Ta'dziman Wa Kiraaman Kepada Kiai
Semua orang tentunya ingin mendapatkan Ilmu. Sebagai muslim sejati, ilmu merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas diri demi mencapai kebahagian di dunia dan juga akhirat kelak. Dalam Islam, mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi manusia. Hal ini dikuatkan dalam hadis Nabi, “Menuntut Ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.” Dalam tradisi pesantren, ilmu merupakan sesuatu yang sakral. Saking mulianya, tahap awal yang harus ditempuh santri dalam mengarungi samudera ilmu ialah memperkuat jiwa (dalam bahasa jawa “ngolah jiwa”). Proses menjalankan ritual-ritual “ngolah jiwa” diperlukan seorang mursyid (guru). Maka tidak heran tindak-tanduk (tatakrama) begitu melekat dalam diri santri. Karena hal demikian merupakan prosedur utama santri dalam mengawali perjalanannya mencari ilmu.
Ciri khas pendidikan pesantren yang dicetuskan dalam bentuk kurikulum pesantren ialah kajian tindak-tanduk. Biasanya, santri pemula ditekankan mengkaji secara mendalam prosedur penempuhan mencari ilmu. Diantara kajian yang masyhur membahas masalah ini ialah ngaji ta’lim muta’alim. Kitab ini agak tipis, tapi isinya mengandung pesan-pesan yang begitu mendalam, khususnya bagi pencari ilmu untuk pemula. Diantara isi kitab ta’lim muta’alim yang hingga kini dibumikan dalam bentuk praktik kehidupan santri ialah ta’dhiman wa kiraman kepada kiai.
Seorang pelajar tidak akan mendapakan ilmu apabila tidak menghargai ilmu dan mengormati pemilik ilmu. Diantara cara menghargai dan memuliakan ilmu ialah nderek pitutur kiai. Kiai merupakan tokoh sentral yang selama 24 jam membimbing para santri dalam berbagai hal,diantaranya mempraktikkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam kitab kuning. Amalan-amalan keseharian selalu beliau praktikkan supaya santri bisa melihat langsung dan mampu mengamati cara pengamalan ilmu dengan baik.
Santri menjadi anak didik kiai sepenuhnya. Segala ilmu kehidupan yang dihidangkan kepada kiai menjadi pedoman, bukan sekedar untuk beretorika. Ajaran tingkat tinggi yang selalu ditanamkan dalam diri santri ialah belajar untuk ikhlas dan qana’ah bil maujud (menerima apa adanya). Santri harus sepenuhnya menyerahkan diri hidupnya untuk kiai. “Mondok bukan sekedar ngaji, tapi melakukan aktivitas ro’an sehari-hari, dan ta’dhim juga termasuk mondok,” begitulah bentuk pengajaran kiai yang hingga kini masih terkenang, walaupun sudah terjun dalam kehidupan bermasyarakat.
Ta’dhiman wa kiraman kepada kiai merupakan salah satu cara pesantren membentuk kepribadian santri. Kiai dalam membentuk kepribadian mereka tidak terlalu banyak menafsiri makna yang terkandung terhadap perintah yang dilontarkannya. Sedangkan santri sendiri apabila diperintah olehnya tidak serta merta menanyakan makna dari perintah yang dimaksud, hanya saja jiwa dan raga langsung dikerjakannya.
Kandungan kitab ta’lim muta’alim yang diimplementasikan dalam kehidupan pesantren diantaranya, tindak tanduk santri kepada kiai ketika melintas dihadapannya, tidak menduduki tempat duduknya karena takut kualat, dan tidak berani mengetuk pintu rumahnya. Lewat di depan rumah kiai saja kadangkala sampai berhati-hati agar tidak mengganggu aktivitas beliau. Pada intinya, karakter yang ditanamkan pesantren untuk santri ialah untuk mendapatkan ridhanya guru-kiai. Jangan sampai santri membuat murka seorang guru-kiai. Hal ini akan menghilangkan kualitas keberkahan ilmunya dan hanya sedikit manfaat ilmu yang didapatkannya. Menariknya, antara teoritis dan praksis begitu seimbang.
Dalam tradisi pesantren, kiai merupakan sosok pemimpin yang mampu menciptakan santri seperti dalam lakon dunia perfilm-an. Dalam lakon tersebut, beliau bagaikan seorang sutradara. Segala kreasi yang dikarangnya diimplementasikan lewat pemain. Santri dalam lakon ini dijadikan sebagai pemain. Lakon yang ditayangkan kemudian ditonton oleh khalayak umum. Keberhasilan lakon perfilm-an tergantung usaha sang sutradara dalam mengatur pemainnya, dan seberapa gigih pemain memainkan perannya. Walaupun akting pemain yang membuat takjub penonton, akan tetapi sang pembentuk pribadi dan suara jiwa seorang pemain langsung dari sang pengarang, yakni sutradara.
Begitulah kehidupan pesantren, kiai merupakan tokoh sentral yang berperan penting mencetak karakter kepribadian santri. Pendidikan yang dicetak dalam tradisi pesantren berupa idiologi spiritual dan keyakinan. Semakin santri tidak menguasai idiologi ini, kala diterjunkan di masyarakat ilmunya kurang dibutuhkan. Sebaliknya, santri yang ilmunya serba terbatas, tapi mampu menguasai idiologi yang ditanamkan oleh kiai atas dasar santri “nderek kiai”, justru dijadikan langganan oleh mereka.
Keterkaitan antara guru dan murid dalam tradisi pesantren bukan sekedar hubungan kerja dan pengetahuan. Berguru juga mengabdi, dan berkesempatan untuk siap mengikuti dan meneladani kiai dimanapun berada, atau dalam bahasa jawa siap untuk “nyantrik”. Dalam proses ngalap ilmu, ada tiga hal pokok yang secara turun-temurun diajarkan di pesantren, dan alangkah seyoganya dipahami dengan disertai implementasinya, demi menjaga eksistensinya. Ketiga hal demikian diantaranya, pertama, thalib (orang yang menimba ilmu dalam rangka untuk mendapakan ilmu Allah, sehingga lebih dekat dengan-Nya). Kedua, mursyid (guru-kiai), yakni orang yang membimbing dan memberikan arahan kepada thalib. Ketiga, wali santri, yakni orang yang menyerahkan secara totalitas kepada mursyid demi keberhasilan dan kesuksesan thalib.
Ketiga istillah di atas tidak bisa dipisahkan. Sepatutnya, tanggung jawab ini perlu ditanamkan pada diri tugas masing-masing. Seorang thalib akan kesusahan dan kesulitan mendapatan ilmu Allah tanpa bimbingan dan petunjuk arahan seorang mursyid. Tingkatan mursyid dalam tradisi klasik merupakan seorang tokoh yang dekat dengan-Nya. Mursyid merupakan sarana wasilah untuk mempermudah proses taqarub ila Allah. Biasanya, membersihkan hati (thaharatun nafsi), mengasah jiwa, dan memperhalus budi pekerti merupakan pondasi utama bagi santri (thalib) untuk dijadikan modal supaya dalam proses ngalap ilmu mendapakan kemanfaatan dan keberkahan. Kiai, atau mursyid mengabdikan dirinya secara totalitas di pesantren untuk membimbing dan membina para santrinya. Hingga pakar agamawan Quraish Shihab juga meyakini, apabila pendidikan di pesantren orangnya tulus dan ikhlas.
Pandangan demikian membuat penulis yakin, dengan menanamkan jiwa ikhlas, menebarkan kasih sayang kepada santri, hingga menganggapnya sebagai anak sendiri merupakan keberhasilan sendiri seorang kiai dalam mencetak kader-kader masa depan bangsa. Nampaknya, penulis meyakini apabila dunia pesantren lah diantara lembaga pendidikan yang secara tulus dan ikhlas menggembleng para pencari ilmu. Tanpa memikirkan bisyarah (ongkos), pendidik siap untuk berjuang mempertahankan pengajaran yang diterapkan oleh ulama’ shalafus shalih.
Keikhlasan dan ketulusan inilah yang kemudian bisa mengalir dan melekat dalam diri santri. Sehingga, santri memiliki kekuatan bathin dan kecerdasan ruhani yang kuat. Pada akhirnya, dengan modal demikian santri dapat menghadapi gebrakan dan tantangan era globalisasi yang hingga kini terus berkembang.
Dilihat dari pandangan hubungan kiai dan santri, bentuk pembelajaran yang dilakukan oleh kiai nampaknya bila dipandang dalam dunia akademisi terkesan tadisionalis dan pasif, hingga para pakar rasionalis pun sulit memahami konsep yang diterapkan kiai dalam mendidik santrinya. Mayoritas, transfer kebathinan dan olah jiwa merupakan salah satu thariqah yang ditempuh lembaga pesantren. Walaupun demikian, hingga kini sudah terbukti, apabila metode yang diterapkan pesantren tetap eksis dengan ciri khas pengajarannya dalam membumikan kajian Islam. Ciri khas pendidikan di pesantren inilah pada nantinya menjadi icon pusat studi agama, dan mampu bersanding dengan era millenial. Wallahu a’lam bi shawab.
*Muhammad Imam Sanusi Al Khanafi, Pengurus Pusat Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal