Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.

Artinya: Allah-lah yang menjadikan malam untuk kamu supaya kamu beristirahat padanya; dan menjadikan siang terang benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (61). Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan?(62). Seperti demikianlah dipalingkan orang-orang yang selalu mengingkari ayat-ayat Allah(63). Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam(64). Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam (65).
Pada ayat-ayat di atas, merupakan bukti yang menjadi dalil tentang kebesaran dan kekuasaan Allah (ala bahiratihi wa qudratihi), dzat yang mempunyai beberapa ketentuan dan kehendak, yang patut untuk disembah dan tidak tepat orang-orang kafir mengingkarinya. Hal ini seolah-olah Allah menyatakan,” La yaliqu minkum an tatraku ‘ibadata man hadhihi af’aluhu”, (tidak patut bagimu untuk meninggalkan untuk menyembah Allah, dzat yang mempunyai beberapa perbuatan demikian besar dan agungnya). Di antara dalil kebesaran Allah yang tertuang dalam surat mukmin ayat 61 ini adalah Allah menjadikan malam sebagai tempat istirahat dan siang yang terang benderang, sebagai anugerah (al-fadl) dan wujud kehendak baik (ihsan) Allah untuk manusia semata. Untuk itu seharusnya manusia menyadari akan anugerah Allah tersebut, kemudian patuh terhadap semua perintah-perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Nampaknya hal itu(bukti kebesaran Allah) tidak disadari atau dimengerti oleh orang-orang kafir. Mereka kebanyakan tidak mau berterimakasih (syukur) kepada anugerah Allah, malah sikap-sikapnya bertolak belakang dari rasa syukur, yaitu mengingkari Allah, utusan Allah dan kitab Allah. (al-Suyuti, “Tafsir jalalayn”, dalam al-Shawi, Hasyiyah al-Shawi, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, IV, 16). Sebenarnya manusia itu, seandainya mau membuka hatinya untuk menangkap bukti-bukti kebesaran Allah yang berupa semua ciptaannya, yang diberikan kepada manusia sebagai fasilitas hidup untuk menjalankan pengabdiannya, niscaya tidak ada sikap yang lebih benar melainkan meyakini dzat yang satu yaitu Allah swt. dan beribadah kepadanya, sebagai wujud ungkapan rasa syukurnya.
Pada ayat 62 dan 63 Allah menjelaskan lagi, bahwa tanda-tanda kebesaran Allah yang telah dijelaskan pada ayat sebelumnya tentang penciptaan malam untuk istirahat dan siang yang terang benderang diperuntukkan bagi kebaikan manusia tersebut, diperbuat oleh dzat Allah sebagai Tuhan sesembahan manusia, yang telah menciptakan segala sesuatu, tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah. Maka dari itu bagaimana orang-orang kafir tersebut dipalingkan dari iman kepada Allah dengan adanya beberapa dalil kebesarannya (al-burhan). Sama seperti orang-orang kafir yang dipalingkan dari keimanan kepada Allah Swt, adalah orang-orang yang mendustakan (sombong) kepada ayat-ayat atau mukjizat Allah. Mereka ini dengan kesombongannya tidak akan mendapat petunjuk dari mukjizat atau ayat Allah, tetapi mereka akan semakin jauh dari petunjuk Allah (hidayah) menuju jalan kebenaran dalam naungan agama tauhid. Dalam sebuah riwayat ayat ini merupakan berita gembira untuk Nabi Saw untuk tidak sedih dengan kesombongan dan keingkaran umatnya, karena keingkaran kepada Allah dan ayat-ayatnya juga dilakukan oleh umat-umat sebelum Muhammad, yang selalu mendustakan ayat-ayat dan para utusan Allah.
Penjelasan Allah tentang bukti kebesarannya lagi adalah telah dijadikannya bumi sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap bagi manusia, yang semuanya  tidak akan ada yang mampu menjadikannya kecuali dzat yang maha agung Allah Swt. Hal ini dijelaskan dalam ayat ke 64, yang kemudian selain menjadikan bumi dan langit Allah juga menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik. Artinya baik dari sisi bentuk makhluk yang dilengkapi dengan anggota badan sempurna, berdiri tegak dengan dua kakinya, kulit yang bersih, dan semua yang merupakan ciptaan Allah dalam bentuk manusia yang mulia. Selain itu manusia juga diberi rezki yang nikmat-nikmat, baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan lain sebagainya. Demikianlah anugerah Tuhanmu yang maha Agung, Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu di alam ini.
Allah dzat yang maha hidup, artinya sifat hidupnya Allah adalah abadi, tidak akan mati maupun rusak dan suci dari segala kekurangan. Maka dari itu menyembahlah hanya kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadanya. Dzat yang memiliki segala pujian untuknya. Setalah kamu mengetahui tentang kekuasaan dan kebesaran Allah, dalam penjelasan lain dari lafadh “’u’buduhu” dapat ditafsirkan dengan memintalah semua kebutuhanmu hanya kepada Allah dzat yang menguasai dan mengatur segala sesuatu, karena semua kebaikan dunia dan akhirat berada dalam kekuasaannya.
Ibn Abbas mengomentari akhir ayat 65 di atas dengan barang siapa mengatakan, ”La Ilaha Illa Allah, maka sebaiknya dilanjutkan dengan ungkapan “Al-Hamdu Li Allahi Rab Al-Alamiin”. Hal ini merupakan petunjuk bahwa seorang hamba tidak akan diberi pahala atas pujiannya kepada Allah, juga tidak dihitung sebagai orang yang bersyukur kecuali kalau dia memang meyakini dan mengikuti ajaran Tauhid kepada Allah. Sedangkan amal orang-orang kafir semuanya tidak ada gunannya di sisi Allah Swt. (Ibn Abbas, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Syirkah asia, tt, IV, 86-87.
Akhirnya, bukti-bukti kekuasaan Allah telah dihamparkan di sekitar manusia, baik berupa penciptaan malam dan siang, bumi dan langit, juga penciptaan manusia dalam bentuk yang sempurna dengan dilengkapi segala fasilitas yang dapat mencukupi semua kebutuhannya. Hal itulah yang harus dimengerti dan disadari oleh hamba Allah yang kemudia direalisasikan dalam kepatuhannya dalam beribadah kepada-Nya. Kepatuhan menjalankan semua perintahnya dan semua larangannya merupakan wujud syukur hamba kepada Tuhannya yang telah melimpahkan semua anugerah kebaikan kepada manusia. Tanpa adanya keyakinan, pengertian, dan kesadaran dari seorang hamba, maka bukti-bukti  kebesaran Allah yang seharusnya dapat meneguhkan iman seseorang, malah akan menjauhkannya atau menyesatkannya dari jalan kebenaran yakni iman kepada tauhid dan semua ajaran Allah dan Rasulullah. Hal inilah yang terjadi dalam diri kebanyakan manusia, yakni orang-orang kafir yang selalu ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allah yang dibawa oleh para utusannya. Nampaknya mereka yang kafir tidak mau mengambil pelajaran dari bukti kebesaran Allah yang dijelaskan dalam ayat di atas.
Dari penjelasan di atas penulis jadi teringat dari pertanyaan beberapa teman, mengapa kalau agama Islam yang di bawa Muhammad Saw. memang sebuah ajaran kebenaran, tetapi realitanya jumlahnya di dunia saat ini, umat Muslim tidak mayoritas?. Malah yang mayoritas sekarang adalah non muslim?. Nampaknya penulis dapat menjawab sekarang dengan mengutip potongan ayat di atas yang berbunyi, ” wa lakinna aktsara al-nasi la yasykurun” ( tetapi kebanyakan manusia tidak mau bersyukur). Artinya al-Qur’an memberikan keterangan bahwa memang kebanyakan manusia tidak mau beriman dan bersyukur kepada Allah, dikarenakan mereka tidak mau memahami bukti-bukti ajaran tauhid, ayat-ayat kebesaran Allah dan keagungannya yang telah dihamparkan dihadapan mereka, bahkan dalam diri mereka sendiri.Wa allahu A’lamu bi al-Shawab!.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi  pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.