Ijtihad Santri Untuk Peradaban (Risalah Ngaji dan Ngabdi edisi 124)

Istilah santri telah menjadi diskusi menarik di Indonesia, disebabkan karena historisitasnya dalam aras kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bentuknya, mulai pemahaman yang mendalam kepada agama Islam, pejuang kemerdekaan, pendakwah ajaran Islam, sebagai praktisi pendidikan, pelaku politik. Transformasi santri dalam realitas masyarakat begitu nyata, sehingga oleh pemerintah dideklarasikan sebagai hari yang bersejarah di Indonesia, dengan menetapkan Hari Santri Nasional (HSN). Memang pada awalnya santri adalah mereka-mereka yang mendalami agama Islam di Pesantren, ndereaken Kyai-Ulama sebagai guru dalam menuntut ilmunya. Sebagai dasar teologinya biasanya menggunakan dalil al-Qur’an,

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

(Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya).
Pada dekade abad 19, model pembelajaran santri menjadi rujukan bagi masyarakat muslim Nusantara terutama mereka-mereka yang berdomisili di desa atau kampung. Karena memang proses penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya lebih banyak dilakukan oleh para ulama di kampung-kampung di seluruh Nusantara. Maka tidak mengherankan kalau kemudian pesantren-pesantren besar dahulunya berada di desa, dan penamaan lembaga pesantrennya juga mengambil nama desa. Misalnya Pesantren Lirboyo Kediri, Langitan Tuban, Tebuireng Jombang, Ploso Kediri, Sarang Rembang, Gontor Ponorogo, Bendo Pare, Kunir Blitar dan sebagainya. Wilayah geografis desa pada masa awal didirikannya pesantren memang mendukung, dari sisi sosiologis guyub, tantangan kehidupan dari luar pun ketika berada di kampung dapat diminimalisir. Tetapi dengan keberadaan di desa yang jauh dari akses kehidupan metropolitan, pesantren akhirnya dapat menghasilkan tamatan-tamatan sesuai dengan profil Kyainya. Misalnya alumni lirboyo mempunyai profil seperti Mbah Kyai Abdul Karim, Mbah Kyai Marzuki, Mbah Kyai Mahrus Ali. Alumni Tebu Ireng menghasilkan profil ulama seperti mbah Kyai Hasyim Asyari, santri alumni Ploso menghasilkan ulama seperti Mbah Kyai Jazuli, alumni Gontor seperti Kyai Zarkasyi, alumni pesantren Kunir seperti Kyai Thohir Widjaya dan seterusnya. Model pendidikan pesantren sebagaimana disebut memang dikreasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di kala itu, yakni pendalaman agama secara totalitas yang kemudian ditransformasikan ke masyarakat di mana santri berasal.
Seiring dengan dinamika zaman dan masyarakat abad 20, nampaknya menampilkan pola kehidupan masyarakat yang berbeda dengan abad sebelumnya. Masyarakat abad 20 mempunyai ciri khas dinamis dalam hal materialisme, tumbuhnya masyarakat industri, sebagai bagian dari proyek modernisasi. Maka situasi ini menuntut para santri untuk menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan modernisasi. Santri dalam hal pengajaran agama pun juga harus menyesuaikan. Mereka tidak cukup hanya belajar di pesantren murni, di sebagian daerah dengan bantuan pemerintah dan masyarakat berdirilah sekolah-sekolah agama yang sifatnya formal-resmi, mulai dari madrasah ibtidaiyah sampai perguruan tinggi Islam. Dan rata-rata motor perjuangan berdirinya lembaga itu adalah Kyai-kyai yang memang memang mempunyai perhatian terhadap pendidikan Islam di Nusantara. Sampai sekarang dapat kita dapati dan nikmati peninggalan para kyai dalam bentuk madrasah ibtidaiyah, madarasah tsanawiyah, madrasah aliyah, universitas Islam sebagai lembaga pendidikan Islam formal yang mengkader kehidupan keagamaan Islam. Juga tidak sedikit lembaga-lembaga madrasah dan perguruan tinggi Islam itu berada di lingkungan pondok pesantren di mana para kyai sebagai pendirinya. Sehingga sekarang kalau kemudian model pendidikan Islam di Indonesia ada istilah formal atau non formal, negeri atau swasta, memang itu hasil ijtihad dari internal santri dalam rangka tranformasi peran santri dalam masyarakat.
Kalau tempo dulu memang peran santri murni pengajian secara konvensional, tetapi seiring dengan perkembangan masyarakat, tranformasi pengembangan lembaga pendidikan Islam nampaknya sebuah keharusan. Misalnya pada awal penyiaran Islam, ijazah sebagai sertifikat tamatan bagi santri yang selesai belajar agama memang tidak diperlukan, mengingat saat itu pendidikan masih sederhana, baik dari sisi jumlah lembaganya dan kurikulum pengajarannya, tetapi di zaman modern ijazah bagi tamatan pesantren begitu penting, karena sebuah kebutuhan bahwa seseorang secara kualitatif dapat dipercaya sebagai tamatan dari lembaga tertentu. Kualitas santri tidak cukup hanya diukur dengan subyektifitas individu saja, tetapi secara kelembagaan juga dapat diukur secara obyektif. Apalagi dalam urusan ilmu-ilmu keislaman, kehadiran pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama sebagai hal yang niscaya tatkala pengajaran agama menjadi urusan kepentingan umat, tidak lagi menjadi ranah privasi masing-masing orang. Taruhlah misalnya pengamalan agama di tengah masyarakat dipastikan adanya kehidupan yang harmoni, bagi umat beragama satu dapat bersanding dengan umat yang lain, pengamalan suatu agama memang sesuai dengan kaidah-kaidah umum sebagai pengamal ajaran agama tanpa harus merendahkan agama yang lain. Dalam hal ini nampaknya peran santri membuktikan bahwa apa yang mereka pelajari dengan apa yang ditranformasikan di tengah masyarakat menemukan relevansinya.
Dinamika santri kemudian tidak berhenti dalam hal kualifikasi akademik keilmuannya saja, tetapi kemudian mereka bertranformasi pada zaman dengan dinamika global. Sehingga diskursus santri tidak dalam hal ilmu agama ansich, melainkan dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum, dalam konteks keindonesiaan. Dalam hal Ini santri dihadapkan dalam masalah Agama, politik, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, digitalisasi, gender, kesenjangan dan sebagainya. Maka Kyai-kyai juga mengambil inisiatif untuk menjadikan santrinya sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Lembaga pesantren sebagai wadah kaderisasi santri akhirnya juga menyesuaikan, mendirikan berbagai lembaga pendidikan yang tidak hanya menawarkan kurikulum agama, tetapi juga jurusan-jurusan umum. Berangkat dari sini berdirlah lembaga sekolah kejurusan, berbagai universitas Islam dengan tawaran program studi umum, balai latihan kerja, madrasah, yang dapat mengintegrasikan sisi ilmu agama dengan ilmu umum. Dalam kajian pendidikan tinggi akhirnya disebut dengan integrasi ilmu pengetahuan.
Maknanya berbagai paradigma dan pendekatan ilmiyah dapat dipertemukan dalam sebuah ilmu. Misalnya kajian tentang ekonomi, tidak sekedar dengan teori-teori ekonomi konvensional, tetapi prinsip-prinsip dalam praktik ekonomi berbasis ajaran Islam juga dapat diintgrasikan ke dalam ilmu ekonomi konvensional. Akhirnya diskursus ekonomi syariah menjadi konsepsi alternatif dalam menjawab problematika ekonomi masyarakat. Dengan merebaknya isu integrasi ilmu pengetahuan ini, nilai-nilai keislaman universal akan menemukan momentumnya, diteruskan dengan aspek kelembagaannya baik dalam dunia academicaly maupun dalam dunia praktik realitas masyarakat. Sekarang peran santri dengan paradigma dan pendekatan yang komprehensif terbuka peluang yang semakin lebar. Kalau dahulu santri hanya berperan dalam tranformasi pendidikan agama, sekarang semua lini kehidupan manusia, di situ juga ada peran santri. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya organisasi profesi yang berbasis anggota para santri. Misalnya Ikatan Sarjana, Lembaga Bantuan Hukum, Ikatan Dokter, Ikatan Sarjana Ekonomi, Ikatan Insinyur, Ikatan Guru, Ikatan Profesor, Ikatan Sarjana Teknik, Ikatan Pengusaha, dan lain sebagainya, yang secara terbuka berbasis santri-santri Indonesia. Ini relevan dengan ungkapan,

وعلى العاقل أن يكون بصيرا بزمانه مقبلا على شأنه حافظا للسانه

(sebaiknya seorang Intelektual-santri memahami kondisi zamannya, mempersiapkan diri untuk menyikapinya, dan dapat menahan diri atas ucapan-ucapan teoritis yang tidak bermanfaat).
Paparan historisitas santri itu, membuktikan kontribusinya dalam membangun peradaban ilmu pengetahuan di Nusantara, yang sejak awal dimotori oleh para kyai-ulama, menghasilkan kader-kader intelektual yang dapat bertranformasi mengisi pembangunan bangsa. peradaban ilmu oleh santri itu sekarang menemukan momentumnya seiring dengan suasana keterbukaan dalam kehidupan masyarakat. Santri sebagai pribadi yang mengamalkan agamanya, santri yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan berbagai karya kitab-turats dan buku-bukunya, santri yang mengelola lembaga pesantren, santri yang menemukan teori-teori baru, santri yang mendirikan rumah sakit, santri yang menjadi memimpin negeri besar Indonesia dan seterusnya, yang pada akhirnya peradaban Nusantara adalah peradaban santri. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Fungsionaris NU, dan Khadim PP al-Kamal Blitar

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *