Berbagi Ngaji dan Mengabdi (10): Taat Kepada Orang Tua dan Kyai
Di tengah-tengah menikmati kehidupan menjadi pengabdi dan pekerja akademik, suatu saat diajak oleh salah satu gurunya di Tribakti Lirboyo, yakni KH. Halimi Turmudhi. Beliau mengajak silaturahim ke salah satu alumni Tribakti tahun 1970 an, KH. Mahmud Hamzah, yang alamatnya di PP al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar. Hari itu tepatnya adalah hari Sabtu, yang kebetulan jadwal pengabdian mengajar di IAIT Lirboyo Kediri. Sampai di dalem Kyai Mahmud, kita diajak basa basi sebentar, yang kemudian dipersilahkan untuk sarapan pagi bersama-sama. Di tengah-tengah sarapan itulah baru terbuka maksud tujuan dari Kyai Halimi mengajak saya ke ndalem Kyai Mahmud, ternyata berkeinginan untuk memperkenalkannya dengan keluarga yang saat itu memang mencari menantu untuk anak pertamanya yaitu Erria Masfia. Sejak saat itulah silaturahim antara saya dengan Kyai Mahmud terjalin.
Mahmud Hamzah adalah orang Alim dengan segudang pengalaman Pendidikan di Pesantren, birokrasi dan jabatan di Peradilan, penampilannya tawadhu’ menurut saya. Tidak jarang beliau dengan istrinya, bu Nyai HJ. Astutik Hidayati silaturahim ke Tribakti mencari saya, sekedar diajak ngobrol santai, makan malam di rumah makan di Kediri, pada malam hari di sela-sela beliau ngaji dan pulang dari kantor di Pengadilan Agama Kabupaten Blitar. Selama mengenal KH. Mahmud Hamzah inilah banyak pengajaran ilmu didapatkan dari beliau baik dari sisi maqaliyah, haliyah, maupun ilmu-ilmu agama Islam dalam diskusi selama beberapa kali silaturahim dengan beliau. Setelah sekian lama dirasa sama-sama akrab dan terjalin hubungan yang baik antara saya dengan Kyai Mahmud, pada suatu malam Senin awal tahun 2004, melalui telpon, Kyai Mahmud mengutarakan maksudnya untuk menjodohkan saya dengan putrinya. Mendengar permintaan dari Kyai Mahmud itu saya kemudian menjawab, seyogyanya Kyai Mahmud sowan mengutarakan keinginannya ke Kyai Haji Imam Yahya Mahrus Lirboyo. Sebagai tradisi seorang santri yang lama mengabdi di Lirboyo jawaban ini saya rasa sebagai ta’dhim kita kepada seorang guru, supaya mendapatkan istikharah yang lebih baik, lebih bermanfaat demi masa depan dunia akhirat. Jawaban kedua adalah saya meminta waktu 11 hari untuk melakukan istikharah pribadi, meminta petunjuk dari Allah semoga pilihan jodoh ini memang bermanfaat dunia akhirat.
Di tengah-tengah menunggu 11 hari itulah, saya menjalani istikharah secara pribadi dan dari beberapa Kyai guru sepuh yang otoritatif dalam bidangnya, saya matur Kyai Imam Yahya dijawab Yai Mahmud diminta untuk silaturahim dulu ke Lirboyo supaya pembicaraannya lebih komprehensif. Matur Kyai Halimi Tribakti Lirboyo dijawab supaya meneruskan perjodohannya. Kita juga sowan kepada Kyai Hamid Sumber Cangkring Gurah Kediri sebagai rujukan keluarga teman-teman Tribakti dalam urusan istikharah, juga dijawab hasilnya baik, dan kebetulan putra pertama Kyai Hamid, yaitu KH. Abdul Munim menjadi teman akrab seangkatan di Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo (MHM). Kita juga sowan kepada Kyai Haji Hamami Sahma, Nglungur Jemekan Kras Kediri juga di jawab “baik”, menurut istikharah beliau. Pada hari-hari selanjutnya pun Kyai Mahmud Hamzah sowan kepada Kyai Haji Imam Yahya Mahrus, hasilnya Kyai Imam menyetujui bahwa perjodohan antara Asmawi dan Erria Masfia dapat dilanjutkan. Setelah itu selang beberapa hari pada malam kesebelas sesuai yang saya janjikan kepada Kyai Mahmud untuk memberikan jawaban tentang perjodohan dengan putrinya, saat itu saya kebetulan malam tidur di Kantor Tribakti Kediri, bermimpi yang isinya kejadian saya digigit seekor ular. Maka menurut beberapa pendapat yang saya dapat bahwa itu adalah isyarat akan mendapatkan jodoh. Maka besok malamnya dengan idzin Allah, saya telpon kepada Kyai Mahmud Hamzah menerima perjodohan itu.
