Oleh : Muhammad Imam Sanusi Al- Khanafi, S.Ag*
A. Hadis tentang Nabi Musa menempeleng malaikat

Dalam kacamata  nalar bayani jika dilihat dari segi rasio, apabila   Nabi menempeleng malaikat memang tidak logis. Nabi tidak mungkin tidak mematuhi perintah Allah, karena pada dasarnya setiap ada kehidupan pasti ada yang namanya kematian, atau ada kehidupan dunia pasti ada kehidupan akhirat. Apabila ada seorang Nabi benar- benar tidak menerima kematiannya hingga menempeleng malaikat izra’il sampai matanya juling  , berarti secara logika malaikat memiliki sifat- sifat kekurangan seperti manusia, yakni bisa sakit, bisa juling, bisa luka. Akan tetapi di dalam riwayat Muslim menjelaskan :

« جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ – قَالَ – فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا – قَالَ – فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِى إِلَى عَبْدٍ لَكَ لاَ يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِى – قَالَ – فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِى فَقُلِ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ. قَالَ فَالآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِى مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَاللَّهِ لَوْ أَنِّى عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الأَحْمَرِ ».)روه مسلم)[1]

“Malaikat maut datang menemui Musa ‘Alaihis Salam, lalu ia berkata kepadanya; ‘Penuhilah panggilan Rabbmu, ‘ Rasulullah Bersabda: “Lalu Musa menampar mata malaikat maut dan mencukilnya, ” Rasulullah Bersabda: “Lalu malaikat maut pulang menemui Allah ‘azza wajalla seraya berkata; ‘Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak memenginginkan kematian, dan sungguh ia telah mencukil mataku.'” Rasulullah Bersabda: “Lalu Allah mengembalikan matanya, dan Allah berfirman: ‘Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan kepadanya; ‘Apakah kehidupan yang engkau inginkan? Jika engkau menginginkan kehidupan maka letakkanlah tanganmu di atas bulu sapi, maka setiap bulu yang tertutup oleh tanganmu, dengannya engkau akan mendapatkan tambahan satu tahun.’ Musa berkata; ‘Lalu apa setelah itu? ‘ malaikat maut berkata; ‘Kematian.’ Musa berkata; ‘Maka segerakanlah, ‘ lalu ia berdoa; ‘Ya Allah, dekatkanlah kuburku dengan tanah suci sejauh lemparan batu.'” Abu Hurairah berkata; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda: “Jika aku ada di sana sungguh akan aku tunjukkan kepada kalian, yaitu di sisi jalan dekat pasir merah.” (HR. Muslim).

Secara kualitas  sanad hadis di atas bisa dikatakan shahih[2], karena secara i’tibar as-sanad, kritik sanad dan di tinjau dari segi maqbul dan mardudnya sudah memenuhi sarat maqbul. Jika mempersoalkan urusan kualitas  sanad menurut pandangan penulis sudah selesai, hal ini berdasarkan  pendapat  Imam  Nawawi yang memaparkan bahwa hubungan antara hadis dan sanad ibarat hubungan hewan dan kakinya, apabila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat diterima. Akan tetapi jika hadis tidak berkualitas shahih maka sebaliknya. Akan tetapi, persoalan kualitas matan menurut muhammad al-Ghozali[3] tidak bisa dikatakan  selesai begitu saja. Karena baginya, kriteria syarat keshahihan hadis yang dipaparkan olehnya ada lima, yakni (1) periwayat harus orang yang dhabith, (2) periwayat harus orang adil, dan (3) kriteria pertama dan kedua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad. Beliau memang tidak memasukkan unsur ketersambungan sanad, sebagai kriteria keshahihan hadis. Justru lebih dominan menganalisisnya dari segi matan. Hal ini berdasarkan kriteria yang dipaparkannya mengenai matan, adalah (1) matan hadis tidak syadz (rusak/ bermasalah), (2) matan hadis tidak mengandung ‘illah qadihah  (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikan menolaknya). Dua kriteria ini memang tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama’ tentang langkah – langkah dalam studi matan ini.

B. Titik temu kontradiktif Hadis

Permasalah yang di alami oleh Muhammad al-Ghazali  merupakan bagian dari disiplin ilmu mukhtalif hadis (kontroversial hadis). Dikarenakan, bertentangan dengan akal. Meskipun sebagian ulama’ ada yang tidak mempersalahkan hadis tersebut betentangan dengan nalar. Muhammad al-Ghozali memaparkan bahwa ada suatu hadis yang selama ini diterima oleh umat islam sebagai hadis shahih karena ia terdapat dalam kitab shahih seperti, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibn Qutaibah mengenai Nabi Musa menempeleng malaikat izra’il, Ibn Qutaibah berpendapat bahwa secara sanad dan matan bernilai shahih, adapun secara redaksi matan dalam pandangan beliau menjelaskan bahwa malaikat adalah mahkluk ciptaan Allah yang  bisa berubah – ubah bentuk. Ia bisa berubah jadi manusia, seperti manakala Rasulullah bertemu secara face to face dengan malaikat jibril yang mana pada waktu itu malaikat jibril merubah dirinya dengan manusia yang bernama Dihyah al- Kalbi. Hal ini wajar- wajar saja apabila Nabi Musa menempeleng malaikat Izrail hingga juling, karena Nabi Musa sendiri belum mengetahui bahwa yang ditempelengnya adalah jelmaan dari malaikat yang menjelma sebagai manusia, bukan berupa wujud asli malaikat.

