Oleh KH. DrAsmawi Mahfudz, M.Ag* 

Dalam keseharian, sering dilakukan kegiatan akademik berupa menguji kemampuan para calon sarjana atau ilmuwan pada lembaga Pendidikan Islam kita. Ujian dilakukan dengan tiga standar kompetensi yaitu, kompetensi Akademik, Skill, kemampuan ke-Islaman. Dari puluhan Pelajar atau santri yang di uji ditemukan beberapa catatan, di antaranya

  1. Mereka banyak yang tidak hafal dalil al-Qur’an atau Hadits.
  2. Para Pelajar atau Santri banyak yang kurang serius dalam melakukan ujian, mungkin dikira bahwa ujian komprehensif ini hanya bersifat formalitas.
  3. Kurangnya kemampuan dasar mereka dari sisi ilmu-ilmu sesuai dengan disiplin yang ditekuninya. Ini tercermin dari ketidak mampuan dari jawaban-jawaban sesuai dengan disiplin ilmunya.

Dari beberapa catatan ini mungkin kita sebagai pengajar harus membuat sebuah kesimpulan tentang kekurangan dari Pelajar atau santri kita ini, faktor apa yang menyebabkan penurunan kualitas ini?. Apakah pengajarnya yang kurang melakukan tekanan ketika menjalankan proses belajar mengajar, atau dari materi pengajaran yang belum tuntas, atau fasilitasnya yang masih terbatas atau faktor dari Pelajar atau santri yang kurang serius dalam menjalani proses pembelajaran selama duduk dibangku studi (dirasah)?. Banyak varian pertanyaan dalam diri penulis.

Dari sisi pengajar sebenarnya dari pihak lembaga sudah berupaya untuk memenuhi standar kualifikasi pengajar yang disesuaikan dengan Undang-undang, atau bahkan selalu ada improvisasi untuk memperbaiki dan mengembangkannya. Ini seiring dengan program-program di lembaga kita yang berupaya meningkatkan anggaran pendidikan, baik honor pengajar, dana pengabdian, dana penelitian, atau bahkan penelitian dan belajar ke luar negeri sekalipun juga diupayakan, supaya tenaga pengajar kita selalu ada  perbaikan dan peningkatan kualitas, sehingga berpengaruh terhadap mutu anak didik kita.

Tentang materi pembelajaran sebenarnya juga demikian, diupayakan selalu ada kurikulum-kurikulum yang dibarukan disesuaikan dengan tuntutan zaman dan pasar. Misalnya selalu ada workshop kurikulum dua tahun sekali sebagai bahan evaluasi sajian materi kita, apakah masih relevan dengan situasi dan kondisi atau tidak. Kalaupun masih sesuai  dikuatkan lagi, kalau sudah tidak sesuai diganti dengan materi-materi baru yang kira-kira memang dibutuhkan oleh anak didik kita, jikalau nanti terjun di tengah masyarakat  mereka dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut. Sehingga tidak ada lagi istilah pengangguran bagi sarjana atau santri kita. Melainkan para alumni kita dapa menjadi solusi dari masyarakat.

Demikian juga dari sisi fasilitas belajar mengajar yang dibutuhkan, dari pihak lembaga secara simultan telah memenuhinya, mulai ruang belajar mengajarnya, perpustakaannya, laboratoriumnya, ruang-ruang diskusinya dan seabrek ruangan demi memenuhi kebutuhan belajar mengajar dari anak didik kita, biar mereka nyaman dan aman dalam menjalani proses belajar mengajar. Tidak ada lagi kekurangan fasilitas bagi lembaga pendidikan kita di era melinium ini, apalagi bagi lembaga atau sekolah-sekolah negeri yang nota bene milik pemerintah.

Faktor terakhir yang menjadi perhatian kita ada keseriusan dari para siswa kita. Mereka seolah-olah menjalani proses belajar-mengajar di zaman sekarang ini, tidak dijalani secara totalitas. Artinya waktu belajar mereka sangatlah kurang dibanding dengan kegiatan di luar akademiknya. Misalnya jalan-jalan, refresing, sekedar acara diwarnet, selalu konsentrasi dengan handphone, tetapi tidak pernah fokus dengan buku-buku atau kitab-kitab refresensinya. Apalagi didukung dengan budaya instan akibat derasnya arus teknologi yang ada di zaman sekarang. Contohnya kalau mereka mencari refrerensi selalu dari internet, membaca ilmu dari internet, semua kegiatan akademiknya dilakukan dengan dunia maya. Akhirnya yang terjadi ilmu-ilmu yang mereka terima juga instan tidak pernah masuk ke dalam hati mereka. Belum lagi ini dengan suasana kapitalisme dan materialisme yang marak di sekitar mereka. Akhirnya proses belajar mereka instan, ilmunya juga instan, perilakunya juga instan menjadi profil manusia-manusia yang instan.

