Oleh : Ahmad Saiful Qowi*

Dari dulu hingga sekarang masih tetap sama saja bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa asing, entah itu penjajahan dalam lingkup besar ataupun kecil, secara fisik atau melalui budaya yang dibawa oleh asing. Penjajahan menjadikan bangsa ini semakin mundur dan tak berkembang, penjajahan yang dilakukan terhadap budaya bangsa yang murni dan suci hingga menjadi tak beraturan, entah bagaimana caranya agar bangsa ini tak lagi dijajah oleh hal-hal yang tak pantas untuk konsumsi masyarakat, sudah tak tahu apa lagi yang harus diperbuat untuk menyelamatkan generasi bangsa yang sering kali hanyut dalam kesesatan budaya asing.

Penjajahan menjadi problematika bangsa yang berkelanjutan dan tak kunjung selesai, dahulu sebelum Indonesia merdeka penjajahan oleh bangsa asing sangat menyengsarakan rakyat mulai dari sektor ekonomi, sosial, budaya, dan moral. Hingga pada puncaknya bangsa ini bisa terbebas dari belenggu penjajahan dan bisa merasakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Setelah bangsa ini merdeka dari penjajahan bangsa asing yang menjajah secara fisik dan nyata, mereka mulai menjajah lagi dari jalan yang berbeda daripada sebelumnya yaitu dengan melalui budaya dan teknologi modern yang canggih, tak henti-hentinya para kaum kapitalis menjadikan bangsa ini layaknya makanan yang enak dan siap untuk dilahap kapanpun mereka mau.

Penjajahan yang berwujud nyata akan lebih mudah diperangi jika dibandingkan dengan penjajahan yang tak berwujud, perang berhadapan langsung dengan pasukan tempur akan lebih mudah diperangi daripada perang dengan kebudayaan asing, karena perang berhadapan langsung dengan pasukan tempur itu nyata dan terlihat, berbeda dengan perang terhadap budaya asing, obyek yang kita perangi tidak terlihat secara kasat mata sehingga lebih sulit untuk dikalahkan. Dan wujud dari budaya asing itu sendiri adalah diri kita, saudara kita, keluarga, bahkan masyarakat kita sendiri, akan lebih sulit memerangi bangsa sendiri dari pada memerangi bangsa asing.

Bangsa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan yang di idam-idamkan karena bangsa ini masih memegang teguh persatuan dan kesatuan bukan perpecahan dan permusuhan, banyaknya macam suku bangsa dan beraneka ragamnya budaya yang ada di tanah air tidak menjadi alasan untuk tidak bisa bersatu, pada masa perjuangan melawan penjajahan bangsa asing di Indonesia para pejuang tidak pernah menyinggung soal perbedaan ras, suku, bangsa, maupun agama. Akan tetapi yang mereka bela hanya satu yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia dari para penjajah, mereka tidak peduli siapa yang menjadi rekan berjuang mereka, yang mereka tahu bahwa rekan mereka adalah bangsa Indonesia, bangsa satu tanah air, bangsa yang memiliki keinginan untuk merdeka, bangsa yang tak lagi ingin di perbudak oleh bangsa penjajah, para pembela tanah air hanya menginginkan satu hal yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Saat ini yang sedang menjadi permasalahan paling urgent di negara ini adalah rasa toleransi terhadap para pemeluk agama, semakin bertambahnya waktu rasa toleransi semakin hilang dan masing-masing mementingkan egonya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain, intoleransi antar umat beragama tidak hanya pada lingkup antara pemeluk agama satu dengan agama yang lain, bahkan yang seagamapun tidak bisa toleransi terhadap sesamanya karena perbedaan aliran yang diikuti. Memeluk agama yang diyakini sudah bukan lagi termasuk hak asasi manusia, menurut mereka semua agama harus sama dan jika agama yang dianut orang lain tidak sama dengan yang mereka yakini, maka wajib untuk diperangi.

Yang seharusnya pada saat ini menganut suatu agama menjadi benteng untuk melindungi para penerus bangsa dari kesesatan budaya asing justru beragama sendiri semakin tidak jelas, dalam agama itu sendiri terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak jelas, kerena sering kali mereka menjadikan agama sebagai alasan untuk segala tindakan yang tidak selaras dengan nilai Pancasila, alhasil sering kali terjadi pertengkaran antara sesama agama yang dianut. Dalam agama apapun mengajarkan tentang toleransi dan saling menghargai satu sama lain tidak ada istilah paksaan dalam memilih agama, menganut ajaran sebuah agama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat kita paksakan. Bukan berarti jika mereka tidak satu keyakinan dengan kita maka harus diperangi dan di paksa untuk ikut pada kepercayaan kita atau bahkan dibantai besar-besaran.

Di negara Indonesia sendiri masih banyak isu-isu tentang intoleransi dalam beragama, masih sering terdengar kabar ada pembakaran gereja, pembakaran masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya. Dalam Islam sendiri diajarkan bahwa sesama umat beragama harus saling toleransi tidak boleh saling menghancurkan satu sama lain, begitu pula ajaran yang dibawa oleh Sidarta Gautama yang mengajarkan tentang perdamaian tidak adanya saling membunuh, dan juga ajaran agama Kristen yang menganggap bahwa manusia sudah diperdamaikan oleh Allah sehingga tidak ada lagi kekerasan, agama Hindu pun juga mengajarkan cinta damai dan hidup dalam suasana persahabatan. Yang pada intinya bahwa semua agama itu mengajarkan hal yang sama yaitu perdamaian di antara para pengikut-pengikutnya, bukan permusuhan yang nantinya bisa menghancurkan NKRI.

Pentingnya agama sebagai benteng untuk memfilter budaya-budaya asing yang bisa mempengaruhi karakter para penerus bangsa Indonesia harus dijaga dan dihindarkan dari kericuhan-kericuhan yang timbul akibat intoleransi umat beragama, bangsa asing akan terus menggerogoti bangsa Indonesia dari segala arah dan semua lini, maka dari itu bangsa ini harus segera bangun dari tidur panjangnya agar tidak diperbudak oleh bangsa asing yang selalu memanfaatkan kita. Menjaga toleransi terhadap umat beragama menjadi langkah awal yang harus ditempuh agar lini kehidupan yang lain bisa terjaga dan damai. Buruknya generasi muda yang ada adalah akibat dari minimnya pengajaran agama yang di dapat, karena tokoh-tokoh agama sibuk mengurus agama orang lain yang tidak sejalan dengan mereka. Lebih mementingkan eksistensi pada saat sekarang daripada generasi penerus bangsa maupun agama yang akan datang dimasa berikutnya. Wa Allahu A’lamu bi Ash-Shawab.

*Penulis adalah mahasiswa semester 6 jurusan Hukum Keluarga fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum di Institut Agama Islam Negeri Tulungagung dan sebagai salah satu mahasantri di Ma’had Aly Ashabul Ma’arif Al-Kamal.