Kami memang sedang merajut kasih. Juga sedang menenun cinta. Sehingga kami sering bersama menapak jalan kehidupan yang tak selalu lurus. Namun, cinta dan kasih diantara kami bukan cinta dan kasih antar pacar. Tetapi cinta dan kasih antara adik dan kakak. Yang orang banyak tertipu ketika kami jalan bersama.
“hayo… mase pacaran ya….!” Celetuk seorang anak kecil di aloon-aloon kota ketika kami sedang jalan-jalan bersama.
Cantik, sederhana, cerdas, muslimah. Dia adalah kakak perempuanku. Umur kami terpaut 5 tahun. Namun, aku sedikit lebih tinggi daripadanya. Kalau dibilang sepasang kekasih, itu benar. Namun kekasih antara adik dan kakak atau sebaliknya karena kami saling mengasihi. Seakan rasa ini tak bisa tenggelam ditelan zaman dan hilang ditelan jarak. Hingga rasa rindupun tak pernah absen ketika kami harus saling berpisah. Aku harus masuk asrama untuk melanjutkan belajarku.
Rinduku hanya akan terobati satu kali dalam sebulan. Karena hanya pada minggu akhir bulan para penghuni asrama diperbolehkan untuk pulang. Hanya satu hari. Hanya cukup untuk mengambil uang, kebutuhan dan obat rindu sementara pada keluarga dan kampung halaman.
Tanpa terasa, aku sudah duduk di bangku kelas XII itu artinya umurku sudah 18 tahun. Berarti juga, umur kakakku sudah 23 tahun. Arti pentingnya lagi berarti kami tambah dewasa. Begitu juga rajutan cinta dan kasih kami semakin erat.
Namun, hari yang paling aku khawatirkan datang. Sebenarnya aku tahu ini memang harus terjadi karena ini adalah manusiawi. Kakakku dipinang. Hal ini kutahu ketika kakakku mengunjungiku dengan seorang laki-laki. Selama ia berkunjung, ia tidak menyinggung tentang siapa laki-laki yang bersamanya. Akupun juga enggan dan malu untuk bertanya. Hingga pada akhir kunjungannya ia berbisik halus,
“sebentar lagi kamu akan dapat mas baru. . . !” sambil ia sedikit melirik kearah laki-laki itu. Kucium tangannya dan ia mengucap salam sambil senyum manis bahagia mengembang. Kubalas salam dan senyumnya itu ala kadarnya. Karena aku masih belum percaya kenyataan ini. Bukan karena cemburu. Tapi, itu artinya rasa kasihnya padaku akan terpecah satu untukku dan satu untuk suaminya. Tak ada lagi yang menemaniku jalan-jalan. Tak ada lagi yang mengantarku ke asrama. Tak ada lagi sambutan hangat ketika satu bulan sekali aku pulang. Tak ada lagi yang aku nantikan ketika sebulan sekali aku pulang selain tambahan uang saku. Tak ada lagi yang mengucapkan selamat atas prestasiku apalagi memberiku hadiah, pasti sudah tidak sempat apalagi orangtuaku. Tidak ada lagi yang mengenang hari lahirku. Walau hanya dengan sebungkus cilot seperti yang terjadi delapan tahun yang lalu. Atau bahkan hanya dengan beberapa baris ucapan selamat ulangtahun di inbox-ku seperti lima tahun belakangan ini.
Aku merasa sendiri kala dia sudah bahagia ada yang menemani. Aku sepi. Hanya satu doa yang kupanjat ketika aku ingat semua ini.
“ya Allah… berikanlah mereka keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah serta putra-putri yang sholih sholihah.”
“ya Allah…  berikan selalu bahagiamu pada kami. Limpahkan selalu rasa kesabaran padaku sehingga aku dapat dengan lapang dada menerima semua kenyataan ini.”
“ya Allah…  eratkanlah tali persaudaraan diantara keluarga kami hingga hanya surgamulah tempat terakhir kami untuk berkumpul. Amin…!”
Do’a ini selalu kupanjatkan di malam-malamku yang semakin sepi. Dalam tahajjudku yang selalu sendiri.  Diantara do’a-do’a panjang sepanjang untaian mata airku. Aku percaya, memang ini adalah yang terbaik bagiku, baginya dan bagi keluarga kami. (EmKa U)