Spirit Fiqih Peradaban dari Guru Inspiratif dan Inovatif (Risalah Ngaji dan Ngabdi 131 Edisi Haul 2025)

Dalam Haul ini,  di-muqadimahi dengan musyawarah panitia, yang kita sampaikan, Haul ini sebagai wujud ta’dhim kita kepada ilmu dengan selalu menghormati jasa-jasanya dan selalu mengenang apa yang telah mereka perjuangankan sehingga ilmu-ilmu Keislaman ini tetap lestari di lingkungan pondok pesantren, dalam program-program pendidikan, pengajian, sosial, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, santunan bagi yang kurang mampu, kaderisasi ulama, pengamalan thariqah dan lain-lain, sebagai gambaran keberkahan dari lembaga wujud perkembangannya yang semakin hari semakin besar, dinamis, sebagaimana yang dilihat sekarang ini. Haul tahun ini menjadi spirit bagi semua insan yang mendaptkan keberkahan dari Al-Kamal, dari berbagai unitnya, unutk melanjutkan perjuangan menangkap inspirasi dari para pejuang yang awal, supaya ruh perjuangan para pendahulu ini, menjadi modal yang berharga untuk selalu melakukan inovasi, memnuat terobosan-terobosan baru agar lembaga ini tetap relevan dengan tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi kekinian, terutama pesantren dalam mengemban misi pendidikan dan pengajian (tarbiyah) ilmu-ilmu agama.
Di samping itu yang menjadi inspirasi kita semua adalah para kyai Pondok Al-Kamal semuanya mengajar dan  mengaji untuk para santri, juga berkiprah dalam bidang-bidang kemasyarakatan, baik ranah sosial, politik atau ekonomi. Ini dapat dibaca KH. Thohir mengaji, politisi juga pejabat negara, KH. Mahmud mengaji juga sebagai hakim sebagai pejabat negara, KH. Zen Masrur mengaji juga sebagai aparatur negara. Ini artinya para kyai pejuang selalu mengabdikan dirinya untuk agama dan negara. Dua hal yang memang penting dalam memperjuangkan ilmu-ilmu Allah. Tidak hanya sebagai orang-orang yang alim dalam agamanya, tetapi juga berkiprah di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai jalur yang ada, sebagai bagian dari aktulisasi ilmu yang dimiliki. Dalam rangka ikhtiyar semuanya, maka diselenggarakan Haul untuk mencerminkan tujuan-tujuan melanjutkan perjuangan mereka.
Yang pertama adalah diselenggarakan tahlil dan sarasehan alumni yang diikuti para pengurus pondok, santri Ma’had Aly, keluarga pesantren, dan alumni dari berbagai angkatan. Acara ini sebagai usaha untuk sambung sanad, terutama antara murid dengan mursyid, antara guru san siswa, antara kyai dan santri, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Dengan hubungan yang selalu tersambung layaknya aliran Listrik yang selalu menyala, ilmu-ilmu santri yang didapat dari para kyai akan selalu menyala, hidup, berkembang, sehingga doa para kyai, ilmu para kyai juga akan terus mengalir kepada santri-santri, karena layaknya kehidupan yang selau bergerak, berubah dinamis sesuai dengan perkembangan hamba itu sendiri. Hal ini dapat mendasarkan kepada dawuh Allah Swt,
 وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًاۗ قَالَ وَمِنْ  ذُرِّيَّتِيْۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
             Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim ketika diangkat menjadi pemimpin, menjadi suri tauladan bagi umat manusia, juga memintakan untuk keturunannya, senyampang pelanjutnya masih berpegang kepada ajaran Allah. Juga para guru-kyai-kyai kita yang telah terangkat derjatnya disisi Allah, akan selalu berdoa untuk para santrinya supaya tetap melanjutkan perjuangannya, sesuai dengan garis-garis  yang telah diajarkan.
             Berangkat dari situ, rangkaian acara adalah Khataman Alquran, yang bertujuan untuk menanamkan kembali kecintaan kepada sumber asasi umat Islam, para santri, yang harus selalu menjadi pedoman yang dibaca, ditelaah, dipahami, diaktualisasikan dalam kehidupan sehari sesuai dengan bimbingan para kyai. Melihat perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini yang sehari-hari lebih banyak memegang handphone dibanding dengan kitab sucinya. Alquran sebagai sumber ilmu yang menjadi isnpirasi, hidayah, bagi kita menadapatkan ilmu. Ilmu-ilmu yang dipelajari dipesantren atau Lembaga-lembaga disekitarnya semuanya bermuara dari Alquran, maka tidak boleh bagi seorang muslim apalagi santri tidak mendasarkan pengetahuannya kepada Alquran. Sekarang dapat dianalisa bersama, mengapapa kualitas keilmuan agama santri-santri sedikit-demi sedikit terkikis? jawabanya semakin hari tidak mendasarkan ilmunya kepada Alquran, melainkan hanya mengungkap  pengetahuan dari akalnya atau pengalaman empiris yang dialaminya. Sehingga kemu’jizatan Alquran sebagai sumber ilmu tidak mereka dapatkan, karena memang tidak mempelajari dari sumbernya. Sebagaimana ayat yang pertama kali turun kepada jeng Nabi SAW, “Bacalah (ya Muhammad), dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah yang amat pemurah. Yang mengajarkan (menulis) dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al Alaq : 1-5). Dari ayat ini, dipahami sumber ilmu dan sumber agama ialah satu yang tidak terpisahkan yaitu Allah SWT. Maka kalau ingin mendapatkan ilmu harus membaca, mempelajari, memahami Alquran sebagai sumber pengetahuan dan literasi.
Rangkaian selanjutnya membuat diskursus tentang guru inspiratif dan inovatif, sebagaimana dipaparkan dalam acara seminar, diantaranya adalah, 1. Mempertahankan apa yang telah dirintis oleh para sesepuh, yang menggabungkan antara aspek ilmu agama dan peran di masyarakat, antara aspek ilmu dan aktualisasinya di tengah masyarakat. Maka santri harus aktual di tengah-tengah masyarakatanya sebagaimana dicontohkan oleh para gurunya yang selalu memikirkan santri dan masyarakat.
  1. Guru sebenarnya juga santri, maka seorang guru harus menyesuaikan dengan tradisi pesantren, atau tradisi yang telah di-suri tauladan-kan oleh guru kemudian ditirukan oleh para murid. Kata Al-Ghazali “Guru layaknya tongkat, sedangkan murid adalah bayangannya” Seorang murid adalah miniatur dari gurunya, seorang murid dalam bimbingan mursyidnya, seorang santri dalam hubungan yang erat dengan kyainya. Inilah kelebihan dari Pesantren Al-Kamal tidak hanya tranformasi pengetahuan, tetapi juga transfer personality,
  2.   Ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga harus berwujud spesifikasi skill tertentu. misalnya ilmu tentang perkebunan, pertanian, peternakan, ekologi, kesehatan, ekonomi, kedokteran, kemiliteran, sehingga para santri tidak hanya tafaquh fi aldin. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, ilmu syar’iyah dan ghairu sya’riyah. Pembagian sebenarnya sebagai penurunan untuk kurikulum pembelajaran, sehingga seorang murid dapat mempelajarinya dengan sistematis, menginginkan umat Islam berfikir secara ilmiyah. Juga dalam kitabnya yang lain, Kimiyatus Sa’adah, Al-Ghazali menerangkan, dalam tubuh manusia itu ada unsur kimiawi, jadi kadang-kadang manusia itu seneng atau susah, maka di sini manusia harus dilatih, untuk sensitif, mampu memprediksi kondisi anak di masa-masa yang akan datang, atau dalam bahasa Ibn Arabi “ma ba’da thabiah, atau meta kognisi. Latihan-latihan untuk anak didik inilah kemudian disebut dengan al-ta’dib.   Dalam hal Ilmu pengetahuan umat Islam-santri  dapat menjadikan Al-Ghazali sebagai panutan menjadi ilmuwan, dengan karya-karya ilmiyahnya dari berbagai disiplin ilmu. Di antaranya Kimiyatusaadah, Munqid Min Al-Dhalal, Ihya’ Ulum Aldin, Al-Mustasfa, Ayuhal Walad, Bidayat Al-Hidayah, Mi’yar Al-Ilmi  dan lain-lain. (Prof. Maftukhin).
