Misteri 2 Bait Alfiyah Dan Teguran Ibn Malik Atas Kesombongannya
Alfiyyah Ibn Malik merupakan sebuah kitab nahwu populer yang selalu dipelajari di kalangan Pondok Pesantren. Bahkan tidak hanya di kalangan santri saja, melainkan dikaji oleh para akademisi di Perguruan Tinggi lokal, hingga di kancah internasional. Tentu, eksistensi kitab tersebut sebagai bahan ajar dalam memahami kaidah bahasa Arab tidak lepas dari keberkahan dan sirr dari pengarangnya sendiri. Namun di balik kesohoran Alfiyyah ini, menyimpan peristiwa menarik dalam proses penulisannya yang patut diketahui oleh kalangan santri yang concern di bidang ini, yakni tentang misteri lahirnya 2 bait tambahan sebagai teguran dari Ibn Mu’thi atas kejemawaannya dalam melebih-lebihkan karyanya di atas karya gurunya, Ibn Mu’thi. Lantas, beliaupun ditegur di bawah alam sadar. Sehingga terciptalah 2 bait fenomenal ini.
Sekilas tentang Ibn Malik dan Ibn Mu’thi
Ibn Malik memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Malik. Beliau lahir pada tahun 600 H[1] di kota al-Jayyan, bagian dari wilayah Andalusia, Spanyol. Beliau mendapat julukan (laqab) Jamal al-Din dan mendapat kunyah Abu Abdillah. Hanya saja, nama beliau yang terkenal adalah Ibn Malik, dengan menisbatkan nama beliau kepada sang kakek. Penisbatan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, ini beliau lakukan sebagai bentuk etik (ta’addub), sebab nama ayahnya (Abdullah) memiliki kesamaan dengan nama ayah Rasulullah Saw. Oleh karenanya, beliau enggan menyebut nama ayahnya secara jelas dalam bait pertama, melainkan beliau ganti dengan dlamir ghaib “هو”.[2] Ini sebagaimana termaktub dalam bait pertama:

قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ # أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

“Telah berkata Muhammad, yang mana beliau (Abdullah) adalah putra dari Malik: ‘Aku memuji kepada Tuhanku; Allah yang merupakan terbaiknya Dzat Yang Maha Merajai’”
Di kota al-Jayyani inilah juga merupakan tempat beliau menimba ilmu. Hingga di usia remaja, ia berekspedisi ke kota Damaskus untuk meningkatkan keilmuannya. Sebenarnya, beliau berasal dari keluarga yang berafiliasi pada mazhab Maliki. Namun, setelah menempuh masa yang lama dalam pendalaman ilmunya, di kota Damaskus inilah beliau mantap untuk berpindah ke mazhab Syafi’i.[3]
Beliau juga menguasai banyak disiplin ilmu. Akan tetapi, kepakaran beliau sebenarnya berada di bidang ilmu qiraat, yang mendalami tentang bacaan riwayat al-Qur’an dari para imam. Sementara hidup sezamannya, ialah al-Syathibi[4] yang merupakan pakar nahwu. Kendati demikian, keduanya tidak puas dengan ilmu yang mereka kuasai, sehingga keduanya sepakat untuk bertukar disiplin ilmu. Ibn Malik beranjak ke ilmu nahwu, hingga muncullah karya berupa Alfiyyah, sementara al-Syathibi beranjak ke ilmu qiraat hingga muncullah karya berupa Hirz al-Amani wa  Wajh al-Tahani fi al-Qira’at al-Sab’i. Keduanya menjadi karya monumental sesuai disiplin keilmuannya masing-masing yang menjadi kebanggaan putera daerah Andalusia.
Ibn Malik memiliki guru di bidang nahwu yang bernama Ibn Mu’thi. Nama ini turut diabadikan di dalam bait Alfiyyahnya. Ibn Mu’thi bernama lengkap Yahya bin Mu’thi bin Abd al-Nur. Lahir di kota Zawawi di tanah Magrib. Di tanah inilah beliau dilahirkan dan dibesarkan. Beliau berafiliasi pada mazhab Hanafi. Hingga pada suatu saat, ia melakukan pengembaraan ilmiah ke tanah Damaskus Syiria, yang pada akhirnya bertemu dengan sang murid bernama Ibn Malik ini. Beliau memiliki karya monumental di bidang nahwu yang dikenal dengan Alfiyyah Ibn Mu’thi dengan nama asli kitab al-Durrat al-Alfiyyah fi Ilm al-‘Arabiyyah.[5]
Teguran atas Kesombongannya terhadap Sang Guru
Pada mulanya, Ibn Malik menulis kitab tentang gramatika bahasa Arab yang berjudul al-Wafiyyah. Beliau menulis sekitar 3000 bait berbahar rajaz yang mencakup pembahasan ilmu nahwu dan sharaf. Kemudian, beliau meringkasnya menjadi 1000 bait yang kemudian diberi nama al-Khulashah yang masyhur dengan nama Alfiyyah Ibn Malik ini.[6] Artinya, beliau hanya tinggal menyalin saja dari hafalan yang telah beliau jaga di dalam hatinya.
Namun suatu ketika, pada saat beliau menulis kembali bait-bait tersebut, hingga tiba pada bait:

وَتَقْتَضِي رِضًا بِغَيْرِ سُخْطِ # فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِ

“Alfiyyah ini (penulis) harapkan mendapat ridha Allah tanpa tercampur kemurkaan, seraya mengungguli kitab Alfiyyah milik Ibn Mu’thi”
Lantas beliau melanjutkan menulis sepenggal bait berikut:

فَائِقَةً مِنْهَا بِأَلْفِ بَيْتِ # ………………..

“Dan juga mengungguli Alfiyyah Ibn Mu’thi dengan 1000 bait ini…”
Seketika beliau berhenti tidak mampu melanjutkan sepenggal bait berikutnya hingga berhari-hari lamanya. Kemudian beliau bermimpi bertemu seorang kakek tua dan terjadilah dialog antara keduanya:
“Aku dengar, kamu sedang mengarang Alfiyyah. Benarkah itu?” Tanya sang kakek.
“Iya benar.”
“Sampai mana kamu menulis?”
“Sampai pada bait ‘faiqatan minha bi alfi baiti’”. Ujar Ibn Malik
“Lalu apa yang membuatmu berhenti melanjutkannya?”
“Aku tidak berdaya selama beberapa hari ini wahai kakek!” Ucap Ibn Malik berkeluh kesah.
“Bolehkah aku menyempurnakannya?”
“Silahkan”
Lalu kakek tersebut mengucap sepenggal bait berikut:

…… # وَالْحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتِ

“………. # Seorang yang masih hidup mampu mengalahkan seribu orang mati”
Seketika Ibn Malik terkejut mendengarnya dan bertanya balik, “Apakah engkau ini Ibn Mu’thi?”
“Ya, benar” jawab beliau.
Tersungkur malulah Ibn Malik mendengar pengakuan sang kakek yang ternyata adalah gurunya sendiri. Dan ketika ia terbangun dari tidurnya, lantas ia menghapus bait tersebut dan menggantinya dengan 2 bait tambahan sebagai bentuk pujian dan doa dari sang murid:

وَهُوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلَا

“Beliau (Ibn Mu’ti) memiliki banyak keutamaan sebab masanya yang lebih dahulu. Beliau berhak atas pujianku yang agung”

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتٍ وَافِرَة # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ اْلآخِرَة

“Semoga Allah mentakdirkan dengan pemberian yang sempurna padaku dan padanya (Ibn Mu’thi) pada derajat maqam di akhirat”[7]
Inilah bentuk teguran dari sang guru bahwa sekalipun sang murid memang benar-benar lebih alim dibanding gurunya, namun ia tidak boleh sombong dan jemawa, dengan mudah dapat menyepelekan dan meremehkan gurunya. Hendaknya perlu diketahui bahwasanya guru dengan panjangnya usia dan pengalaman yang telah lampau, menjadikannya memiliki keutamaan yang lebih besar ketimbang sang murid. Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk memahami nasehat dari Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tentang etika santri terhadap gurunya sebagai berikut:

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَعْرِفَ لَهُ حَقَّهُ، وَلَا يَنْسَى لَهُ فَضْلَهُ، وَأَنْ يَدْعُوَهُ لَهُ مُدَّةَ حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ[8]

“Etika kelima: hendaknya seorang murid memahami betul tentang kebenaran gurunya, tidak melupakan keutamannya, dan selalu mendoakannya selama masih hidup dan setelah wafatnya”
Keistimewaan Alfiyyah Ibn Malik dibanding Alfiyyah Ibn Mu’thi
Mengapa Ibn Malik begitu percaya diri bahwa Alfiyyah miliknya berada di atas Alfiyyah milik Ibn Mu’thi? Setidaknya, karena memang Alfiyyah Ibn Mu’thi tergolong kitab yang rumit dan sulit dipahami di kalangan pelajar. Oleh karena itu, Ibn Malik memiliki inisiatif untuk membuatnya lebih mudah dengan membuat tandingannya.
Al-Shabban mengemukakan dua keistimewaan yang menjadikan Alfiyyah Ibn Malik dinilai lebih unggul sebagai berikut:

قَوْلُهُ (فَائِقَةً): أَيْ عَالِيَةً فِي الشَّرَفِ. وَإِنَّمَا فَاقَتْهَا، لِأَنَّهَا مِنْ بَحْرٍ وَاحِدٍ وَأَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي مِنْ بَحْرَيْنِ، فَإِنَّ بَعْضَهَا مِنَ السَّرِيْعِ وَبَعْضَهَا مِنَ الرَّجَزِ؛ وَلِأَنَّهَا أَكْثَرُ أَحْكَامًا مِنْ أَلْفِيَّةِ ابْنِ مُعْطِي.[9]

“Redaksi (fa’iqah) bermakna mengungguli dari sisi kemuliaannya. Setidaknya Alfiyyah Ibn Malik dapat mengungguli Alfiyyah Ibn Mu’thi karena dua hal: Pertama, Alfiyyah Ibn Malik hanya menggunakan satu bahar (lagu), yakni rajaz. Sedangkan Alfiyyah Ibn Mu’thi menggunakan 2 bahar: sari’ dan rajaz. Kedua, Alfiyyah Ibn Malik lebih kaya tentang hukum nahwu dibanding Alfiyyah Ibn Mu’thi”.
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Alumni PP Al Kamal Blitar tahun 2017, Dewan Asatidz PP Al Kamal Blitar.
[1]Terdapat riwayat yang berbeda terkait tahun kelahirannya. Ada yang menyatakan beliau lahir pada 597 H, 598 H, 600 H atau 601 H. Namun pendapat yang menyatakan lahir pada 600 H inilah yang lebih kuat.
[2]Ahmad bin Muhammad bin Hamdun, Hasyiyah Ibn Hamdun ‘ala Syarh al-Makudi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz 1, Hal. 13.
[3]Abdullah bin Abdurrahman al-Aqili, Syarh Ibn Aqil ala Alfiyyah Ibn Malik, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017), Tahqiq: Dr. Emil Ya’qub, Juz. 1, Hal. 3.
[4]Perlu diketahui bahwa al-Syathibi yang dimaksud adalah al-Syathibi al-Andalusi. Sementara ada nama lain yang juga masyhur, yakni al-Syathibi al-Maliki pakar di bidang ilmu maqashid. Salah satu karya monumentalnya bernama al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
[5]Hasan bin Qasim al-Muradi, Tawdlih al-Maqashid wa al-Masalik bi Syarh Alfiyyah Ibn Malik, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2008), Juz. 1, Hal. 266.
[6]al-Aqili, Syarh Ibn Aqil ala Alfiyyah Ibn Malik, Juz. 1, Hal. 9.
[7]Ibn Hamdun, Hasyiyah Ibn Hamdun ‘ala Syarh al-Makudi, Juz 1, Hal. 23.
[8]M. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Depok: Maktabah al-Turmusy li al-Turats, 2022), hal 48.
[9]Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiyah al-Shabban ‘ala Syarh al-Asymuni li Alfiyyah Ibn Malik, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 1, Hal. 26.