Penulis: Muhammad Khoirul Umam
Pagi yang sedikit muram. Seperti biasa, kami sekeluarga (kecuali ibu karena kondisi fisik yang-katanya- tidak memungkinkan) berangkat ke kantor. Kami sekeluaga bekerja di satu kantor yang sama. Kantor kami sangat luas dan berpetak-petak. Pemilik sah kantor kami yaitu ayah. Sawah memang. Tapi kami biasa menyebutnya kantor. Biar agak keren dikit lah…!
Kantor kami lumayan luas. Ada Sembilan petak yang semuanya ditanami jagung. Hari ini oleh ayah (yang biasa kami sebut direktur karena semuanya bergantung kepada beliau), semua anggota keluarga plus Budeku dikerahkan ke kantor untuk panen. Keceriaan kami mengalahkan mendung pagi itu. Jelas saja hasil panen melimpah di depan mata. Lumayan buat uang saku liburan .
Namun, semua di luar dugaan. Pekerja (selain keluarga) yang sudah dipesan oleh direktur banyak yang absen. Sukir dan Sunan tak juga muncul batang hidungnya. Paini dan Wardi izin mau selametan anaknya yang akan disunat. Alhasil, sawah seluas sembilan petak itupun tak selesai dipanen sehari.
Budeku umurnya lebih tua 3 tahun dari ibu. Ekonominya juga pas-pasan. Bahkan suaminya tak mau lagi bekerja. Hanya mencarikan rumput untuk dua kambingnya. Anaknya sudah 3. Semuanya sudah lulus SMA. Namun tidak juga segera nikah atau mencari pekerjaan. Anaknya yang pertama masih mending mau ngajar TPA setiap sore. Namun, penghasilannya tidak bisa diharapkan. Anaknya yang kedua hanya aktif di Organisasi Pemuda yang jelas-jelas tidak berpenghasilan. Dan anaknya yang terakhir justru sangat tidak aktif. Hanya berdiam diri di rumah membantu memasak, bersih-bersih rumah dan pekerjaan rumah yang lain, yang jelas-jelas juga tidak berpenghasilan.
Budeku. Semangatnya tak tertandingi. Pagi, biasanya ia ke sawah ayah untuk bekerja hingga siang hari. Sambil pulang biasanya ia mencari sayuran untuk di jual keliling. Malamnya ia istirahat dan bangun jam 3 untuk membuat gorengan (yang pastinya tidak banyak) untuk dititipkan ke PKL di samping sekolahku.
Ia tidak bisa naik sepeda. Apalagi sepeda motor, punya pun tidak. Jadi, semua kegiatannya ia lakukan dengan jalan kaki atau terkadang (dan sangat jarang) diantar oleh anaknya yang pertama. Semua ia pikul sendiri dengan rinjing besar dan selendang merah lusuh yang melilit bahunya. Karena itu, kubilang ia wonder woman.
Hari terakhir panen, adalah hari yang paling menyenangkan bagi kami. Karena semua hasil sawah akan diangkut oleh pengepul dan uang hasil panen bisa langsung keluar. Semua jagung yang sudah dipetik dimasukkan ke dalam karung masing-masing dan tidak boleh dicampur karena upahnya dihitung berdasarkan banyak kilo dari masing-masing pekerja. Masing-masing pekerja harus mengumpulkan hasil petikannya masing-masing dan membawanya sendiri ke pinggir jalan untuk kemudian ditimbang oleh pengepul.
Begitu juga Budeku. Sekalipun usianya sudah tidak lagi muda, tapi fisiknya tak bisa dibilag tua. Bayangkan ketika aku mencoba mengangkat setengah karung jagung, aku berjalan terhuyung-huyung bahkan hampir jatuh ke sungai. Itu masih setengah karung. Budeku menggendong sekarung penuh dengan selendangnya terlihat santai tanpa beban. Sekali lagi kubilang Budeku wonder woman.
Keluarga kami dan keluarga Bude memang taat beribadah. Sholat lima waktu da rowatibnya tak pernah absen dalam keadaan apapun. Sekalipun sedang di sawah, kalau sudah masuk waktu sholat, kami pulang untuk melaksanakan sholat. Namun yang lebih dari Bude ialah sholat malam dan sholat dhuhanya yang selalu penuh. Bahkan ketika bude harus menunggu sawah di malam hari agar hasil panen tidak dicuri orang, ia tak lupa membawa alat sholat dalam melaksanakan ibadahnya termasuk sholat malamnya di sawah. Dan sekali lagi kubilang Budeku wonder woman.