Ridha Orang Tua : Kunci Sukses Dunia Akhirat
  1. Hakikat Orang Tua
Ketika kita mendengar sebutan “orang tua” maka terlintas di benak kita bahwa yang dimaksud ialah ayah dan ibu kita. Keduanya merupakan orang yang sangat berpengaruh di kehidupan kita selaku anak. Bagaimana tidak, sebab beliaulah, seorang anak yang tidak mengerti apa-apa lahir di dunia atas izin Allah Swt.
Dalam istilah arab, ayah sering didiksikan dengan kata “الأب” . al-Raghib al-Ashfihani mendefinisikannya dengan istilah “orang yang menjadikan perantara lahirnya seorang anak”, sebab memang pada hakikatnya seorang ibulah yang melahirkan sang anak, sehingga seorang ayah sejatinya turut andil melahirkan, tetapi dalam istilah majaz. Melalui varian diksi ini, terbentuklah kata “الإبن” yang sebenarnya masih satu akar kata dari kata sebelumnya. Diksi tersebut dimutlakkan pada penyebutan seorang anak.[1]
Kelahiran seorang anak tentu melibatkan dua pasangan yang saling berhubungan, yakni ayah dan ibu. Jika kita telah jelaskan sebelumya tentang siapa ayah itu, maka mari kita beralih topik untuk mengenal siapa ibu sebenarnya. Dalam bahasa arab, ibu sering diistilahkan dengan sebutan “الأم” yang berarti “seseorang yang melahirkan anak”. Jika ditarik pada sisi terminologi, maka ditemukan definisi sebagai berikut:[2]
  • Ibu secara hakikat (ibu kandung): orang yang melahirkan seorang anak.
  • Ibu secara majaz: orang yang melahirkan orang yang sekarang melahirkan anak (nenek).
  • Ibu sepersusuan: orang yang tidak melahirkan seorang anak, tetapi menyusuinya di masa kecil.
Dua macam manusia ini (ayah dan ibu) memiliki perhatian khusus dalam Islam, sehingga sering diistilahkan oleh Allah Swt dengan diksi “الوالدان / الوالدين”.
Mari kita lihat salah satu firman Allah Swt berikut:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada orang tua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik” (QS. al-Isra’: 23).
  1. Anjuran Berbakti Kepada Orang Tua
Ayat di atas sekaligus menjadi pengantar masuknya pembahasan tentang anjuran berbakti kepada orang tua. Dalam al-Qur’an, anjuran berbakti kepada orang tua ini disebutkan sebanyak 4x, antara lain dalam QS. al-Isra’: 23 sebagaimana disebutkan sebelumnya, QS. al-Baqarah: 83, QS. al-Nisa’: 36, dan QS. al-An’am: 151. Ketiga ayat terakhir disebutkan sebagaimana berikut:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu (masih menjadi) pembangkang” (QS. al-Baqarah: 83).

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. al-Nisa’: 36).

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik kepada orang tua, janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti’” (QS. al-An’am: 151).
Perintah berbakti kepada orang tua tidak hanya berhenti melalui firman Allah Swt saja, tetapi lebih dikokohkan lagi oleh sabda Rasulullah Saw. Berbakti kepada orang tua (birr al-walidain) ini lebih utama dibandingkan jihad. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul berikut:

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ لِوَقْتِهَا، وَبِرُّ الوَالِدَيْنِ، ثُمَّ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ»

Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud Ra bahwa terdapat seseorang bertanya kepada Nabi Saw, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Melaksanakan salat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, kemudian berjihad di jalan Allah Swt” (HR. al-Bukhari No. 7534).
Pada redaksi hadis di atas, secara urutannya, tentu birr al-walidain lebih utama dibandingkan jihad. Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengomentari hadis di atas bahwasanya alasan didahulukannya birr al-walidain adalah pada aspek hukum fardu ain, sementara berjihad hukumnya fardu kifayah. Sehingga jika jihad dilakukan oleh sebagian orang saja, maka gugurlah kewajiban muslim lainnya. Lain halnya dengan kewajiban untuk birr al-walidain yang dibebankan kepada setiap individu. Ini menunjukkan betapa pentingnya seorang anak untuk berbakti dan menghormati orang tua lebih dari segalanya.[3]
Rasulullah Saw juga pernah memalingkan tujuan orang yang hendak berjihad, tetapi masih memiliki orang tua agar ia kembali ke orang tuanya dan berkhidmah terhadapnya. Hadis tersebut berbunyi:

سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: «أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ»

(Abu al-Abbas al-Sya’ir berkata) Aku mendengar Abdullah bin Umar Ra berkata: Telah datang kepada Nabi Saw seorang lelaki, lalu ia meminta izin untuk ikut serta berperang. Kemudian Nabi Saw bertanya, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya”. Lantas beliau bersabda, “Berjihadlah kepada keduanya” (HR. al-Bukhari No. 3004).
  1. Pentingnya Menggapai Ridha Orang Tua
Sering kita mendengar istilah “ridha Allah terletak pada ridha orang tua dan murka Allah terletak pada murka keduanya”. Sebenarnya kalimat tersebut disarikan dari hadis Nabi Saw berikut (meskipun banyak riwayat yang menyerupainya):

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Rida Allah terletak pada rida orang tua. Murka Allah terletak pada murka keduanya. (HR. al-Tirmidzi No. 1899).
Lalu apa maksud dari rida di atas?
Banyak definisi yang digagas oleh para ulama tentang makna rida. Menurut al-Taftazani, rida ialah “merelakan sesuatu dan menganggapnya baik”.[4] Jumhur ulama menterminologikannya dengan “menyengaja sesuatu tanpa diliputi kebencian”.[5] Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa maksud rida orang tua ialah kerelaan orang tua terhadap sesuatu yang berkaitan dengan urusan anak tanpa diliputi kebencian apapun. Oleh sebab itu, sangat wajar sekali, jika Nabi Saw bersabda bahwa rida Allah terletak pada rida orang tua, sebab ketika orang tua itu menganggap baik pada sesuatu, maka sejatinya kebijakan tersebut lahir dari hati terdalam. Sesuatu yang lahir dari hati, tentu atas ma’unah dari Allah Swt.
Selain harus berbakti kepada orang tua untuk menggapai ridanya, tentu seorang anak harus menghindari murka orang tua, sehingga anak yang mendapat murka dapat dikategorikan sebagai anak durhaka. Dalam Islam sering disebut dengan istilah ‘uquq al-walidain. Sebagaimana birr al-walidain itu sangat diwajibkan, maka ‘uquq al-walidain pun setingkat kebalikannya, yakni sangat diharamkan. Bahkan termasuk bagian dari dosa besar setelah syirik. Hal demikian terekam dalam hadis riwayat Abdullah bin Amr yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الكَبَائِرُ؟ قَالَ: «الإِشْرَاكُ بِاللهِ» قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «ثُمَّ عُقُوقُ الوَالِدَيْنِ» قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «اليَمِينُ الغَمُوسُ» قُلْتُ: وَمَا اليَمِينُ الغَمُوسُ؟ قَالَ: «الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ»

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Ra berkata: Seorang badui mendatangi Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa dosa besar itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah”. Ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Durhaka kepada orang tua”. Ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “sumpah ghamus”. Aku bertanya, “Apa itu sumpah ghamus?” Beliau menjawab, “Sumpah dusta, yang karenanya dapat menguasai harta orang muslim”.  (HR. al-Bukhari No. 6920).
Ibn Muflih mengutip pendapat dari al-Ahnaf bahwa anak yang berbakti kepada orang tua, ia memiliki harga diri (muru’ah). Sehingga jika dipahami kebalikannya, maka anak yang durhaka kepada orang tua, sama sekali tidak memiliki harga diri. Beliau berkata:

وَسُئِلَ الْأَحْنَفُ عَنِ الْمُرُوءَةِ، فَقَالَ: التَّفَقُّهُ فِي الدِّينِ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ، وَالصَّبْرُ عَلَى النَّوَائِبِ

Al-Ahnaf (sekelompok pemuka mazhab Hanafi) pernah ditanya tentang permasalahan harga diri. Beliau menjawab, “Harga diri terletak pada orang yang menekuni agama, orang yang berbakti kepada orang tua, dan orang yang sabar atas segala musibah”.[6]
  1. Kesuksesan Anak Bergantung Pada Orang Tua
Setiap orang tua mendambakan anak yang sukses. Begitu juga sebaliknya, seorang anak juga menghendaki sukses melalui wasilah orang tuanya. Tentu, kesuksesan yang dimaksud oleh banyak orang tua tidak hanya berkutat pada sukses harta dan karir saja yang bersifat dunawi, tetapi mereka juga mendambakan anaknya sukses ukhrawi. Salah satunya ialah salih/salihah. Setiap orang tua pasti mendoakan anaknya agar menjadi anak yang salih/salihah.
Apa itu salih? Salih secara etimologi memiliki makna “layak, baik, atau patut”. Secara terminologi, Syekh Abi Bakar Syatha menyebutkannya dalam Kifayat al-Atqiya’:

وَالصَّالِحُوْنَ هُمُ الْقَائِمُوْنَ بِحُقُوْقِ اللهِ وَحُقُوْقِ الْعِبَادِ

“Orang-orang salih ialah mereka yang menjalankan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya”.[7]
Ketika relasi anak dengan Allah dan manusia baik, maka kesuksesan akan mudah digapai dan diraih, sehingga cita-cita apapun yang ia kehendaki, atas izin Allah akan dikabulkan. Inilah hakikat salih sesungguhnya.
Ada sosok orang tua dibalik kesuksesan seorang anak. Kita lihat misalnya, Imam Syafi’i sebegitu alimnya dan menjadi mujtahid mutlak hingga mendirikan mazhab tak lepas dari rida ibunya. Beliau sendiri juga sangat berbakti kepada ibunya. Di Indonesia, ada Mbah Kyai Abdul Karim, atau dikenal dengan sebutan Mbah Manab, pendiri pondok Lirboyo kediri. Konon, kesuksesan beliau juga tidak luput dari tirakat dan riyadlah dari ibundanya.
Contoh lain, suatu ketika sahabat Abdullah bin Umar Ra melihat seorang lelaki menggendong ibunya di punggungnya untuk tawaf mengelilingi ka’bah. Laki-laki itu bertanya kepada Ibn Umar: “Wahai Ibnu Umar, apakah anda menilai aku telah memenuhi hak ibuku?” Ibnu Umar menjawab:

وَلَا بِطَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ طَلْقَتِهَا، وَلٰكِنْ قَدْ أَحْسَنْتَ، وَاللهُ يُثِيْبُكَ عَلَى الْقَلِيْلِ كَثِيْرًا

“Belum, bahkan sama sekali tidak sebanding dengan satu di antara sekian kali rasa sakit yang dialaminya saat melahirkan. Akan tetapi, engkau telah berbuat baik kepadanya. Mudah-mudahan Allah memabalasmu atas kebaikan yang sedikit ini dengan balasan yang banyak”.
Lantas pemuda tersebut menjadi sukses berkat kebaktiannya kepada ibunya, meskipun tidak dapat menggantikan rasa sakit ketika ibu melahirkannya. Tetapi, naluri seorang ibu, terutama orang tua akan sangat senang ketika melihat anaknya berbakti dan berbuat baik kepadanya.
Sehingga, memang benar maqalah yang berbunyi, “orang tua adalah keramat kehidupan bagi sang anak.” Di sisi lain, terdapat maqalah masyhur yang biasa dinukil oleh para ulama kita yang berbunyi:

كَمْ مِنْ مَشْهُوْرٍ بِبَرَكَةِ الْمَسْتُوْرِ

Berapa banyak orang yang masyhur dengan wasilah keberkahan orang yang tertutup (tidak masyhur).
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Alumni PP Al Kamal Blitar tahun 2017, Dewan Asatidz PP Al Kamal Blitar.
[1]Al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Juz 1, (Beirut: Dar al-Qalam, 1990), 883.
[2]Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 3, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 174.
[3]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 6, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1957), 141.
[4]Mas’ud bin Umar al-Taftazani, Syarh Al-Talwih ala al-Taudhih, Juz 2, (Mesir: Maktabah Shabih, t.th), 195.
[5]Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Thurabulisi, Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil, Juz 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 9.
[6]Muhammad bin Muflih, Al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Juz 2, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th), 319.
[7]Al-Sayyid Bakri al-Makki, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, (Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), 51.