Spesial Ramadhan (Edisi 15) : Batasan Sakit Yang Mendapatkan Keringanan Syariat
Kondisi sakit adalah kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh setiap manusia, terkhusus bagi kalangan muslim, terutama pada saat berpuasa di bulan Ramadhan. Namun apa boleh buat, sakit adalah kondisi yang diberikan oleh Allah Swt. Biasanya, orang yang menderita penyakit akan cenderung kesulitan untuk berpuasa, sehingga jika mengalami kepayahan, syariat membolehkan kepada yang bersangkutan untuk membatalkan puasanya. Lantas, apakah batasan sakit yang memperbolehkan seseorang membatalkan puasa?
Pembaca yang dirahmati Allah Swt. Keterangan tentang kebolehan membatalkan puasa dan mengganti di hari lain bagi orang sakit, sesungguhnya termaktub dalam QS. al-Baqarah: 184 berikut:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barang siapa dari kalian mengalami sakit atau dalam kondisi dalam perjalanan, maka (baginya diperkenankan) mengganti puasa di hari-hari lain” (QS. al-Baqarah: 184)
Untuk mengantisipasi seseorang yang dapat digolongkan pada kategori di atas, maka fuqaha memasukkan persyaratan ‘mampu menjalankan ibadah puasa’ (al-qudrah ala al-shaum) sebagai syarat sah puasa. Hal ini tentu bertujuan untuk menyeleksi dari orang yang tidak mampu berpuasa, seperti sakit, safar, atau lansia tua renta.
Kendati demikian, sebenarnya sakit seperti apa yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan puasa?
Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan tentang batasan sakit yang dapat memperbolehkan seseorang membatalkan puasanya. Beliau berpendapat:

الرَّابِعَةُ: الإِطَاقَةُ، فَلَا يَجِبُ عَلَى الْعَاجِزِ بِنَحْوِ هَرَمٍ أَوْ مَرَضٍ لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ وَلَا عَلَى حَائِضٍ لِعَجْزِهَا شَرْعًا. وَضَابِطُ الْمَرَضِ هُوَ مَا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ، وَهُوَ مَا يَصْعُبُ مَعَهُ الصَّوْمُ أَوْ يَنَالُهُ بِهِ ضَرَرٌ شَدِيْدٌ اهـ.

“Syarat keempat: mampu menjalankan puasa. Maka tidak wajib atas orang tua renta atau orang sakit yang jauh diharapkan kesembuhannya dan wanita haid karena ada larangan syariat. Adapun batasan sakit tersebut adalah sakit yang membolehkan seseorang melakukan tayamum, yakni penyakit yang membuat seseorang kesulitan berpuasa atau jika berpuasa, maka akan mendapatkan bahaya akut” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, t.th], Juz 3, Hal 60)
Untuk mendapatkan legalitas dari syariat bahwa yang bersangkutan benar-benar menderita penyakit yang membolehkannya tayamum atau memang berdampak pada madarat berkepanjangan, jika ia berpuasa, maka harus mendapatkan keterangan valid dari dokter yang adil. Oleh karenanya, berdasar pada keterangan dokter tersebut, legalitas fikih dapat berlaku, sebab tidak semua orang memahami ilmu kedokteran, sehingga patut diserahkan kepada ahlinya. Hal ini disampaikan oleh Syekh Nawawi sebagai berikut:

وَمَوْضُوعُ هَذِهِ الْمَسَائِل أَنَّهُ يُخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ المَاءِ ضَرَرًا. وَلَا بُدَّ أَن يُعْتَمَدَ فِي خَوْفِ ذَلِكَ قَولُ الطَّبِيبِ الْعَدْلِ كَمَا تَقَدَّمَ. هَذَا، إِنْ وُجِدَ الطَّبِيبُ حَاضِرًا، وَإِلَّا فَلَيْسَ مِنْ مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ مَنعُهُ مِنَ الشُّرْبِ حَتَّى يُوجَدَ الطَّبِيبُ

“Konteks permasalahan ini adalah bahwa ketika dikhawatirkan penggunaan air menimbulkan madarat. Sehingga wajib untuk berpegang pada keterangan dokter yang adil sebagaimana keterangan yang telah lalu. Konteks ini berlaku, jika memang ditemukan dokter pada saat itu. Jika tidak ditemukan, maka bergantung pada kemurahan syariat bahwa tidak ada larangan baginya untuk meminum obat hingga ditemukan dokter setelahnya” (Nawawi bin Umar al-Bantani, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Hal 36)
Lebih rinci daripada keterangan tersebut, sebenarnya Syekh Nawawi telah membuat klasifikasi bagi orang sakit, antara yang boleh membatalkan puasanya dan yang tidak diperbolehkan. Dalam kitabnya Kasyifat al-Saja beliau menyatakan:

اِعْلَمْ أنَّ لِلْمَرِيضِ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ: فَإِنْ تَوَهَّمَ ضَرَرًا يُبِيحُ لَهُ التَّيَمُّمَ، كُرِهَ لَهُ الصَّوْمُ وَجَازَ لَهُ الفِطْرُ؛ فَإِنْ تَحَقَّقَ الضَّرَرُ المَذكُورُ -وَلَوْ بِغَلَبَةِ ظَنٍّ وَانْتَهَى بِهِ العُذْرُ- إِلَى الهَلَاكِ وَذِهَابِ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ حَرُمَ عَلَيهِ الصَّوْمُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الفِطْرُ. فَإِذَا اسْتَمَرَّ صَائِمًا حَتَّى مَاتَ، مَاتَ عَاصِيًا؛ فَإِن كَانَ المَرَضُ خَفِيْفًا كَصُدَاعٍ وَوَجْعِ أُذُنٍ وَسِنٍّ لَمْ يَجُزْ الفِطْرُ إِلَّا أَنْ يَخَافَ الزِّيَادَةَ بِالصَّوْمِ.

“Ketahuilah bahwa bagi orang sakit terbagi tiga kondisi: (1) Jika ditemukan praduga timbulnya madarat yang membolehkan tayamum, maka dimakruhkan baginya berpuasa dan boleh membatalkannya; (2) Jika madaratnya telah nyata terjadi, meskipun sebatas dugaan kuat yang menimbulkan kerusakan dan memudarnya fungsi tubuh, maka diharamkan atasnya berpuasa dan wajib membatalkannya. Jika ia terus-terusan dalam kondisi berpuasa hingga meninggal, maka ia meninggal dalam keadaan bermaksiat; (3) Jika penyakitnya tergolong penyakit ringan, seperti pusing, sakit telinga, atau sakit gigi, maka tidak diperbolehkan membatalkan puasa, kecuali dikhawatirkan timbul parah dengan berpuasa” (Nawawi bin Umar al-Bantani, Kasyifat al-Saja Syarh Safinat al-Naja, [Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008], Hal 199)
Dengan demikian, persyaratan untuk mendapatkan legalitas dalam hal pembatalan  puasa atas dasar mengambil keringanan (rukhshah) syariat, harus memenuhi ketentuan di atas serta melibatkan dokter dalam pengambilan keputusan fikih tersebut. Hal demikian demi menghindari keteledoran dan kesewenang-wenangan dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.