Ini menjadi keprihatinan kita bersama, semoga ke depan mendapatkan solusi bersama sebagai pegiat pendidikan Islam. Dalam perspektif studi Islam klasik mungkin ada hal-hal yang perlu kita tekankan lagi dalam menjalankan proses belajar mengajar. Misalnya adab atau etika dalam sehari-hari melakukan ta’lim wa ta’alum (belajar mengajar), yang meliputi hubungan antara guru dan murib, do’a para guru kepada anak didiknya, kepribadian yang bersih sebagai santri atau pengajar, selalu berharap berkah dari Allah dalam menuntut ilmu, selalu melakukan pilihan ilmu yang di ambilnya, sikap wira’i (menjauhi dosa) dalam diri seorang guru dan murid, kitab-kitab (referensi) yang harus selalu dimulyakan, selalu berharap ridla dari kedua orang tua, kebersihan dana yang kita makan, kesucian lahir dan bathin semua pelaku belajar mengajar. Selalu konsisten dengan sanad (transmisi) keilmuannya, Dan seabrek adab yang lain mungkin dalam konteks kekinian dapat kita urai kembali dalam kegiatan belajar mengajar kita.

Hal ini memang kadang dirasa kurang rasional dalam konteks zaman yang serba rasional ini, tetapi sebagai upaya mewujudkan tujuan mulya dalam dunia pendidikan kita apa salahnya kalau kita belajar bersama-sama lagi dengan apa yang sudah dicapai oleh para salaf al-shalih pada masa keemasan Islam tersebut. Agar terwujud cita-cita bersama, artinya cita-cita guru, cita-cita orang tua, cita-cita murid untuk menghasilkan para kader-kader ilmuwan muslim yang mumpuni dalam dunia ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Atau cita-cita kelembagaan untuk mewujudkan misi lembaga pendidikan Islam kita yang berhaluan ahl al-sunnah wa al-jamaah al-nahdliyah, maupun cita-cita bersama umat Islam secara keseluruhan untuk menyiapkan kader-kader pejuang Islam pada masa-masa yang akan datang.

Hal itu dapat kita bandingkan pada masa Keemasan Islam, di mana lembaga-lembaga pendidikan Islam selalu berorientasi kepada kaderisasi pejuang-pejuang Islam. Taruhlah masa Islam di Damaskus, Islam di Baghdad, masa Islam Andalusia, masa al-Azhar Fatimiyah atau Ayubiyah, Nizamiyyah pada masa Saljuk Universita Aligarh India. Dari lembaga-lembaga itu dihasilkan para pejuang dan pemikir Muslim misal al-Ghazali, al-Zamahsyari, al-Qusyairi, Jalaludin al-Suyuti, Ibn Hazm al-Andalusi, Muhammad Ibn Malik, al-Syatibi al-Gharnati, al-Qurtubi, shah Waliyullah al-Dihlawi dan sebagainya.

Juga Pondok Pesantren-Pondok Pesantren tanah air yang telah menghasilkan para Kyai-Kyai Besar kita. Misalnya Syekh Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Turmusi Pacitan, Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, KH. Wahab Hasbullah Tambak Beras Jombang, KH. Bisri Sansuri Denanyar Jombang, KH. Mahrus Ali Lirboyo Kediri, KH As’ad Samsul Arifin Syafiiyah Salafiyah Situbondo, KH. Ali Ma’shum Krapyak Yogjakarta, KH.Ahmad Shidiq Jember, KH. Abdurahman Wahid dan lain sebagainya.

Pada masa-masa pejuang dan pemikir Muslim tersebut, komitmen lembaga ilmu pengetahuan adalah menghasilkan ilmu, ilmuwan sebagai kaderisasi perjuangan Islam dan Peradaban. Misi-misi semacam inilah yang nampaknya harus kita revitalisasi kembali ke dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam kita di Nusantara ini, baik lembaga-lembaga swasta ataupun Negeri, lembaga pendidikan Islam formal maupun non formal.

Hal ini kalau tidak segera kita sadari maka lembaga-lembaga pendidikan Islam kita nantinya hanya melakukan sertifikasi para ilmuwan tanpa menghasilkan ilmuwan yang sebenarnya. Karena yang terjadi kita hanya menghasilkan sertifikat, ijazah, sebagai bukti bahwa para pelajar atau santri kita telah melalui segenap pembelajaran yang telah diprogramkan oleh lembaga tertentu. Tetapi senyatanya tidak menghasilkan para pemikir, ilmuwan, praktisi, peneliti, pejuang Islam dengan sebenarnya. Yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu hanya sekedar rutinitas administrasi akademik semata. Untuk itu mari kita bersama-sama berusaha sekuat tenaga kita sesuai dengan disiplin ilmu kita masing-masing untuk melakukan revitalisasi semangat keilmuan dan dakwah Islam kita supaya dapat menghasilkan kader-kader pejuang Islam lagi yang dapat berperan besar dalam mewarnai peradaban dunia, sebagaimana dilakukan oleh para pejuang, ilmuwan muslim dahulu kala. Pada akhirnya konsepsi tentang pendidikan Islam memang merupakan investasi untuk kejayaan Islam di masa-masa yang akan datang.  Amiiin Wassalamu ‘al’aikum wr wb.

*Pengajar IAIN Tulungagung, Mustasyar NU Blitar dan Pengasuh PP al-Kamal