Selang beberapa hari kemudian Kyai mahmud beserta bu Nyai Hj. Astutik Hidayati, silaturahim ke Rumah, dan diterima oleh Bapak H. Mahfudz Alwi dan Ibu Hj. Siti Rahmah, dengan tanpa persiapan dan perjanjian sebelumnya, akhirnya pertemuan keluarga itu dijalani dengan apa adanya, kue dan minuman yang ada disediakan. Yang menjadi keheranan saya dan kesimpulan saya terhadap pribadi tawadhu’ Kyai Mahmud memperkenalkan diri sebagai teman dari Asmawi, yang kenal melalui Kyai Halimi. Maka perkenalan itu tidak mengutarakan maksud apapun kecuali silaturahim biasa dan perkenalan. Baru setelah pertemuan itu bapak kemudian saya beritahu, bahwa maksud dari silaturahim yai Mahmud Kunir sebenarnya ingin menjodohkan saya dengan putrinya. Mendengar penjelasan itu kemudian esoknya bapak mengajak saya untuk sowan kepada Kyai Imam Yahya Mahrus di Lirboyo, untuk membicarakan perjodohan itu.
Pada pagi hari kita sowan kepada Yai Imam Yahya Mahrus, dan diberi pemahaman tentang istikharah yang baik dalam mendapatkan jodoh,  hasil dari musyawarah menyimpulkan bahwa perjodohan ini dapat dilanjutkan hasil istikharah dari bapak, yai Mahfudz dan Kyah Haji Imam. Dari pertemuan antara bapak dan Kyai Imam itu didapat pelajaran, bahwa hubungan antara Kyai dan santri, santri dan orang tua, orang tua dan Kyai menjadi sedemikian pentingnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh anak yang menjadi santri. Misalnya dalam masalah perjodohan dan pernikahan ini nasehat-nasehat Kyai sebagai seorang guru, mutlak diikuti, dipertimbangkan sebagai bagian dari kehidupan dari santri Kyai. Karena seorang Kyai dalam menilai, menyelesaikan sebuah masalah lebih arif, lebih komprehensif, atau bahkan lebih utuh, artinya perspektifnya dari sisi lahiriyah juga dari sisi batiniyah. Maka mendengarkan, mengikuti nasehat Kyai atau guru dalam masalah apapun sebagai sebuah kebaikan, yang manfaatnya akan kembali kepada santri itu sendiri.
Langkah selanjutnya adalah mempertemukan dua keluarga besar Kunir Wonodadi Blitar dan Bendosari Kras Kediri, untuk bermusyawarah tentang teknis pernikahannya, yang diperoleh dari Yai Mahmud, keluarga besar Kunir pada malam minggu dalam pekan itu juga akan bersilaturahim ke Bendosari. Informasi ini kemudian saya sampaikan kepada ibu di rumah, untuk mempersiapkan kedatangan dari keluarga Kunir. Pada hari-hari selanjutnya bapak dan Ibu mempersiapkan pertunangan (khitbah) yang hari dan waktunya mendadak itu. Mulai dari mengundang keluarga besar dari Ibu dan bapak, membersihkan rumah, membeli perabot rumah yang belum lengkap, misalnya TV baru, almari baru, bifet baru, karpet baru dan lain-lain. Walaupun sudah mempersiapkan dengan baik, sesuai kemampuan keluarga masih saja, keluarga saya adalah termasuk keluarga yang sederhana, tidak tampak perubahan penampilan rumahnya, ruang tamunya, ruang makannya, kamar mandinya, tetap sebagai penampilan orang kampung yang hidup seadanya.