  3. Dalam era kekinian pembelajaran yang dilaukan dapat diperhatikan metode deep learning, pembelajaran mendalam. Kita harus menyadarkan anak didik bahwa ilmu yang dipelajari itu adalah penting, bermakna, berguna. Juga dalam pendidikan harus menyertakan olah raga, olah rasa, olah hati. (Dr. Syaikul Munif).
Selanjutnya aspek Inpiratif yang lain adalah memegang tradisi muslim yang telah dicontohkan oleh para ulama Nusantara. Di antara tradisi itu adalah seni musik hadrah, yang sudah dilembagakan menjadi Ikatan Seni Hadlrah Indonesia(Ishari). Dalam praktiknya Ishari berisi tentang lantunan salawat atas Nabi SAW, puji-pujian dan doa kepada Allah SWT. Dalam rangkaian tradisi hadrah seorang hamba dapat bertawasul kepada Jeng Nabi dan keluarganya, kepada para gurunya. Tujuannya dengan diselenggarakannya acara hadrah semua santri-alumni mendapatkan ilmu-ilmu yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah melalui para sahabat. Yang dalam bahasa periodesasi sejarah adalah masa salaf. Memegang tradisi nabi, sahabat dan ulama inilah sebenarnya tradisi salafiyah yang menjadi penekanan dari pembelajaran di pesantren, yakni kuatnya amaliyah sebagaimana dicontohkan nabi, sahabat dan para kyai-ulama. Ini menjadi ciri khas tersendiri dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, mengingat tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan modern, dan melemahnya tradisi-tradisi ulama. Sebagaimana disampaikan oleh Samuel Hutinton, class civilization, benturan peradaban antara budaya barat dengan budaya timur, antara budaya santri dengan budaya non-santri yang secara epistemologis memang kadang sulit untuk diintegrasikan, kalau metode dan pendekatannya tidak relevan. Maka dengan memagang tradisi salaf dan menerima ijtihad baru dalam ilmu keislaman adalah keniscayaan.
Inspirasi puncaknya adalam majlis dhikir dan manaqib yang diikuti oleh seluruh masyarakat, santri, alumni dari berbagai wilayah di Indonesia. Semua bermunajat kepada Allah supaya santri dan alumni selalu dapat menaburkan ilmu-ilmunya untuk kejayaan bangsa dan agamanya, dalam berbagai peran yang ada dalam masyarakat Nusantara atau bahkan dunia, sehingga ilmu yang didapatkan dari pesantren benar-benar memberikan kontribusi peradaban (bunyah al-hadlarah) masing-masing, baik dalam tingkat lokal, regional, maupun nasional. Inilah misi bersama kita sebagai santri pesantren, warga masyarakat, harus selalu menebarkan kemanfaatan dalam kehidupan di muka bumi, sebagaimana perintah Allah kepada Adam menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana Ibrahim berharap kepada keturunannya untuk menjadi imam dan suri tauladan, juga perintah Allah unhtuk jeng Nabi Muhammad SAW, rahmatan li al-alamin.
*Penulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Tulungagung,  Khadim PP Al-Kamal, Fungsionaris Yayasan Bayturahman Kediri dan PCNU Blitar)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *