Oleh: Erica Aulia W.*
Maka, Rusli pun berlari sambil berteriak. Kakinya yang bengkak terseok-seok ketika melewati gang sempit dan lembap. Tempat para tikus-tikus got berkeliaran dan berkembang biak. Tak peduli walau nafasnya patah-patah dan paru-parunya terasa sakit. Bocah itu terus berlari hingga sudut matanya tanpa sengaja menemukan celah sempit yang tersembunyi di antara tong-tong sampah besar dengan sampah busuk yang bukan main banyaknya.
Rusli kemudian memutar badan, menyaksikan kekosongan di belakangnya. Tapi, telinganya masih mendengar sayup-sayup sumpah serapah di kejauhan. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk mundur dan mendorong masuk tubhnya ke dalam celah sempit tadi. Seketika itu juga, bau tak sedap membaur, menjadi oksigen baru bagi penciumannya. Rusli ingin muntah tapi ditahan. Tangan kanannya terangkat, menutupi mulut kecilnya yang kotor. Kedua matanya merem melek, ikut berusaha mendorong sesuatu yang sudah menyembul hingga tenggorokannya. Ia tak ingin kehilangan sisa isi perutnya dengan paksa. Tidak saat ini.
Tiba-tiba, suara gaduh disusul langkah tergesa-gesa yang diseret menjadi nyata dalam pendengaran Rusli. Bocah itu lantas menekuk tubuhnya sebisa mungkin. Membiarkan lututnya yang telanjang tergores oleh tembok kasar yang sedikit berlumut. Perih.
Ah! Jakarta. Fikirnya. Kota dengan gemerlap yang tak pernah padam walau tengah malam tiba. Sebuah gemerlap yang mengandung kesenangan tersendiri bagi sebagian penduduknya yang jumawa. Dalam keadaan yang sedemikian rupa, Rusli hanya bias menelan pil pahit kehidupan yang datang menderanya tanpa ampun. Ia ingin memberontak. Ingin berteriak. Ingin melampiaskan kekesalan yang kian meradang dalam dirinya. Ingin berlari sejauh mungkin dan meninggalkan kesakitan yang luar biasa di setiap langkah kakinya yang tertinggal. Rusli ingin hidup normal. Ingin sekolah. Ingin orang tua. Ingin bahagia. Sayangnya, ia tak bias memilih untuk menjadi apa ketika dalam kandungan. Ia hanya tahu dari cerita yang disampaikan Pak Tejo, seorang laki-laki setengah abad yang membuka bengkel di dekat tempat tinggalnya. Bahwasanya Karman, preman pasar yang telah mengasuhnya selama ini, menemukan tubh kecilnya di depan pintu rumah gubuk lelaki tersebut. Lengkap dengan kardus sebagai pelindung tubuhnya dari serangan angina malam yang dingin. Tragis. Benar-benar tragis.
Ah! Jakarta. Kata-kata itu kembali terlintas dalam benaknya.
Rusli pun memejamkan keda matanya rapat-rapat. Menahan segala rasa yang seperti menusuknya dari segala penjuru. Tapi, tanpa disadarinya seekor tikus gemuk melintas tanpa permisi di atas jemari kakinya. Membuatnya kaget bukan kepalang dan tanpa sengaja menendang tong sampah yang menutupi sebagian tubuhnya. Akibatnya, tiga orang laki-laki yang sejak tadi mengejarnya berhasil menemukan celah tempatnya bersembunyi. Menyibak tong sampah yang menutupi sebagian tubuhnya lantas menyeret tubuh kecilnya yang kotor. Diambilnya dengan paksa rupiah uang di saku celana bocah itu tanpa sisa. Untuk selanjutnya rasa sakit yang bertubi-tubi menjalari tubuh Rusli seperti menusuk-nusuk. Rasa sakit yang timbul dan membaur bersama amarah di hatinya yang ingin meledak.
Ah! Jakarta. Ucapnya dalam hati, sebelum kesadaran meninggalkannya dan gelap.
*Santriwati Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal kelas 2 Wustho MDK