Pada malam Minggu yang dijanjikan oleh Kyai Mahmud telah hadir, berkumpullah keluarga Bendosari sekitar 30 orang dan dari keluarga Kunir sekitar 40 orang, ditambah lagi dengan Kyai Imam Yahya Mahrus dengan putra keduanya, Gus Melfin. Pada acara tunangan atau khitbah itu diisi dengan musyawarah yang menghasilkan waktu akad nikah di bulan Sya’ban dan resepsinya satu tahun sesudahnya. Kemudian acara musyawarah di isi Mauidhah dan doa oleh KH. Imam Yahya Mahrus. Sebagaimana tradisi orang Jawa Mataraman, setelah keluarga calon mempelai perempuan telah melaksanakan lamaran ke rumah calon pria, kemudian dua minggu selanjutnya ada kunjugan atau silaturahim balasan dari keluarga saya ke keluarga Kunir. Sebagai formalitas untuk saling berkunjung, saling mengenal, saling mengetahui keadaan keluarga masing-masing pihak.
Setelah acara acara lamaran sudah selesai dilakukan, saya kembali lagi menjalani aktivitas sehari-hari lagi, sembari menunggu waktu hari akad nikah pada bulan Sya’ban, menjalani sebagai pengajar di Madrasah Diniyah HM Putra, mengajar dan pembantu Dekan di IAI Tribakti dan menjadi Staf CPNS di jurusan Syariah STAINTA, mengajar di Uniska, juga menjadi kepala SDI Plus Mistahul Ulum Bendosari Kras Kediri. Suatu tempo Kyai Mahmud menelpon dan menanyakan kabar tentang kesehatan keluarga dan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah perbincangan itu saya nylethuk, bahwa kalau pagi harus ngantor sebagai CPNS di STAIN Tulungagung, mendengar clethukkan saya itu, ternyata Kyai Mahmud kaget, ternyata saya calon menantunya ini seorang abdi Negara. Yang menjadi pengertian saya bahwa ternyata Kyai Mahmud mencari menantu bukan karena pekerjaan saya, atribut sosial saya, tetapi memang saya seorang santri Lirboyo, yang diharapkan nanti dapat membantunya untuk mengajar di Pesantren atau Lembaga Pendidikan di Kunir Blitar.
 Itu adalah sekelumit proses ngaji tentang khitbah dalam realitas seorang santri, di dalamnya terdapat ilmu bagaimana mengamalkan ilmu lahir dan bathin dalam perjodohan, sikap seorang santri kepada kyai, prosesing pertunangan yang mengakomodasi antara ajaran Islam, akhlaq, fiqih dan adat kebiasaan. Hal itu ternyata tidak gampang sesuai dengan teori. Tidak banyak santri yang mendalami dan memahami praktik ilmiyah keilmuannya dalam realitas kehidupan terutama perjodohan. Kebanyakan perspektif perjodohan mempertimbangkan adat, rasional, keinginan pribadi, tetapi yang menggunakan metode istikharah, taat kepada kedua orang tua, taat kepada guru atau kyai ini yang harus selalu menjadi latar belakang perjalanan kehidupan seorang santri, tak terkecuali dalam hal memilih dan mengambil keputusan perjodohan. Wa Allahu A’lam.
*Penulis adalah Pengasuh PP al-Kamal, Mustasyar NU Blitar Dan Pengajar IAIN Tulungagung