qalbihi ghayra rabahu. Seorang hamba harus menghadap kepada Allah secara totalitas, dengan tidak ada sedikitpun sesuatu selain Allah. kedua, wa an la yakuna li mafasida, doanya bukan bertujuan untuk membuat kerusakan. Ketiga, wa an layakuna fihi qathi’atu rahmin, di dalam doa tidak bermaksud memutus silaturahmi atau memutus tali persaudaraan. Keempat, wa an la yasta’jila al-ijabah, tidak keburu-buru untuk dikabulkan. Ke lima, wa anyakuna muqinan biha, dan orang yang berdo’a  harus yakin akan dikabulkan doanya oleh Allah Swt.
Maka barang siapa dalam berdoa sesuai dengan syarat-syarat doa di atas, niscaya Allah akan mengabulkan semua permintaannya, baik pemenuhan doa tersebut diwujudkan Allah dengan segera atau mungkin masih tertunda, bahkan nanti dapat dikabulkan di akhirat kelak. Untuk itu orang yang berdoa harus menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah atas semua permintaannya tersebut. Karena bisa jadi terkabulnya doa itu nanti dapat berwujud diampuninya semua dosa-dosa hamba.
Ayat 60 surat ghafir di atas ditutup dengan ungkapan, yang artinya ”….. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” Dalam Tafsirnya dimaknai dengan barang siapa sombong lagi kasar di dunia, maka di akhirat akan dihinakan atau direndahkan oleh Allah, dan barang siapa di dunia bersikap rendah diri, maka di akhirat dia akan dimulyakan oleh Allah. Di ceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa Dawud AS bertanya kepada Allah, wahai Tuhanku bagaimana caranya aku dapat wushul(mendekatkan diri kepadamu), Allah menjawab, wahai Dawud rendahkanlah dirimu kemudian mendekatlah kepadaku. (Al-Shawi al-Maliki, Hasyiyah al-Shawi, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, IV, 16)
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil beberapa pelajaran untuk kita, di antaranya penciptaan langit dan bumi merupakan bukti adanya kebesaran Allah dapat membangkitkan kembali  manusia di akhirat kelak. Dan ini hanya dapat dipahami atau diambil pelajaran oleh orang-orang yang terbuka mata hatinya untuk menerima kebenaran, yakni orang yang beriman dan beramal shaleh. Untuk itu, hari kiamat sudah pasti akan terjadi, tetapi kebanyakkan manusia tidak mau beriman dengan adanya hari kebangkitan atau hari kiamat. Dari sekian kebenaran pembuktian akan kebesaran Allah, berdoalah kepada Allah niscaya, Allah akan mengabulkan semua permintaan manusia dengan kebesarannya, baik permintaan itu berupa hajat duniawi maupun hajat ukhrawi. Barang siapa menyombongkan dirinya dengan tidak mau beridabah kepada Allah, niscaya dia akan di masukkan ke neraka nanti di akhirat kelak, masa di mana semua manusia dibangkitkan untuk dimintai semua pertanggung jawaban amalnya. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi  pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.