Ilmu Faraidl Dalam Nadzam ‘Uddatul Faridl Sebab-Sebab Mendapatkan Dan Terhalang Mendapatkan Warisan
Sebab Seseorang Berhak Mendapatkan Harta Warisan
Di dalam ketentuan hukum kewarisan Islam melalui Ilmu Faraidl telah diuraikan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai pihak yang berhak mendapatkan harta warisan terdapat beberapa sebab. Setidaknya ada 3 sebab seseorang berhak untuk mendapatkan harta warisan, sesuai dengan nadzam ‘Uddatul Faridl berikut:

لِلْإِرْثِ أَسْبَابٌ ثَلَاثَةٌ بِلَا # خُلْفٍ قَرَابَةٌ نِكَاحٌ وَوَلَا[1]

“Hak mewaris (mendapatkan warisan) memiliki 3 sebab dengan tanpa # adanya perbedaan pendapat (‘ulama), yaitu hubungan kerabat (keluarga), pernikahan, dan memerdekakan budak”
Terdapat kesamaan pembahasan dalam nadzam (syair) kitab Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah juga mengungkapkan hal serupa terkait sebab-sebab seseorang berhak mendapatkan harta warisan, yakni sebagai berikut:

أَسْبَابُ مِيْرَاثِ الوَرَى ثَلَاثَةٌ # كُلٌّ يُفِيْدُ رَبَّهُ الوِرَاثَةْ

وَهِيَ نِكَاحٌ وَوَلَاءٌ وَنَسَبٌ # مَا بَعْدَ هُنَّ لِلْمَوَاريْثِ سَبَبْ[2]

“Sebab-sebab mewaris bagi makhluk (setiap orang) itu ada 3 # tiap-tiap (sebab) itu memberikan faidah bagi pemiliknya mendapatkan warisan”
“Dia (tiga sebab) itu ialah pernikahan, memerdekakan budak, dan nasab (keturunan) # Tiada sebab lain untuk mewarisi setelah tiga sebab tersebut”
Dari kedua nadzam tersebut di atas dapat kita ambil pemahaman bahwa 3 sebab seseorang berhak mendapatkan harta warisan diantaranya ialah:
  1. Qarabah (hubungan kerabat) atau hubungan keluarga -juga dapat disebut dengan hubungan nasab (hubungan/keturunan) sesuai nadzam Rahbiyah-, yaitu hubungan famili atau keluarga yang masih dekat. Sehingga tidak semua keluarga berhak mendapatkan warisan, melainkan keluarga terdekat saja yang berhak mendapatkannya. Yang dimaksud kerabat dekat yang berhak menerima warisan tersebut meliputi 3 jalur yaitu ke atas, jalur ke bawah, dan juga jalur ke samping. Yang dimaksud dengan jalur ke atas ialah orang tua (bapak atau ibu) mayit serta orang-orang yang punya hubungan nasab kepada mayit dengan sebab mereka. Kemudian yang dimaksud dengan jalur ke bawah ialah anak (keturunan) mayit dan orang-orang yang mempunyai hubungan nasab kepada mayit dengan sebab mereka. Selanjutnya yang dimaksud dengan jalur ke samping ialah orang-orang yang mempunyai hubungan nasab dengan mayit melalui jalur saudara (secara mutlak) baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, anak dari saudara laki-laki dan sebagainya.[3]
  2. Pernikahan, hubungan antara dua orang sebagai suami ataupun istri yang terjadi akibat dari akad perjodohan/akad perkawinan yang mana akad tersebut sudah dinyatakan sah menurut pandangan syari’at agama Islam. Sebab mewaris akibat dari akad perkawinan ini tetap ada dan tetap terjadi meskipun dalam akad perkawinan tersebut suami dan istri belum pernah sama sekali berduaan (khalwat) ataupun juga belum pernah sama sekali berhubungan intim suami istri (jima’). Sehingga apabila seorang suami meninggal (meskipun belum pernah khalwat ataupun jima’), maka istrinya berhak atas harta warisannya dan demikian juga sebaliknya.[4]
  3. Wala’ (hubungan memerdekakan), yaitu hubungan antara majikan (mu’tiq) dan budaknya (‘atiq) yang telah dimerdekakan sebab nikmat yang diberikan oleh tuan majikan tersebut kepada budaknya berupa dimerdekakan. Si majikan (mu’tiq) berhak mendapatkan warisan dari bekas budak (‘atiq) yang telah ia merdekakan sebagai balas jasa dari anugerah yang ia berikan, yakni memerdekakan budaknya. Namun si majikan (mu’tiq) baru mempunyai hak mendapatkan warisan dari budaknya (‘atiq) jika si budak tersebut tidak memiliki ahli waris dan keluarganya sendiri.[5]
Sebab Seseorang Terhalang Mendapatkan Harta Warisan
Di dalam Kitab Taqirat Mandzumah ‘Uddatul Faridl telah disebutkan bahwasanya terdapat 4 sebab/faktor yang dapat menyebabkan seseorang terhalang dan kehilangan hak untuk mendapatkan harta warisan. Sehingga apabila seseorang telah memiliki salah satu dari 3 sebab/faktor mendapatkan harta warisan tersebut di atas tadi, sedangkan ia memiliki salah satu sebab dari empat sebab/faktor penghalang mendapatkan warisan, maka seseorang itu tidak berhak lagi mendapatkan bagian harta warisan. Adapun 4 sebab seseorang terhalang mendapatkan harta warisan dalam Kitab Taqirat Mandzumah ‘Uddatul Faridl diungkapkan sebagai berikut:

وَالمَنْعُ بِاخْتِلَافِ دِيْنٍ حَصَلَا # وَرِدَّةٍ رِقٍّ وَقَتْلٍ مُسْجَلَا

“Perkara pencegah mewaris dapat berhasil sebab adanya perbedaan agama # murtad (keluar dari agama Islam), menjadi budak dan pembunuhan yang dimutlakkan”
Dengan demikian, 4 sebab/faktor terhalangnya seseorang mendapatkan harta warisan dapat kita uraikan seperti berikut:
  1. Perbedaan agama, yakni antara Islam dan selain Islam. Jika si mayit seorang muslim sedangkan anaknya beragama non Islam, maka si anak tidak bisa/tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya tersebut, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

لا يرث المسلمُ الكافرَ ولا الكافرُالمسلمَ. (متفق عليه)[6]

“Seorang muslim tidaklah dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim”. (Muttafaqun Alaih)
  1. Riddah (keluar dari agama Islam), ialah keputusan melepaskan Islam dan keluar dari agama Islam baik dengan perbuatan/tindakan, keyakinan ataupun dengan suatu ucapan. Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam dapat dipelajari lebih lanjut dalam kitab-kitab fikih. Sedangkan orang yang keluar dari agama Islam disebut dengan murtad.
  2. Riqqin (Berstatus sebagai budak), yaitu status perbudakan dengan segala macam sebutannya. Maka dari itu semua budak tidak bisa mendapatkan harta warisan dan harta bendanya tidak diwarisi selain budak mub’adl dalam harta benda yang dimilikinya dengan sebagian badannya yang merdeka. Dan harta ini semuanya menjadi milik ahli warisnya menurut qaul ashah (pendapat yang lebih benar).[7] Status budak juga merupakan status kehambaan yang sangat lemah yang mana status tersebut dapat menyebabkan seseorang terjerumus pada kekafiran. Selain itu, salah satu hal yang mewajibkan kewarisan ialah sifat atau status merdeka (hurriyah).[8]
  3. Perbuatan membunuh (yang dimutlakkan), yaitu tindakan membunuh yang dilakukan baik dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan alasan yang dibenarkan atau tidak, seperti pemimpin (imam) ataupun juga hakim (qadhi) yang dengan perintah/putusannya menyebabkan seseorang dihukum mati atau hukuman qishash. Selain itu, seperti halnya seorang bapak yang melakukan pengobatan terhadap anaknya namun dalam hal ini terjadi kecelakaan sehingga mengakibatkan anaknya meninggal dunia.[9]
Terkait dengan pembunuhan yang menjadi sebab/faktor penghalang mendapatkan warisan ini, menurut madzhab Syafi’i, yakni segala bentuk pembunuhan dapat menggugurkan si pelaku dari daftar ahli waris, baik pembunuhan sengaja (‘amdun), seperti sengaja (syibhu ‘amdin), ataupun juga tidak sengaja (khata’), bahkan kesaksian seseorang di pengadilan yang menyebabkan terdakwa dihukum bunuh/mati pun terhalang dari harta warisannya. Adapun menurut madzhab Maliki, pembunuhan yang mencegah hak waris hanya pembunuhan dengan kesengajaan (‘amdun), sedangkan jenis pembunuhan yang lain tidak mencegah hak waris. Madzhab Hanafi berpendapat, pembunuhan yang mencegah hak waris ialah pembunuhan yang mewajibkan denda (kaffarat), dan pembunuhan ini mencakup pembunuhan sengaja (‘amdun), seperti sengaja (syibhu ‘amdin), ataupun juga tidak sengaja (khata’). Sementara menurut madzhab Hanbali, ialah pembunuhan yang menyebabkan qishash, diyat, atau kaffarat. Adapun pengertian lebih detail terkait masing-masing jenis pembunuhan tersebut berikut juga ketentuannya dapat dipelajari dalam kitab-kitab fikih.[10]
Sedikit berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam nadzam (syair) kitab Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah di dalamnya diuraikan ada 3 sebab yang mencegah seseorang mendapatkan harta warisan, yang berbunyi:

وَيَمْنَعُ الشَّخْصَ مِنَ المِيْرَاثِ # وَاحِدَةٌ مِنْ عِلَلٍ ثَلَاثٍ

رِقٌّ وَقَتْلٌ وَاخْتِلَافُ دِيْنِ # فَافْهَمْ فَلَيْسَ الشَّكُّ كَاليَقِيْنِ[11]

“Dan hal yang mencegah seseorang dari mewarisi # yaitu salah satu dari alasan-alasan yang tiga”
“Yakni perbudakan, pembunuhan dan perbedaan agama # maka pahamilah, sehingga tiada keraguan (yang nyata) seperti keyakinan”
Dari nadzam (bait sya’ir) di atas 3 sebab pencegah seseorang mendapatkan harta warisan dapat kita uraikan berikut ini:
  1. Riqqun (perbudakan), yakni status perbudakan dengan segala macam sebutannya. Baik budak secara sempurna (qinn) atau sebagian (muba’adl). Maka dari itu semua budak tidak bisa mendapatkan harta warisan dan harta bendanya tidak diwarisi selain budak mub’adl dalam harta benda yang dimilikinya dengan sebagian badannya yang merdeka. Dan harta ini semuanya menjadi milik ahli warisnya menurut qaul ashah (pendapat yang lebih benar).[12] Status budak juga merupakan status kehambaan yang sangat lemah yang mana status tersebut dapat menyebabkan seseorang terjerumus pada kekafiran. Selain itu, salah satu hal yang mewajibkan kewarisan ialah sifat atau status merdeka (hurriyah).[13]
  2. Qatlun (pembunuhan), yaitu membunuh secara mutlak. Maka dari itu, pembunuh tidak bisa mendapatkan warisan dari harta mayit yang dibunuhnya, baik dengan sengaja ataupun tidak, dengan hak ataupun tidak, ataupun juga karena menghukumi dengan membunuhnya (karena menjadi seorang hakim), ataupun juga penyaksian yang menyebabkan dibunuhnya si mayit.[14]
  3. Ikhtilaafu Diinin (perbedaan agama), yaitu perbedaan agama dengan Islam di satu pihak dan kufur di lain pihak. Maka dari itu, seorang muslim tidak mewaris dari seorang kafir. Dan begitun seorang kafir tidak bisa mewarisi dan mewariskan sekalipun berbeda-beda nama (istilah)nya baik (Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, Budha, dan lain-lainnya) karena kekafiran tersebut dianggap satu agama dalam bidang Ilmu Faraidl.[15] Dalam nadzam (syair) kitab Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah ini, murtad (keluar dari agama Islam) sudah tercakup dalam istilah ikhtilaafu Diinin (perbedaan agama), karena memang murtad (keluar dari agama Islam) adalah hal yang mengakibatkan ikhtilaafu Diinin (perbedaan agama). Maka dari itu, antara murtad dan ikhtilaafu Diinin tidak diperinci satu persatu. Oleh karena itu, hal inilah yang menjadi letak perbedaan dengan sebab-sebab penghalang mendapatkan warisan yang ada dalam nadzam ‘Uddatul Faridl, yang mana diuraikan dan diperinci tersendiri antara ikhtilaafu Diinin (perbedaan agama) dan murtad (keluar dari agama Islam), sehingga dalam nadzam ‘Uddatul Faridl terdapat 4 sebab terhalang mendapatkan harta warisan.
    Penulis : Khoirul Anwar, S.H., M.H. (alumni Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal 2018)
[1] Syekh Sa’id Ibn Sa’ad Nabhan, Taqrirot Mandzumah ‘Uddatul Faridl, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, t.th), h. 5.
[2] Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, (Seladi: Ma’had ‘Ulum Al-Syari’ah Al-Sakinah, 1419 H), h. 2.
[3] Ibid.
[4] M. Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl (Pembagian Harta Warisan), (Kediri: Santri Salaf Press, 2016), h. 14. Lihat Syekh Sa’id Ibn Sa’ad Nabhan, Taqrirot Mandzumah ‘Uddatul Faridl, h. 5 dan Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, h. 2.
[5] Ibid.
[6] M. Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl (Pembagian Harta Warisan), h. 15.
[7] Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, 3.
[8] Syekh Sa’id Ibn Sa’ad Nabhan, Taqrirot Mandzumah ‘Uddatul Faridl, h. 5.
[9] Ibid.
[10] M. Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl (Pembagian Harta Warisan), h. 15-16.
[11] Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, 3.
[12] Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, 3.
[13] Syekh Sa’id Ibn Sa’ad Nabhan, Taqrirot Mandzumah ‘Uddatul Faridl, h. 5.
[14] Syekh Abi Abdillah Muhammad  Bin Ali Al-Rahabi,  Al-Azhar Al-Raudhiyah ‘Ala Matan Al-Rahbiyah, 3.
[15] Ibid.