Oleh: Muh. Imam Sanusi Al-Khanafi, S.Ag*
Sekilas Tentang Al-Ibriz
Al-Ibriz merupakan sebuah karya tafsir yang dikarang oleh KH. Bisri Mustafa. Beliau merupakan salah satu ulama yang produktif dalam hal menulis. Tafsir ini menggunakan bahasa Jawa ngoko, walaupun penafsirannya kadang-kadang dicampur dengan istilah Indonesia, seperti kata nenek moyang, pembesar, terpukul, atau kata berangkat dan mempelajari. (Maslukhin: 2015: 81-82)
Secara teknis, pilihan menggunakan bahasa ngoko dalam rangka memudahkan orang-orang untuk memahami dan mencerna makna yang terkandung di dalam al-Quran. Sebab, di Indonesia sendiri memiliki berbagai suku dan bahasa yang beraneka ragam. KH. Bisri Mustafa mengarang tafsir dengan ringkas, mudah dipahami dan menggunakan rujukan dari berbagai tafsir mutabarah, antara lain: tafsir Jalalain, tafsir Baidhawi, dan tafsir khazin. Adapun bentuk (karakterisik) dari tafsir tersebut dijelaskan dalam muqadimahnya,
القرأن ديفون سرات اع تعاه ماوى معنى كانندول , ترجمة ايفون تفسير كاسرات اع فعكير كنطى توندا نومر. نومر ايفون اية دوماواه اع اخر ايفون , نومر ايفون ترجمة دوماواه اع اول ايفون. كاتراعان – كاتراعان سانيس ماوى توندا: تنبيه , فائداة , مهمة , لن سأ فنوعكلانفون.
Berdasarkan muqadimah dalam tafsir Al-Ibriz, Al-quran diartikan kata-perkata dalam bentuk makna gandul. Terjemah dari tafsir tersebut terletak di pinggir dengan tanda per-nomor. Pada tanda nomor akhir merupakan nomor per-ayat, sedangkan pada nomor awal merupakan terjemah tafsir. Penjelasan atau keterangan penting pada tafsir disertai dengan tanda tanbih, faidah, muhimmat dan tanda yang hampir sama dengan kalimat tersebut.
Penerus Perjuangan KH. Bisri Mustafa
KH. Mustafa Bisri atau dikenal dengan nama Gus Mus merupakan salah satu putra dari KH. Bisri Mustafa. Gus Mus merupakan pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin di Rembang. Pesantren ini didirikan oleh KH. Bisri Mustafa di atas wakaf tanah kakeknya, yakni KH. Zaenal Mustafa. Gus Mus dibesarkan dalam keluarga intelek dan patriotis. Sejak kecil, beliau diajarkan bagaimana cara beragama dengan baik, hingga sampai sekarang mengajarkan agama tidak mengejek, tapi mengajak, tidak memukul, tapi merangkul. Beliau dididik menjadi sosok manusia yang humanis, konstruktif, dan moralis.
Beliau meneruskan perjuangan ayahnya di sebuah majlis talim di pesantrennya, salah satunya pengajian Tafsir. Majlis tersebut berupa kajian tafsir al-Ibriz yang diisi langsung oleh KH. Mustafa Bisri. Para jamaah beraneka ragam, mulai dari kalangan pemuda, bapak-bapak, dan ibu-ibu yang sudah berumah tangga. Pengikut kajian tafsir tidak seperti kalangan santri pada umumnya, yakni membawa kitab. Mereka cukup mendengarkan kajian tafsir yang dihidangkan oleh Guz Mus.
Ada keunikan terkait kajian tafsir yang dihidangkan oleh Gus Mus, pembahasan ayat Al-Quran dalam ruang keagamaan Islam Jawa begitu kental. Beliau sama sekali tidak meninggalkan budaya lokal, justru mengawinkan antara budaya dan Islam. Kajian yang disampaikan juga mengaitkan konteks kehidupan yang relevan di zaman sekarang. Beliau mampu memilih isi penafsiran yang relevan dengan tekstur maupun konteks budayanya sendiri dan tidak Cuma menghidangkan secara tekstual. Ia juga sadar, jika kombinasi antara bahasa Indonesia dan Jawa bisa mempermudah dan memahamkan para jamaahnya dalam memahami isi kandungan yang ada dalam Al-Quran. Dalam hal ini, penulis akan menganalisis pengajian tafsir Kh. Mustafa Bisri pada surat al-Fatihah dalam kitab al-Ibriz.
Analisis Penafsiran Surah Al-Fatihah ala Gus Mus
Dalam kajian tafsir al-Ibriz, ada beberapa metode yang diterapkan Gus Mus dalam menyampaikan hidangan Tafsir kepada para Jamaah, diantaranya:
Pertama, Gus Mus membacakan surat al-fatihah sampai selesai dengan ciri khas nada Jawa (langgam Jawa). Kedua, Gus Mus menjelaskan kandungan pokok dan turunnya surat Al-Fatihah dengan gaya bahasa khas jawa yang dikawinkan bahasa Indonesia. Berikut sekilas penafsiran pembuka dari surat Al-Fatihah,
Surat Al-Fatihah meniko temurunipun wonten Makkah, nami seng terkenal mulai zaman kanjeng Rasul SAW nggih al-fatihah. Jika dalam bahasa Indonesia dinamakan pembuka.Wonten lagi namine ummul kitab, ada yang menamakan lagi ummul Quran. Dinamakan Ummul Quran dikarenakan induknya al-Quran, dinamakan ummul kitab dikarenakan induknya kitab-kitab dari langit. Ada yang menyebut juga dengan sabul masani itu seng di ulang-ulang (tujuh yang diulang-ulang) di ulang-ulang pertama mergo pitung ayat niki disepakati oleh ulama, niki pitung ayat (ayatnya tujuh). Jika di ulang-ulang dalam beribadah (shalat) berjumlah 17 kali setiap hari. Tidak hanya itu, di berbagai surat dalam al-Quran juga di ulang-ulang mengenai pemahaman pokok yang isinya surat al-fatihah. Isi dalam surat al-fatihah tersebut membahas masalah tauhid, syariat, dan hakikat.”
Berdasarkan penjelasan Gus Mus, surah Al-Fatihah diturunkan di Makkah. Nama yang termasyhur pada zaman Nabi Muhammad SAW adalah Al-Fatihah. Ada beberapa nama lain dari Al-Fatihah, diantaranya: ummul kitab, ummul Quran, dan sabul Masani. Dinamakan ummul kitab karena Al-Fatihah merupakan induknya kitab-kitab dari langit, ummul Quran karena Al-Fatihah merupakan induknya Al-Quran, dan sabul Masani karena Al-Fatihah merupakan tujuh bacaan yang diulang-ulang, hal ini telah disepakati oleh ulama. Jika bacaan Al-Fatihah digunakan ketika shalat lima waktu, maka bacaan tersebut berjumlah 17 kali setiap hari. Di beberapa surah yang lain terkait Al-Fatihah juga disinggung secara berulang-ulang mengenai pemahaman pokok yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, di dalam surah Al-Fatihah menjelaskan mengenai permasalahan tauhid, syariat, dan hakikat.
Ketiga, KH, Mustafa Bisri menafsirkan surat Al-Fatihah dengan makna pegon kata perkata dan terjemahnya, dari ayat ke-1 sampai 7.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1]. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam[2]. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang [3]. Yang menguasai di hari Pembalasan[4]. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[5]. Tunjukilah Kami jalan yang lurus [6]. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat [7].
Gus Mus menguraikan makna ayat tersebut sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di masyarakat. Misal: Dalam penafsiran Bismillah Ar-Rahmaani Ar-Rahiim, ada istillah Rahmat yang bermakna welas asih (kasih sayang), apabila manusia meminta Rahmat berarti meminta welas asih (kasih sayang) dari Allah. Dalam konteks kehidupan, jika manusia bertemu dengan dan mengucapkan Assalaamualaikum wa Ar-Rahmatullahi wa Barakaatuh dan dijawab wa alaikum Salam warakhmatullaahi wa barakaatuh”, pada hakikatnya saling meminta welas asih (kasih sayang) dari Allah SWT.
Selain itu, Gus Mus juga mengkontekstualkan kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim dalam kehidupan sekarang, diantaranya mengenai orang korupsi. Pada hakikatnya, orang korupsi tetap diberi kasih sayang oleh Allah. Sebab, kata Ar-Rahmaan bermakna kasih sayang kepada semua makhluk hidup, baik itu melanggar perintah-Nya atau mematuhi-Nya. Akan tetapi, Allah juga memiliki sifat Ar-Rahiim, bermakna kasih sayang yang hanya diperuntukkan kepada orang yang beriman. Sifat Rahiim-Nya hanya ditujukan dalam kehidupan akhirat. Karena, sifat tersebut hanya diberikan kepada orang yang selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, baik dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Orang korupsi hanya mendapatkan kasih sayang-Nya di dunia, dan belum tentu mendapatkan kasih sayang-Nya di akhirat. Beda dengan orang beriman, Allah memberikan kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat.
Penafsiran Gus Mus pada ayat ke- 2 dan ke-3, Allah merupakan Rabbil alamin (tuhan semesta alam). Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya adalah hasil dari skenario Allah. segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah hasil ciptaan Allah. Sedangkan pada ayat ke-3, mendidik manusia untuk selalu kembali kepada Allah dalam segala aktivitas yang dilakukan. Jadi, ayat ke-3 sebagai bentuk takid (penguatan) pada ayat pertama, yakni untuk menancapkan hati manusia supaya berbuat kasih sayang kepada sesama makhluk Allah.
Penafsiran Gus Mus ayat ke-4, nuansa sufistik yang di jelaskan begitu kental, yakni mengenai ketauhidan. Menurut Gus Mus, manusia jangan sampai berani dengan Allah jika ingin selamat di akhirat. Karena, Allah memiliki yaumu Ad-Din (hari kiamat). Allah adalah penguasa alam jagad Raya yang sewaktu-waku bisa mematikan dan menghidupkan manusia sesuai dengan keinginan-Nya.
Pada ayat ke-5 merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, yakni mengisyaratkan manusia untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dengan meminta pertolongan-Nya agar selamat di akhirat (yaumu Ad-Din). Sesuai dalam redaksi ayat ke-5 Iyya kanabudu wa iyya ka nastaiin”.
Ada yang menarik mengenai penjelasan Gus Mus mengenai ayat 1-4. Pada ayat tersebut, Allah dijadikan sebagai pihak ke tiga. Allah dijadikan sebagai bahan diskusi oleh manusia jika Allah merupakan penguasa seluruh alam, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah yang menguasai di hari kiamat. Akan tetapi, pada ayat ke-5 dengan redaksi Iyya kanabudu wa iyya ka nastaiin, Allah menjadi pihak ke-2. Menurut Gus Mus, manusia langsung berhadapan dengan Allah sembari mengucapkan hanya kepada engkaulah kami menyembah (beribadah) dan hanya kepada engkaulah kami meminta pertolongan. Jadi, pada ayat ke-1 sampai ke-4 merupakan pembahasan dalam hal ketauhidan, sedangkan pada ayat ke-5 pembahasan mengenai ibadah.
Dalam ayat ke-5, merupakan pembahasan mengenai ibadah. Menurut Gus Mus, ibadah merupakan segala perintah Allah yang harus dijalankan kepada umat-Nya. Ibadah tidak hanya shalat, puasa, zakat, akan tetapi menyenangkan istri, berbuat baik kepada tetangga dan sesama manusia merupakan ibadah. Menurut Gus Mus, ada ibadah yang kelihatannya tidak dalam kategori ibadah, dan ada yang masuk dalam kategori ibadah tapi pada hakikatnya bukan ibadah. Contoh: 1) kategori bukan ibadah, secara hakikat ibadah, yakni berjualan di pasar, kelihatannya tidak ibadah, tetapi pada hakikanya termasuk ibadah, karena dalam rangka menafkahi keluarga . 2) kategori ibadah pada hakikatnya bukan termasuk ibadah adalah lomba MTQ (musabaqah tilawatil Quran). Sebab, mengikuti lomba dalam rangka tadabbur terhadap ayat al-Quran hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari hal keduniaan (kemenangan) supaya mendapatkan piala. Segala sesuatu aktivitas yang dilakukan manusia harus didasari dengan niat ibadah, supaya aktivitas yang dikerjakan manusia bernilai di mata Allah SWT, hakikatnya ibadah manusia dalam kehidupan sehari-hari disebabkan atas pertolongan Allah SWT. Tanpa-Nya, manusia tidak ada harganya.
Pada ayat ke-6 dan 7 menjelaskan tentang Hidayah. Menurut Gus Mus, hidayah dibagi menjadi 2, antara lain hidayah secara umum dan hidayah secara khusus. Maksudnya, hidayah secara umum adalah petunjuk yang digunakan sebagai bentuk seruan (dakwah) kepada manusia untuk diajak ke dalam perkara kebaikan. Hidayah secara umum diantaranya mubaligh, ia memberikan seruannya kepada umat Islam untuk diajak ke perkara yang diperintahkan-Nya. Sedangkan hidayah secara khusus merupakan petunjuk secara langsung dari Allah. Walaupun mubaligh memberikan hidayah kepada manusia ke perkara yang baik, jika Allah tidak memberikan hidayah-Nya kepada manusia, maka manusia tidak bisa melakukan perkara yang baik. Jadi, hidayah secara umum hanya sebagai bentuk lantaran atau usaha dalam meraih hidayah khusus.
Pada ayat ke-6 dan 7, pada hakikatnya manusia berusaha dengan semaksimal mungkin untuk mendapatkan hidayah-Nya melalui lantaran para mubaligh dengan ditunjukkan pada ayat ke-7, yakni ke jalan yang lurus. Jalan yang telah dilalui oleh para Nabi, ulama, dan orang yang shalih. Orang shalih dimaksud adalah orang yang dekat dengan Allah, atau orang yang berhubungan baik kepada Allah dan manusia.
Itulah sedikit uraian mengenai karakteristik Gus Mus dalam menafsirkan surah Al-Fatihah. Beliau tidak menafsirkan secara tekstual, dan parsial, akan tetapi mengkontekstualisasikan dalam kehidupan era sekarang. Darinya, kita belajar bagaimana berislam secara universal, dan tidak kaku. Darinya, kita belajar berislam dengan memperdulikan kepedulian sosial, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi lokal.
*Tentang Penulis: Mahasiswa Pascasarjana IAIN Tulungagung Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.