Spesial Ramadhan (Edisi 05): Mencicipi Rasa Makanan Saat Puasa, Batalkah?
Mencicipi makanan bisa dibilang sebuah keharusan untuk mengetahui apakah masakan yang baru dibuat sudah enak atau belum. Namun, jika dilakukan pada saat musim puasa seperti ini, sering kali mengundang keraguan, antara batal atau tidak. Mereka khawatir akan masuknya makanan tanpa mereka sadari. Di satu sisi, jika ternyata masakan tersebut ternyata kurang begitu enak, maka cenderung tidak dimakan, sehingga menjadi mubazir. Lantas, apakah mencicipi rasa makanan saat puasa secara langsung membatalkan puasa?
Pembaca yang budiman. Sebelum melangkah ke pembahasan, alangkah baiknya kita mengingat kembali tentang hakikat ibadah puasa. Mari kita coba pahami definisi puasa yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi:

وَشَرْعًا: إِمْسَاكٌ عَنْ مُفْطِرٍ بِنِيَّةٍ مَخْصُوصَةٍ، جَمِيعَ نَهَارٍ قَابِلٍ لِلصَّوْمِ، مِنْ مُسْلِمٍ عَاقِلٍ طَاهِرٍ مِنْ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ.

“Puasa secara terminologi syarak adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan dengan niat tertentu yang dilakukan di seluruh waktu siang (terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari) yang menerima dilakukan puasa, dari orang muslim berakal yang suci dari haid dan nifas” (Ibn Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], Hal 136).
Dari sini poin pentingnya adalah bahwa puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan. Salah satunya adalah masuknya sesuatu ke dalam tubuh. Makan dan minum termasuk salah satu yang membatalkan puasa. Hanya saja, makan dan minum memang ada zat nyata yang masuk, yaitu berupa nasi dan lauk atau air minum.
Hanya saja, pemahaman ini menjadi berubah bilamana seseorang hanya sekedar mencicipi saja tanpa memakannya. Artinya, tidak ada barang masuk yang sampai ke perut, namun ada rasa yang tertinggal di lidah. Karena tidak sampai tertelan, lantas apakah dapat dikategorikan sama dengan sesuatu yang membatalkan puasa?
Kalangan fuqaha Syafi’iyah berpendapat bahwa mencicipi rasa masakan tidak sampai membatalkan puasa. Namun, hal ini sebaik mungkin dihindari, sebab khawatir makanan tersebut dapat tertelan tanpa sadar. Ibn Hajar al-Haitami menjelaskannya sebagai berikut:

(وَ) يُسَنُّ (أَنْ يَحْتَرِزَ عَنِ الْحِجَامَةِ) ….. (وَ) عَنْ (ذَوْقِ الطَّعَامِ) وَغَيْرِهِ، بَلْ يُكْرَهُ خَوْفًا مِنْ وُصُولِهِ إلَى حَلْقِهِ

“Disunnahkan untuk menghindari berbekam…… dan mencicipi masakan atau selainnya. Hanya saja dimakruhkan, khawatir sampainya makanan tersebut hingga tenggorokannya” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983], Juz 3, Hal 425).
Namun, al-Syarwani memberikan komentar atas pendapat Ibn Hajar al-Haitami ini bahwa bilamana memang ada hajat, maka kemakruhan tersebut menjadi hilang. Beliau berpendapat:

قَضِيَّةُ اقْتِصَارِهِ عَلَى ذَلِكَ كَرَاهَةُ ذَوْقِ الطَّعَامِ لِغَرَضِ إصْلَاحِهِ لِمُتَعَاطِيهِ. وَيَنْبَغِي عَدَمُ كَرَاهَتِهِ لِلْحَاجَةِ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ مُفْطِرٌ غَيْرُهُ، لِأَنَّهُ قَدْ لَا يُعْرَفُ إصْلَاحُهُ مِثْلَ الصَّائِمِ اهـ

“Adapun konteks pembahasan yang dipersingkat demikian itu tentang kemakruhan mencicipi makanan dengan tujuan untuk memperbaiki bagi orang yang akan memakannya. Namun sebaiknya tidak dihukumi makruh, jika ada hajat, meskipun memang ada sesuatu yang membatalkan selain makanan tersebut, sebab perbaikan cita rasa masakan terkadang tidak dapat diketahui sebagaimana orang yang berpuasa ini (orang yang masak)” (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983], Juz 3, Hal 425).
Di satu sisi, kita juga sering mendapati kasus yang hampir sama, yakni seorang ibu yang mengunyahkan makanan untuk bayinya sebagai cara untuk menghaluskan makanan supaya si bayi bisa menelan dengan mudah. Ibu akan merasakan rasa dari makanan tersebut tanpa menelan makanannya. Lantas apakah dapat disamakan dengan kasus di atas?
Sebenarnya, kejadian tersebut sama dengan kejadian sebelumnya, sehingga memiliki konsekuensi hukum yang sama, yakni ketika memang ada hajat untuk merasakan makanan tersebut, apalagi ini untuk kebaikan si anak, maka diperbolehkan dan tidak dimakruhkan. Al-Ramli berpendapat:

(وَذَوْقُ الطَّعَامِ) أَوْ غَيْرِهِ خَوْفَ الْوُصُولِ إلَى حَلْقِهِ أَوْ تَعَاطِيهِ لِغَلَبَةِ شَهْوَتِهِ. نَعَمْ، إنْ احْتَاجَ إلَى مَضْغِ نَحْوِ خُبْزٍ لِطِفْلِ لَمْ يُكْرَهْ

“(Dianjurkan menghindari) mencicipi makanan atau selainnya khawatir masuknya makanan hingga tenggorokan atau dapat ceroboh karena syahwat yang mendominasi. Meskipun begitu, bila seseorang butuh untuk mengunyahkan semisal roti untuk si kecil, maka tidak dimakruhkan” (al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1984], Juz 3, Hal 183).
Kendati diperbolehkan, bahkan tidak dimakruhkan sebab adanya berbagai hajat yang menuntut, namun harus tetap dipastikan bahwa benar-benar tidak ada makanan yang masuk. Sehingga bagi seorang ibu rumah tangga atau pengasuh anak wajib untuk memperhatikan ini dengan baik untuk menghindari batalnya puasa. Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.