Dalam hal ini otentisitas hadis tersebut keshahihan hadis tersebut sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh pandangan ulama’ (ahli – ahli hadis). Akan tetapi dalam pandangan penulis tidak serta merta menyalahkan Muhammad al-Ghozali, karena beliau merupakan ulama’ yang sangat berhati – hati dan merupakan salah satu bentuk pembelaannya kepada Nabi. Baginya keshahihan suatu hadis tidak berdasarkan pada otentitasnya namun interpretasi yang sesuai. Selain itu juga, beliau dalam urusan mu’amalah dan duniawiyah  selalu mensinkronkan antara hadis dan al-Qur’an, karena suatu hadis apabila bernilai shahih, tetapi tidak sesuai dengan al-Qur’an baginya lebih mengutamakan hadis yang bernilai dha’if asalkan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.  Memang, banyak yang mencerca  Muhammad al-Ghozali. Akan tetapi baginya tidak dipermasalahkan. Karena, Nabi tidak lepas dari cercaan dan celaan. Baginya Allah dan RasulNya lah yang dicintainya.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, munculya kritik tajam yang ditujukan oleh al- Ghozali disebabkan dua hal, yakni Muhammad al-Ghozali tidak mempergunakan hadis ahad dalam menetapkan akidah. Menurut Muhammad al-Ghazali, masalah akidah harus berdasarkan dengan keyakinan bukan dugaan.  Hadis- hadis ahad meskipun shahih tidak memberikan keyakinan, dan hanya hadis mutawatir yang memberikan keyakinan. Kedua, penolakan Muhammad al-Ghozali  terhadap beberapa hadis shahih ahad  dengan sebab bertentangan dengan nash al-Qur’an dan akal/ logika.

Dalam disiplin ilmu mukhtalif hadis mempelajari hadis – hadfis yang tampak kontradiktif  ini sangat penting untuk dipelajari, mengingat jangan  sekali – kali memvonis atau bertindak gegabah terhadap hadis yang mana perlu di analisis dari sanad dan matannya.  Ketidaktahuan sesorang dalam mendudukkan hadis secara proporsional yang tampak kontroversi hal ini dapat menyebabkan cepat- cepat menjustifikasi bahwa suatu hadis tersebut di nilai lemah / palsu, padahal tidak demikian.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan kewibawaan hadis sebagai sumber ajaran Islam, ilmu mukhtalif hadis merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang perlu dikaji ulang, karena ilmu ini sebagai alat dalam memahami hadis – hadis yang tampak kontradiktif. Mengingat ilmu ini untuk menghindari dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ajaran yang terkandung dalam hadis yang kontradiktif. Salah satu metode yang ditawarkan oleh Ibn Shalah dalam memahami hadis yang tampak kontrversi yaitu[4] :

  • Metode jam’u

Metode ini dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan hadis yang tampak kontradiktif. Metode ini bisa digunakan dengan catatan hadis tersebut berkualitas shahih.

  • Tarjih

Metode ini sebenarnya digunakan apabila dengan metode jam’u tidak bisa terselesaikan. Yakni dengan menguaatkan / mengunggulkan terhadap salah satu hadis yang tampak kontradiktif.

  • Nasikh wal mansukh

Metode ini dengan cara menghapus salah satu dalil  dari dua dalil yang tampak kontradiktif ,yakni  menghapus hukum syara’ dengan dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Metode ini mengharuskan ada kajian yang mendalam terhadap asbabun nuzul dan asababul wurud dari kedua dalil yang tampak bertentangan. Apabila diketahui dari kedua dalil yang pertama dan yang terakhir, otomatis dalil yang terakhir menasakh dalil yang pertama. Naskh bisa diketahui dengan melaui qoul, fi’li, dan taqrir Nabi SAW, dan melalui segi historis dan pengetahuan ijma’.
 
*Mahasantri Ma’had Aly Ashaabul Ma’arif Al-Kamal
 
[1]Muslim bin Hajjaj Abu Hushein al-Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut : Dar al-Ihya’  at-Turats al-‘Araby), juz  4, hlm. 1842
[2] Dalam ilmu jarh wa ta’dil, ulama kritikus seperti  Ibn Hajar al-Asqolani berkomentar bahwa sanad hadis tersebut muttasil, karena perowi di atas tingkatannya adalah tsiqah. Adapun Syarat hadis bisa dikatakan shahih apabila sanadnya muttasil, perowinya adil, perowi berkualitas dhobit, tidak bertentangan dengan hadis lain dan tidak cacat.
[3] Muhammad al-Ghozali merupakan ulama’ kritikus kontemporer yang berasal dari buhairah mesir, lulusan  beliau adalah salah satu tokoh ikhwanul muslimun, yang salah satu gurunya pada waktu itu adalah Hasan al-Banna. Beliau jika dalam kritikus hadis, dikatakan sebagai ulama mutasyadid (ulama’ yang paling hati –  hati dalam menilai suatu  hadis).
[4] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta :Pustaka firdaus, tahun : 1995), hlm. 94