Spesial Ramadhan (Edisi 24) : Yang Wajib Dizakati Oleh Kepala Keluarga
Zakat fitrah diwajibkan atas seluruh umat Islam. Namun, kewajiban tersebut tidak bersifat mutlak. Ada kalanya beberapa orang diwajibkan zakat fitrah, namun tidak diwajibkan untuk menanggung pengeluaran zakatnya. Siapakah mereka?
Pembaca yang dirahmati Allah Swt. Kewajiban zakat fitrah memang ditujukan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak hingga orang dewasa, semuanya berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Namun, beberapa dari mereka ada yang menjadi penanggung atas zakat fitrah mereka. Di sinilah peran Kepala Keluarga berlaku sebagai penanggung.
Kepala Keluarga yang dimaksud di sini adalah laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menafkahi keluarganya. Dengan demikian, berlaku ketentuan bahwa setiap yang berkewajiban menanggung nafkah seseorang, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat yang bersangkutan.
Hubungan yang ditimbulkan dapat berasal dari hubungan nasab, seperti anak yang belum balig; atau pernikahan, seperti istri; atau budak yang dimilikinya. Hal demikian sebagaimana disampaikan oleh al-Syirbini berikut:

وَمَنْ لَزِمَهُ فِطْرَتُهُ أَيْ فِطْرَةُ نَفْسِهِ لَزِمَهُ فِطْرَةُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ بِمِلْكٍ أَوْ قَرَابَةٍ أَوْ زَوْجِيَّةٍ أَيْ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ وَوَجَدَ مَا يُؤَدِّي عَنْهُمْ كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ

“Siapapun yang berkewajiban menanggung zakat fitrahnya sendiri, maka ia berkewajiban pula menanggung zakat fitrahnya orang-orang yang berada di bawah kewjiban nafkahnya. Hubungan tersebut timbul sebab budak, kekerabatan, atau pernikahan. Artinya, mereka harus dalam kondisi muslim, dan seseorang tersebut memiliki apa yang ditunaikan untuk mereka” (al-Khathib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfazh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], Juz 2, Hal 114)
Dengan demikian, laki-laki yang berstatus sebagai kepala keluarga, ia berkewajiban menanggung zakat fitrah isterinya dan anak-anaknya yang masih berada dalam pengawasannya (belum balig).
Jika anaknya telah dewasa (sudah balig), maka diperinci. Jika anak perempuan, selama ia belum menikah, maka tetap menjadi tanggungan Kepala Keluarga. Namun, jika anak laki-laki telah mendapatkan penghasilan cukup dan dapat menghidupi dirinya sendiri secara mandiri, maka Kepala Keluarga telah lepas tanggungjawab untuk memberikan nafkah untuknya. Begitu pula lepas tanggungan zakat fitrah untuknya. Sehingga, anak laki-laki ini wajib mengeluarkan zakat fitrahnya sendiri.
Di dalam al-Fiqh al-Manhaji disinggung:

فَلَا يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَهَا عَنْ وَلَدِهِ البَالِغِ القَادِرِ عَلَى الْاِكْتِسَابِ، وَلَا عَنْ قَرِيبِهِ الَّذِي لَا يُكَلَّفُ بِالإِنْفَاقِ عَلَيْهِ، بَلْ لَا يَصِحُّ أَنْ يُخْرِجَهَا عَنْهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَتَوْكِيلِهِ.

“Maka tidak wajib untuk seseorang mengeluarkan zakat fitrahnya anak yang balig dan mampu berpenghasilan. Begitu pula kerabatnya yang tidak terbebani nafkah atasnya. Akan tetapi, jika memang ia mengeluarkan zakat untuknya hanya disahkan, jika telah mendapat izin dari anaknya dan mewakilkan kepadanya” (Musthafa al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1992], Juz 1, Hal 229)
Dengan demikian, Kepala Keluarga menjadi tidak sah mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya yang telah balig dan telah berpenghasilan, melainkan harus mendapat izin dari anaknya tersebut dan telah terjadi akad perwakilan dari anak ke Kepala Keluarga.
Berkaitan dengan niat, maka Kepala Keluarga dapat berniat dua kali: meniatkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أُخرِجَ زَكَاةَ الفِطْرِ عَنْ نَفْسِي فَرْضًا للهِ تَعَالَى

“Aku berniat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri fardhu karena Allah Ta’ala”
Serta meniatkan zakat fitrah untuk keluarga yang ditanggung nafkahnya, dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أُخرِجَ زَكَاةَ الفِطْرِ عَمَّنْ تَلْزَمُنِي نَفَقَتُهُ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

“Aku berniat mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang wajib aku tanggung nafkahnya fardhu karena Allah Ta’ala”
Jika telah diberi izin oleh anak untuk membayarkan zakatnya, maka redaksinya menggunakan niat wakil. Ini berlaku juga bagi siapapun yang ingin mewakilkan zakat fitrahnya, bukan dari kalangan orang ditanggung nafkahnya. Redaksi niatnya berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أُخرِجَ زَكَاةَ الفِطْرِ مُوَكِّلِي عَنْ …… نَفَقَتُهُ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

“Aku berniat mengeluarkan zakat fitrah mewakili untuk ……….  fardhu karena Allah Ta’ala”
Kemudian, Amil atau Panitia Zakat menerima dan mendoakannya dengan doa:

آجَرَكَ اللهُ فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيمَا أَبْقَيْتَ، وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُورًا

“Semoga Allah memberi pahala atas zakat yang engkau berikan, memberkahimu pada harta yang engkau simpan, dan menjadikannya pembersih untukmu” Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.