Oleh: Muhammad Bahrudin, S.Ag*

Melihat fenomena di masyarakat akhir-akhir ini mulai  menjamurnya perseteruan antar individu dengan individu yang lain, antar kelompok satu dengan kelompok lain. Memang mereka belum sampai pada tarap perselisihan antar fisik, melainkan hanya sebatas menggunakan rudal-rudal sindiran dan hinaan di dunia maya dengan menggunakan social media. Apalagi hal ini juga dipraktekan oleh kalangan tokoh-tokoh yang berada diatas, sehingga rakyat dibawah pun tidak segan untuk turut andil dalam memberikan kritik, dan hujatan terhadap individu atau kelompok yang diluar diri mereka. Inilah yang hampir kita baca dan sarakan tetkala berselancar disosmed, hujatan kebencian dan hina-hinaan yang begitu jauh dari nilai-nilai ajaran islam.

Semoga tulisan di bawah ini mengingatkan bagi penulis dan pembaca untuk senantiasa menghindarkan diri dari tutur kata maupun tindakan yang mencela dan menghinakan manusia.

Kandungan QS. Al-Hujurat ayat 11 Tentang Toleransi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1]  dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2]  dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Sekian banyak riwayat yang dikemukakan para mufasir menyangkut asbabun nuzul ayat ini. Misalnya ejekan yang dilakukan oleh bani Tamam terhadap Bulal, Suhaib, dan Ammar yang merupakan orang-orang yang tidak punya. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit bin Qiyas, seorang sahabat Nabi SAW yang tuli. Tsabit melangkahi sekian orang untuk data duduk di dekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seoraang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memekinya dengan menyatakan bahwa yakni dia anak si Anu – (seorang wanita yang pada masa Jahiliyah dikenal memiliki aib). Orang yang di ejek ini merasa diremehkan maka turunlah ayat ini.[3]

Dalam ayat ini menerangkan tentang larangan menghina orang lain, yakni meremehkan dan mengolok-olok mereka. Seperti yang telah disebutkan dalam hadits shohih dari Rasulallah SAW:

الكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِ وغَمْطُ النَّاسِ

Takabur itu ialah menentang perkara yang hak dan meremehkan orang lain.” (H.R . Muslim)[4]

Meremehkan orang lain diharamkan dalam al-Qur’an karena barangkali orang yang diremehkan belum tentu derajatnya lebih rendah disisi Allah, bahkan bisa jadi orang yang diremehkan lebih disukai oleh Allah daripada orang yang meremehkan. Hal ini sangat jelas dituturkan dalam ayat di atas:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

Secara nas larangan tersebut bukan hanya ditujukan pada laki-laki saja, tetapi secara jelas ditujukkan pada kaum perempuan.[5]

Dalam ayat ini juga terdapat larangan memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang juga termaktub dalam Shohih Bukhori, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dijelaskan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِى هِنْدٍ عَنِ الشَّعْبِىِّ قَالَ حَدَّثَنِى أَبُو جَبِيرَةَ بْنُ الضَّحَّاكِ قَالَ فِينَا نَزَلَتْ فِى بَنِى سَلِمَةَ (وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ) قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَيْسَ مِنَّا رَجُلٌ إِلاَّ وَلَهُ اسْمَانِ أَوْ ثَلاَثَةٌ فَكَانَ إِذَا دُعِىَ أَحَدٌ مِنْهُمْ بِاسْمٍ مِنْ تِلْكَ الأَسْمَاءِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَغْضَبُ مِنْ هَذَا – قَالَ – فَنَزَلَتْ (وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ)[6]

Telah menceritakan Abdullah, telah menceritakan pada kami ayahku, telah menceritakan pada kami Ismail, telah menceritakan pada kami Daud ibn Hindi dari Sya’biy berkata: telah menceritakan pada kami Abu Jabiroh ibn Dhuhhak yang mengatakan bahwa berkenaan dengan kami Bani Salamah ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah: (وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ). ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, tiada seorang laki-laki pun diantara kami melainkan mempunyai dua atau tiga nama, tersebutlah pula, apabila beliau memangil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka mengatakan: Wahai Rasulullah sesungguhnya dia tidak menyukai nama panggilan itu, maka turunlah firman Allah (وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ).” (H.R. Ahmad)

Seburuk-buruknya sifat dan nama adalah yang mengandung kefasikan, yaitu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seperti yang telah dilakukan pada zaman jahiliyyah yang diantara mereka saling memanggil dengan panggilan yang buruk. Dalam ujung ayat dijelaskan:

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim

Dari ayat tersebut diatas dapat ditarik benang merah, bahwa Al-Qur’an menggarisbawahi perlunya untuk memantapkan persaudaran antar sesama muslim dan menghindari segala macam sikap baik secara lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan antara mereka. Terlebih dalam suatu bangsa, persatuan dan kesatuan adalah modal pokok yang dapat menghindarkan suatu bangsa dari penindasan bangsa lain. Dijelaskan pula dalam ayat yang sebelumnya (ayat 10), yaitu:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Ayat diatas juga sangat erat kaitannya dengan ayat sesudahnya, yang memerintahkan pada orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang didalam al-Qur’an diibaratkan seperti memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal.[7]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

 
*Penulis adalah alumni Al-Kamal 2012 dan merupakan Sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN Tulungagung.
[1]Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[2]Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya. Lihat, Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, edisi lux, (Semarang: C.V. As-Syifa’, 1992), h. 847
[3]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13., h. 253
[4]Imam Muslim, Shohih Muslim, juz I, (Beirut: Darul Ihya’, T.T), h. 93 dalam maktabah samilah.
[5]Abu Fida Isma’il ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz XXVI, penerjemah baharudin Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, cetakan II, 2004), h. 319
[6]Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, juz 39, (Mesir: Wazirorul Auqof, T.T), h. 428, dalam http://www.islamic-council.com, maktabah samilah
[7]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cetakan XIX, (Bandung: Mizan, 2007), h. 495