Kau Telah Pergi

Udara dingin berhembus sepoi-sepoi memberikan kedinginan yang menusuk jantungku. Kabut tebal masih setia menyelimuti bumi. Aku bangkit dari dunia mimpi. Kutatap lekat-lekat jam dinding yang masih setia selama lima tahun di Pesantren Al Ikhlas. Kukucek-kucek kedua mataku yang masih buram. Jarum menunjuk angka tiga dan dua belas. Kupaksakan tubuh yang masih lemas untuk berjalan mengambil air suci. Segar dan dingin bercampur menjadi  satu di kala air suci itu menyentuh permukaan kulit ini.
Kulangkahkan kaki untuk mengambil mukena yang tertata rapi di almari. Aku berjalan menuju mushola yang berada di lantai atas. Ada semilir angin yang memasuki relung hatiku ketika kulangkahkan kaki ini ke dalam mushola.
Ku menangis dalam sujud panjangku dan aku terbuai dalam kehangatan cinta-Mu. Samar-samar ku mendengar isak tangis yang lain. Kuhapus air mataku dan kucari asal suara itu. Kutemukan sosokmu, sahabat kecilku yang tengah berada dalam kegelapan dan kegundahan hati. Kudekati kau dan kucoba untuk menenangkanmu.
“Sabarlah, dunia ini memang penuh dengan cobaan. Tak seharusnya kau lari dari cobaan tersebut. Tapi kau harus menghadapinya dengan berani. Memang hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan.  Hasrat dan keinginan itu buta jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan itu tidak mudah diraih. Banyak cobaan dan pengorbanan.  Dan inilah pengorbanan kita, yaitu harus berpisah dari orang-orang yang kita cintai,” ucapku padamu. Kala itu kau menangis karena merindukan keluargamu. Aku tahu kau memahami perkataanku. Ku tak ingin lebih memperbesar lukamu, karena itu kutinggalkan kau dan kubiarkan kau merenungi setiap kata yang telah kuucapkan.
“Ly, nggak terasa ya satu tahun sudah kita di sini. Rasanya baru kemarin dech aku ngisi formulir pendaftaran dan nangis karena kangen rumah. Sekarang kita udah punya adik kelas”. Ya, telah setahun kita bersama dan kau tetaplah Restu yang pendiam, baik dan pintar. Aku yakin semua santri Al-Ikhlas pasti juga menyayangimu sebagaimana aku menyayangimu.
“Iya,” jawabku singkat.
Saat itu datang Dinda, santri kelas satu, untuk menemuimu. “Mbak Restu, nanti malam bantuin aku buat persiapan MOP ya?”
Kaupun menyetujuinya. “Res, apa kau tidak akan menyesal mengambil Jurusan Agama, padahal di rapot, nilaimu bisa masuk IPA?” tanyaku padamu.
“Insya Allah, aku nggak akan menyesal dengan apa yang telah aku ambil. Aku ingin belajar akhlaq agar kejadian itu tidak terjadi lagi. Aku senang dengan apa yang aku jalani di kelas XI Agama ini,” jawabmu santai.
Pagi yang cerah datang dengan sambutan burung-burung. Saat itu kau mengeluh padaku karena kau sering diganggu oleh cowok tampan sekelas kita.
“Tenang saja, nanti aku akan melarang Rendy untuk tidak mengganggumu. Aku akan hadapi dia,” ucapku waktu itu.
“Terima kasih sahabatku, kau selalu ada untukku, kau tak pernah biarkan siapapun melukaiku.”
Kitapun berangkat bersama. Aku tahu kegelisahan di hatimu. Ketakutan akan masa lalu telah membelenggumu. Sesampainya di kelas, aku sadar ada sepasang mata menatap tajam ke arahmu. Aku berdiri dan berjalan ke arah itu.
“Ren, aku mohon jika kamu masih memiliki hati, tolong jangan ganggu Restu lagi. Jangan pernah sekali lagi kamu memandang Restu seperti itu. Ingat, kalian bukan muhrim!”
“Apa salah jika aku memiliki perasaan lebih?” ucap Rendy. Aku pergi meninggalkannya tanpa sedikitpun peduli akan kata-kata yang diucapkannya.
“Lily, sudah tiga bulan aku nggak pernah dengar dan lihat tingkah Rendy. Kenapa ya? Aku kok lama-lama jadi kangen sama tingkahnya,” ucapmu suatu malam di hari Kamis seraya menata semua isi almariku. Kau paling suka menata almariku. Walau sering kularang kau sama sekali tak menghiraukanku.
“Mungkin kau mulai menyukainya,” candaku menanggapi ucapanmu. Kau diam mendengar ucapanku. Tapi aku tahu senyum kecil mengambang di bibirmu. Dentang jam berbunyi sepuluh kali. Kaupun kembali ke kamarmu. Sebelum itu kau menatapku tajam.
“Ly, aku ingin terus bersahabat denganmu. Jika kau sudah tak ada di pesantren ini aku mohon jangan lupa akan persahabatan kita,” ucapmu. Aku tak mengerti akan ucapanmu. Tapi saat kuingin menanyakannya padamu ternyata kau telah lenyap. Kutunda rasa penasaranku dan aku berniat menanyakannya padamu besok, tapi pertanyaan itu tak pernah terjawab sampai kapanpun.
Esok pagi aku bangun pukul setengah tiga. Aku turun ke bawah dan mandi. Dingin pagi itu kurasa berbeda. Ada keseraman tersendiri malam itu. Tiba-tiba perasaan gelisah menyelinap masuk ke dalam hatiku. Akupun teringat mimpiku semalam. Aku melihat dalam mimpiku, kau berjalan mendekatiku dan memelukku. Kau menangis dalam dekapanku. Saat kau telah tenang dan bisa tersenyum padaku, akupun berusaha menanyaimu. Tapi sebelum aku mengeluarkan  satu kata pun, kau telah lenyap. Kau bagai debu yang terbang mengikuti arah angin.
Perasaan khawatir tentangmu muncul dalam benakku. Kupercepat mandiku dan kuberlari menuju kamarmu yang terletak di depan kamar mandi. Dugaanku semakin terlihat nyata, ketika aku tahu di kamarmu banyak teman-teman kita berkumpul. Aku terjang keberadaan mereka. Betapa sakit hati ini mengetahui bahwa orang yang aku sayangi telah pergi. Ya, kau telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Hari itu juga adalah di mana Al-Ikhlas banjir air mata. Kami tak bisa melihat orang yang kami sayangi menderita. Wajahmu membiru. Kau segera dilarikan ke rumah sakit oleh Ustadz Huda dan Seksi Kesehatan. Aku menunggu di sini penuh harap semoga tak terjadi apa-apa pada dirimu. Aku menunggu dan terus menunggu hingga waktu itu datang. Seksi Kesehatan menelfon ke Al-Ikhlas dan mengabarkan  bahwa  kau  telah  tiada.  Kau  telah pergi dari Al-Ikhlas.
Semua santri putri Aliyah Al-Ikhlas tidak masuk sekolah. Kami semua pergi menuju masjid pesantren dalam keadaan yang berlinang air mata. Semua mata sembab. Santri putra terkejut dengan kedatangan kami. Aku tahu mereka pasti heran apalagi semua santri putri menangis. Setelah Ustadz Huda memberikan kabar itu barulah mereka mengerti. Tangisan membahana mengiringi doa yang dibaca oleh Ustadz Huda.
Sejenak aku bagai raga tanpa nyawa. Setelah itu juga kami pergi ke rumahmu. Ku tak tahan mendengar deraian tangis dari keluargamu. Kami juga pergi mengiringimu ke tempat peristirahatan terakhirmu.
Kenapa kau meninggalkanku sendiri? Tak semenitpun namamu akan lepas dari ingatan kepalaku. Namamu akan terus terukir dalam sejarah hidupku. Kaulah gadis pertama yang ku kenal di Al-Ikhlas. Walaupun sekarang kau telah pergi tapi kau dan aku tetaplah sahabat. Aku bersandar pada nisan di mana namamu terukir jelas.
Sekarang aku harus menjalani hari-hariku di Al-Ikhlas tanpa ada dirimu lagi. Kau ingkari janji yang pernah kita ucapkan bersama. Kau tahu bagaimana keadaan santri Al-Ikhlas. Kita bagai satu bangunan dan sekarang salah satu bagian dari bangunan itu hilang. Kau pasti tahu kan apa akibatnya? Bangunan itu akan runtuh Res? Mungkin ini sudah menjadi suratan takdir. Aku takkan pernah lagi melihatmu karena kau telah pergi. Kau tak akan pernah kembali dalam hidupku. Tapi kau tetaplah sahabatku, sahabat yang telah menjadi bagian hidupku. Aku akan berjuang demi bagianmu juga. Selamat tinggal sahabat.
Selamat jalan sahabat, kenanganmu akan selalu terukir dalam hatiku yang paling dalam. Di hati kami semua, santri Al-Ikhlas. Tak akan pernah kami lupakan semua kebaikan yang telah kau berikan. Kami pun akan berusaha mangikhlaskan kepergianmu. Selamat tinggal sahabat, semoga kau bahagia di sisi-Nya untuk  selamanya.*
 
Tentang penulis
Amilia Zakiatul Fitria Kusuma, lahir di Blitar, 05 Februari 1995, masuk Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal tahun 2009 dan lulus tahun 2012 serta bersekolah di MAN Kunir. Bertempat tinggal di Dsn. Centong Rt 02 Rw 04 Ds. Salam Kec. Wonodadi Kab. Blitar 66155. Cerpen “Kau Telah Pergi” pernah dimuat di majalah pondok Jendela Edisi 20 Tahun III 1-15 Oktober 2010.

Tags :

Share This :

0 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *