Berbagi Pengalaman Ngaji dan Ngabdi (1)
Tulisan ini adalah tentang tahapan-tahapan perjalanan pengalaman ngaji dan pengabdian (khidmah) dari santri kampung, mulai tahun 1970-an sampai sekarang, semoga terus diberi kesempatan untuk mengabdi, beramal shalih. Penulisan ini berbasis pengalaman empiris, menampilkan deskripsi-deskripsi umum dari pengalaman selama mengaji dan mengabdi di beberapa pondok pesantren dan lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, lembaga negeri maupun swasta. Tujuannya sebagai i’tibar (pelajaran), muhasabah (evaluasi internal) terutama untuk diri pribadi, yang belum maksimal untuk menjalankan fungsi-fungsi kehambaan kepada Allah, juga fungsi kekhilafahan di muka bumi. Dengan menuliskan pengalaman ini akan kelihatan kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri, baik sifatnya habl min Allah maupun habl min al-nas. Akhirnya nanti dapat memperbaiki diri dalam menambal kekurangan-kekurangan itu. Memang tidak menjadi keumuman seseorang, menuliskan pengalaman pribadi, tetapi ini hanya sebagai bahan pelajaran, untuk memperbaiki diri bahwa kita sebagai hamba Allah belum banyak yang kita lakukan untuk menjalankan perintahnya. Kita sebagai anggota masyarakat belum banyak yang bisa kita lakukan untuk masyarakat sekitar kita (umat). Maka dengan tulisan ini muhasabah bersama-sama untuk selalu memperbaiki diri menjadi hamba Allah yang lebih baik.
Tulisan ini menggunakan pendekatan sejarah sebagaimana yang dijelaskan oleh Devin Deewes, antropolog California, bahwa kronologi kejadian (sejarah), mempunyai tiga aspek penting, yaitu genuine, yakni aspek yang mendasari kehidupan manusia, di sini terdapat, asal usul, originalitas dari kehidupan ditampilkan. Terus aspek selanjutnya adalah change. Yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Perubahan ini bisa jadi bersifat alamiyah atau karena ada factor-faktor yang mempengaruhinya. Misalnya bertambahnya umur, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Terus aspek developt. Yang menampikan sisi perkembangan dari kehidupan manusia. Setelah adanya perubahan dalam diri seseorang, akhirnya terjadi perkembangan yang menjadikan dia berada dalam posisi keemasan. Dari sisi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan. Dari ketiga aspek pendekatan tulisan ini disusun, sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Misalnya aspek genuine akan menampilkan sejarah pribadi mendasar saya yang berhubungan pendidikan dasar, yang berisi tentang asal usul keluarga, pendidikan ditingkat dasar, di internal keluarga, dan suasana kehidupan keluarga yang mendasari watak dasar saya. Kemudian aspek change menjelaskan tentang perubahan-perubahan dalam kehidupan saya, misalnya harus merasakan Pendidikan yang jauh dari keluarga, sudah mengenal Pendidikan di kota, interaksi dengan organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, merasakan kesulitan dalam masalah ekonomi, kemandirian, jauh dari keluarga, benturan dengan orang lain, kompetisi, yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan pola hidup, tidak seperti ketika di rumah saja yang notabene masih mendapatkan bimbingan dari orang tua. Ketika seseorang banyak berinteraksi dengan realitas sosial masyarakat, maka disitu akan menjadikan perubahan-perubahan dalam dirinya, sudut pandang, pemahaman, perilaku dan sebagainya. Kemudian dari perubahan-perubahan ini akan terwujud developt, perkembangan kehidupan manusia menjadi makhluq sosial yang dapat berperan di berbagai dimensi kehidupanya. Dia dapat menjadi seorang pengajar yang menyampaikan transformasi ilmu pengetahuan, menjadi praktisi hukum, menjadi pekerja sosial yang mengabdi di masyaraktnya, menjadi agamawan yang mengabdi untuk agamanya, menjadi hamba Allah yang paling mulia karena dia dapat berbuat di dalam banyak peran di dunia ini.
Tulisan ini di bagi dalam beberapa tahapan, 1. Bercerita tentang kisah ngaji dan ngabdi sejak kecil sampai sekarang yang terus berlanjut sampai akhirat, 2. Bercerita tentang pengalaman mengabdi di PP HMP lirboyo Kediri, 3. Bercerita tentang ngaji dan ngabdi di Institut Agama Islam Tribakti Kediri, 4. Bercerita tentang pengabdian di Universitas Islam Kadiri, 5. Bercerita tentang ngaji dan ngabdi di IAIN Tulungagung, 5. Perjalanan pengajian dan pengabdian di Yayasan Masjid Bayturahman Bendosari Kras Kediri, 6. Perjalanan pengalaman mengaji dan mengabdi di PP al-Kamal Blitar. Tulisan ini masih terus berjalan, berimprovisasi sesuai dengan dinamika pengajian dan pengabdian penulis.
Asmawi bin KH Mahfudz Alwi lahir di Kediri, 3 September 1975, dalam sebuah keluarga sederhana, buruh petani, keluarga santri yang taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW, terutama ala thariqah ahl sunnah wa al-jamaah al-nahdhiyah, juga mengikuti tradisi-tradisi kyai-kyai pesantren sekitar yakni para kyai Lirboyo, kyai al-Falah Ploso, Kyai Mayan Mojo, dan Kyai Mantenan Udanawu.  Dari sisi ayah, kyai Mahfudz Alwi bin Kyai Ambar bin Kyai Abu Umar, sebuah keluarga santri yang telah babat mendirikan masjid Bayturahman yang sekarang menjadi Yayasan Masjid Bayturahman Bendosari Kras Kediri. Dari sisi Ibu adalah Hj. Siti Rahmah bin H. Shadiq yang masih mempunyai hubungan kekerabatan turun dua (mindoan dengan Ayah). Dari dua jalur keluarga ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Dari sisi ayah karakteristik keluarga dengan ekonomi pas-pasan, buruh tani, santri taat, pejuang agama baik melalui jalur Nahdlatul Ulama dan juga lewat kelompok thariqah Qadiriyah al-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Tetapi dari jalur Ibu adalah petani yang cukup, pekerja keras, dengan ekonomi yang cukup mapan. Tetapi walaupun berbeda karakteristik, tetapi dua jalur keluarga ini dipertemukan dengan keluarga yang sama-sama santri taat menjalankan ajaran agama.
Perjalanan pengajian ilmu-ilmu Agama saya, kecil dimulai dengan mengaji kepada kakeknya, yaitu kyai Ambar ibn Abu Umar (Allahu Yarhamhum). Seorang kyai kampung yang pada masanya berjuang mendirikan madrasah diniyah di desanya sekitar tahun 1960-an. Pada pengajian tahap dasar ini Asmawi kecil mengaji dasar-dasar membaca al-Qur’an atau turutan dan juz ‘amma, kemudian dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an sampai khatam. Setelah khatam al-Qur’an mengaji al-Qur’an lagi kepada ayahnya KH. Mahfudz Alwi sampai khatam lagi. Pengajian ini biasanya dilaksanakan pada waktu setelah shalat maghrib, ketika sang kakek atau ayahnya selesai menjadi imam jamaah shalat Maghrib di Masjid, Bersama anak-anak sebaya, yang berjumlah dua atau tiga orang. Masa dulu belum ada listrik, penerangan masih menggunakan lampu minyak tanah yang disebut dengan petromak. Di desa ini semangat pengajian al-Qur’an masih tinggi, kalau sore atau setelah maghrib di masjid juga langgar masih banyak diselenggarakan pengajian al-Qur’an untuk tetangga dan saudara sekitar. Pernah suatu ketika ada kejadian sebagai musibah untuk ayahanda, yaitu sewaktu sore menjelang maghrib, bapak menyalakan lampu petromak untuk penerangan pengajian, karena lalai atau murni musibah, tiba-tiba lampu yang dinyalakan itu meletus, dan membakar tubuh bapak. Kejadian ini sempat mengagetkan orang satu RT, karena bapak tubuhnya terbakar, itu.
Pengajian kepada ayahnya berlanjut kepada materi fiqih, praktik ibadah, tauhid, tajwid, akhlaq dan makharij al huruf. Sebagai Pendidikan dasar mengenal aturan-aturan ibadah dan penanaman keyakinan kepada anak. Kitab yang dikaji pada masa ini adalah washaya, safinah al-shalat, mabadi’ fiqhiyah juz 1 sampai juz 4, syifaul jinan, akhlaq al-banin, sulam al-taufiq, jurumiyah. Pada masa-masa ini pendidikan yang dialami Asmawi dilakukan dengan tiga model sistem Pendidikan, yaitu: Pendidikan pagi adalah sekolah formal mulai Taman Kanak-Kanak (TK) yang bertempat di Balai Desa selama 2 tahun, TK tingkat A dan TK tingkat B, Sekolah Dasar selama 6 tahun. Pendidikan setelah dhuhur dia harus menjalani di Madrasah Diniyah Miftahul Ulum selama 8 tahun. Sebuah madrasah diniyah tingkat dasar yang didirikan oleh Kakeknya Kyai Ambar pada tahun 1960 an, yang guru dan siswanya berasal dari berbagai desa sekitar. Karena pada waktu itu memang belum banyak madrasah diniyah didirikan di kampung-kampung. Pendidikan yang ketiga adalah pada malam hari, Asmawi juga harus mengaji lagi dengan ayahnya, dan pada saat tertentu juga harus mengikuti kegiatan kemasyarakatan yaitu jamiyah diba’, manaqib dengan pemuda-pemuda yang kalau malam semua berkumpul dan tidur di masjid.
Tahap pengajian selanjutnya ketika pagi belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Kanigoro Kras kediri tahun 1988-1991, sore harinya juga harus masih mengikuti madrasah diniyah untuk melanjutkan pengajian-pengajian di madrasah diniyah. Misalnya ngaji fiqih wadhih, tarikh khulashah nurul yaqin, jurumiyah lagi, safinah, taysir alkhlaq, Imrithi dan lain sebagainya. Memang pada masa umur 13 tahun sampai 15 tahun pendidikan agama masih banyak bersama orang tuanya, baik di madrasah diniyah atau pendidikan non formal berupa pembiasaan shalat jamaah dan mengikuti jamiyah kepemudaan yang ada di desa. Misalnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Remaja Masjid, Jamiyah Shalawat. Ada cerita menarik dengan cara pendidikan ayahnya saat itu, yaitu suatu ketika saya pada waktu sore bermain bola dengan teman-teman sebaya, dengan tidak sengaja dia pulang terlambat sehingga tidak ngaji dan jamaah maghrib yang itu merupakan kewajiban baginya sesuai arahan dari ayahnya. Melihat kecerobohan itu ayahnya marah-marah, membawa ranting pohon lamtoro untuk dijadikan sabet kepadanya sampai luka-luka di punggungnya. Kejadian ini nampaknya menjadi perhatian bagi ayahnya, akhirnya setiap bolos ngaji dan jamaah di masjid, mendapat sanksi atau hukum dari ayahnya. Tetapi pendidikan dari orang tua saya lebih menekankan memberikan suri tauladan untuk selalu melaksanakan shalat dengan berjamaah, nderes al-Qur’an, membaca buku atau kitab, berorganisasi, bermasyarakat, itu merupakan kewajiban bagi semua anggota keluarganya. Sehingga kepribadian anak terlatih dan terbentuk secara materi-materi keilmuan, ketaatan dalam beribadah, juga aspek-aspek social dengan lingkungannya
Selanjutnya tahun 1991 Asmawi dikirim oleh ayahnya untuk mengaji dan istifadah kepada KH. Shadaqah Zarkasyi pengasuh Pondok Pesantren al-Huda Ngadisimo, Ngadirejo Kota Kediri. Saat ngaji kepada Kyai Shadaqoh didalami pengajian-pengajian di Madrasah Diniyah, juga ngaji bandongan kepada kyai. Banyak pelajaran ilmu agama Islam di dapat dari Pesantren al-Huda ini baik fiqih, al-Qur’an, Hadits, akhlaq, tauhid, sejarah, tasawuf. Di antara kitabnya yang pernah dikaji di sini yaitu fath al-Qarib, ahlaqul banin, uqudul lujain, ushfuriyah, bulughul maram, imrithi, Khulashah nurul yaqin, ilmu tajwid, tafsir jalalayn, taysir al-khalaq, amtsilah tasrifiyah, qawaid sharfiyah dan sebagainya. Selain menjalani pengajian di pesantren al-Huda Madrasah Formalnya adalah di Madrasah Aliyah Negeri 3 Kota kediri, yang dahulu adalah PGAN. Pengalaman lain selain pengajian dan madrasah formal, juga menjadi pengurus Pondok Pesantren di al-Huda. Sebagai pengurus Pesantren, saya banyak belajar berorganisasi, mengabdi kepada kyai Shadaqah, sabar dimarahi ketika tidak melaksanakan tugas sesuai dengan proporsinya. Pernah suatu Ketika menjadi ketua panitia Haflah Akhir Sanah dengan bentuk acara lumayan besar pada masanya, dengan mengundang KH. Muhammad Subadar sebagai mubaligh untuk memberi tausiyah Haflah. Pada saat itu karena pengalaman organisasi kita belum berpengalaman mengkoordinasikan acara besar, akhirnya koordinasi panitia menjadi jelek, sementara waktu acara mepet. Karena kelemahan kita itu akhirnya mendapatkan marah dari kyai, inilah pengalaman saya dimarahi oleh kyai yang pertama kali, dan menjadikan saya lebih berhati-hati, belajar ikhlas, sabar, dalam berorganisasi.
Pengalaman menarik lain, Ketika di MAN 3 Kota Kediri, waktu itu kalau tidak salah kelas 2, tahun 1992. Pada saat itu saya di sekolahan terkenal ngantukkan, bolosan, ngrokokkan, berita ini beredar sampai rumah, kepada terutama bapak, maka pada minggu itu juga melakukan kunjungan ke sekolahan di MAN, dan menemui wali kelas. Sampai di sekolahan oleh guru saya dibilangin bahwa asmawi baik-baik saja, tidak seperti yang diberitakan di rumah. Dari pengalaman ini yang dapat dipetik adalah, perhatian wali santri untuk anak-anaknya. Walaupun mereka sudah dititipkan kepada pondok pesantren atau sekolahan, seyogyanya juga tetap di perhatikan, diawasi, bersilaturahmi kepada para guru yang mengajar, biar semua bersatu, bahu-membahu menjalani tugasnya dengan saling amanah, saling husn al-tafahum, husn al-dhan.
Kejadian lain sebagai pengalaman menarik adalah godaan dan tantangan yang dialami seorang santri yang tengah belajar, pada tahun 1993 mengalami kejenuhan sekolah dan ngaji, di Pesantren, akhirnya saya pulang dulu ke rumah selama setahun, tetapi oleh orang tua tetap diwajibkan mengaji di Pesantren, dan pilihanya adalah di Pesantren dekat rumah yaitu di Pondok pesantren Kembang Sore Mojosari Kras kediri yang saat itu di asuh oleh Kyai Kamali. Walaupun sebentar di Pesantren Kembang Sore pernah ngaji tabarukan tafsir Jalalayn, Qawaid Sharfiyah, Imrithi, Nadhm Maqshud. Pada akhirnya karena kejenuhannya sudah hilang, saya kembali lagi ke Pondok Pesantren al-Huda untuk melanjutkan ngaji dan sekolah Formalnya. Di akhir kelas tiga, ada satu pelajaran menarik dari Kyai Shadaqah, yakni semua kelas tiga dikumpulkan untuk menerima ijazah shalawat Fatih, sebagai bekal spiritual para santri untuk menghadapi ujian akhir. Thariqahnya dengan cara membaca shalawat fatih setelah shalat maktubah sebanyak 11 kali, pada malam hari shalat hajat 2 rakaat, shalat witir 3 rakaat. Setelah itu tawasul kepada Jeng Nabi Muhammad SAW, Syekh Abdul Qadir Jailani dan para guru-guru yang telah mengajar kepada kita, kemudian membaca shalawat fatih lagi sebanyak 313 kali. Rangkaian amaliyah shalawat fatih dijalani selama tiga hari berturut-turut disertai dengan puasa. Selama tiga hari puasa ini para santri yang mengikuti amaliyah ini dilarang berbuka atau memakan menu yang di dalamnya terdapat bahan yang berasal dari hewan (bi la ruhin). Sebisa Mungkin amaliyah tiga hari itu diakhiri pada malam jumat, yang pada hari itu tidak tidur semalam, beribadah ditempat yang tidak ada atapnya, membaca shalawat fatih sampai datang waktu shubuh. Dan al-hamdulillah pada waktu itu saya dapat mengikutinya amaliyah itu sampai akhir, dan inilah saya mendapatkan pelajaran tirakat spiritual, yang mungkin dapat diajarkan kepada santri-santri lain, sebagai ajaran membersihkan dan menguatkan hati mengamalkan ajaran Agama.
Setelah selesai tiga tahun di al-Huda dan MAN 3 Kediri, melanjutkan pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, yang mukimnya di komplek mahasiswa yaitu HM Putra, sambil kuliah di Insititut Agama Islam Tribakti Kediri, dengan mengambil Fakultas Syariah. Di Lirboyo masuk Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM) pada tingkatan Tsanawiyah. Maka pelajaran yang pernah dikaji pada tingkatan ini adalah al-fiyah Ibn Malik, Tafsir Jalalayn, Waraqat, itmam al-Dirayah, Udatul Faridh, Sulam Munawraq, Faraidul Bahiyah, riyadh al-shalihin, ilmu Hadits, ta’lim mutaalim, fathul muin, jawharul maknun. Sebagai seorang santri yang belum banyak pengalaman ilmu-ilmu pesantren, selama tiga tahun di Madrasah Tsanawiyah di MHM dijalani dengan tekun, istiqamah, kadang terkesan tegang, karena rata-rata teman seangkatan di MHM, hanya mengikuti pengajian di Madrasah diniyah saja, sedang saya harus sekolah madrasah dan kuliah. Apalagi kalau kebetulan jam kuliah sore hari, jadwalnya seolah terburu-buru. Misalnya kuliah masuk jam 13.00-18.00, sedang jam 18.30, sesuai aturan di MHM saya harus sudah di kelas, kalau terlambat atau kedahuluan guru pasti berdiri. Dengan jam kuliah dan madrasah seperti itu pengajian sering dijalani dengan penuh beban, berat. Sering sepulang dari kuliah sore kita tidak ganti pakaian, celana hanya sinaikkan keatas, kemudian memakai sarung, ambil sajadah, kitab pelajaran, tidak sandalan, langsung berangkat ke Madrasah, khawatir telat. Apalagi kalau sebelumnya belum siap hafalan taqrirat pelajaran hari itu, maka sambal jalan berangkat ke madrasah, diperjalanan itu kita hafalan taqrirat belajaran minggu kemarin.
Perjalanan pengajian di MHM tingkat Tsanawiyah seperti itu seolah dijalani penuh semangat, istiqamah, sabar, kesederhanaan, dan segala keterbatasan yang lain. Pernah suatu ketika dibelikan sepeda onthel baru oleh bapak karena kasihan kalau kuliah dari Lirboyo ke Kampus di bandar Kidul, jaraknya sekitar satu kilometer jalan kaki, tetapi entah mengapa baru dibelikan saya pakai ke kota belanja satu kali, kemudian hilang dicuri orang. Itulah tantangan bagi santri yang baru berkeinginan sungguh-sungguh untuk menjadi santri, godaaannya pasti ada saja. Sampai akhirnya saya masuk ke kelas tiga tsanawiyah Lirboyo, musimnya setoran lalaran umum untuk seluruh santri, kebetulan atas idzin Allah saya berusaha untuk mengikuti lomba lalaran al-Fiyah untuk santri kelas 3 Tsanawiyah MHM, dengan membawa misi mengangkat martabat santri-santri kuliahan, yang tidak hanya pandai demo dan bicara saja tetapi juga rajin dalam hafalan dan ngaji kitab kuning, walaupun saya kuliah sambil ngaji, tetapi tidak kalah dengan santri-santri yang hanya ngaji saja. Alhamdulillah untuk lomba yang satu kelas bisa saya lewati, tetapi yang lomba lalaran antar kelas 3 Tsanawiyah, itu saya kalah dengan santri yang lain, tetapi al-Hamdulillah itu pelajaran berharga bahwa saya pernah hafal al-Fiyah ibn Malik 1002 bayt, bahkan dilalar secara terbalik, dari belakang ke depan.
Setelah tamat Tsanawiyah, saya melanjutkan ke madrasah Aliyah MHM. Pelajaran yang kita dapatkan adalah Mauidhatul Mukminin, Uqudul Juman, Lubul Ushul, Jamul Jawami’, Ilmu Falak dan Lain lain. Cara belajar di Madrasah Aliyah MHM tempo dulu, menekankan kepada aspek keikhlasan, artinya para santri tidak hanya ngaji dengan membawa kitab kuning saja, tetapi juga diberi tugas untuk mengabdi, membantu pekerjaan-pekerjaan di Pesantren, roan. Ini kita jalani selama 2,5 tahun, Ketika masuk kelas tiga Aliyah, pada tahun 2001, saya berkeinginan untuk kuliah lagi ke strata dua. Saya minta Izin kepada para guru kelas untuk melanjutkan kuliah itu, dan diizinkan. Akhirnya saya pamitan untuk kuliah di Surabaya, sementara status tetap sebagai santri dan pengurus di HMP Lirboyo. al-hamdulillah walaupun sekarang kita sudah dirumah, masih silaturahim kepada beberapa guru kelas yang mengajar (mustahiq) di MHM, seperti KH. Ali Zainal Abidin (Nganjuk), Kyai Abd. Karim (Nganjuk), KH. Bisri Affandi (Trenggalik)
Selama di PP lirboyo, selain di MHM, juga ngaji bandungan dengan beberapa kyai pengasuh yaitu bersama KH Ahmad Idris Marzuki, KH. Anwar Manshur, Kyai Haji Imam Yahya Mahrus, KH Abd. Azis Manshur KH. KH. Makshum Jauhari (khusus ilmu-ilmu kanuragan dan ruhani), Abdullah Kafabihi, KH Habibullah Zaini, KH Hasan Zam Zami, KH Anim Falahudin, Kyai Bahru Marzuki, KH Ma’ruf Zainudin, KH Athoillah Anwar. Bersama para kyai-kyai ini mengaji Fahul Qarib, Tanqihul Qawl, Ibn Aqil, Awrad istoghasah, Taysirul Khalaq, al-Sab’u al-Munjiyat, beberapa Hizib, Tafsir Jalalayn, Muraqil Ubudiyah, Ihya’ Ulumidin, Dalail al-Khairat, Al-Fiyah Ibn Malik, Syarah Imriti, syarah Ta’lim, Tanbihul Ghafilin, Daqaiqul Akhbar, Mizanul Kubra, Adkar al-Nawawi, Jawahir al-Bukhari, Bidayatul Hidayah, Dhurat al-Nasihin, Bidayatul Mujtahid, Tafsir Munir, Tafsir al-Fatihah, Madarij al-Shu’ud, dan sebagainya.
Di samping pengajian bandungan di pesantren, saat kuliah di Institut Agama Islam Tribakti, waktu itu dosen-dosen yang mengajar biasannya juga mempunyai pengangan kitab-kitab sebagai kitab ajar. Misalnya KH. Imam Yahya Mahrus mengajarkan kitab al-Fiqh al-muamalat, KH. Manshur Adnan mengajarkan kitab al-Sulam sebagai kitab ajar Ushul fiqih, bu Nyai Lilik Nurkhalidah mengajarkan kitab Naylul Awthar dan Subulus Salam sebagai bahan ajar Hadits Ahkam, KH. Abdul Halim Musthofa mengajarkan Tafsir Rawa’i al-Bayan sebagai kitab ajar Tafsir Ahkam, KH Muhsin mengajarkan kitab Fiqh al-Jinayat, KH. Ilham Nadhir Mengajarkan al-Lughah al-Arabiyah, KH. Malik Bahri Mengajarkan al-Fiqh al-Dahwah, KH. Asfiya Hamida Mengajarkan Ilmu Akhlaq, KH. Halimi sorogan Riyadhus Sholihin, Drs. KH Ibn Rabi’ mengajarkan Fiqh al-Sunah dan sebagainya.
Yang menarik dari selama ngaji di Lirboyo tingkat Tsanawiyah, Aliyah ini, prilaku, ketenangan hati, semangat untuk ngaji tidak sama dengan ketika masih ditingkat atau tahun tahun sebelumnya. Saat di lirboyo ini seolah hati terbuka, semangat untuk ngaji itu luar biasa sekali. Wadhifah yang dijalani selama di lirboyo adalah shalat jamaah bersama kyai, mengamalkan awrad ijazah misalnya awrad istighasah, dalalil khairat, khizib, ziyarah kubur muasis atau masyayikh, shalawat fatih, roan, dan lain-lain. Pernah karena semangat belajarnya begitu kuat, menghafalkan al-Fiyah ibn Malik dapat dilakukan hanya satu bulan selesai. Semoga apa yang di dapat dari baik berupa ilmu, pengalaman, dan persaudaraan menjadikan kita orang yang bermanfaat dan berkah dunia dan akhirat.
Dari perjalanan pengajian di atas ada beberapa catatan, di antaranya; pertama. Pendidikan keluarga adalah sangat penting dalam membentuk kepribadian dan profil generasi. Terutama aspek-aspek uswatun hasanah (suri tauladan) dari kedua orang tua. Sehingga orang tua dapat menjadi panutan untuk anaknya baik dari sisi perkataan, perbuatan, maupun kondisi bitiniyah hubungan batin antara anak dan orang tua. Dalam teorinya Deewes di atas pendidikan dalam internal keluarga menempati posisi genuine, originalitas anak, Pendidikan dasar, asal usul yang akan menjadi modal kepribadian anak berangkat dari Pendidikan lingkungan keluarganya. Catatan Kedua adalah aspek ekonomi bukan satu-satunya modal seseorang untuk menuntut ilmu, mendapatkan pengalaman, berperan dalam kehidupan. Faktor keistiqamahan, konsistensi, kesabaran, keikhlasan sebagai motivasi tersendiri dalam menjalani kehidupan dalam tahapan thalab al-ilmi. Ini terbukti dalam perjalanan pengajian yang saya lakukan mulai tingkat taman kanak-kanan sampai menyelesaiakn pengajian di Lirboyo dan Strata tiga selalu niatan yang kuat yang menjadi pendahuluan, baru setelah dijalani mencari biaya untuk perjalanan menuntut ilmunya-pengajiannya.
Catatan Ketiga. Tidak pernah menyakiti guru. Seorang guru adalah orang yang ditakdirkan Allah menjadi perantara diberikannya ilmu kepada kita. Maka guru adalah para duta dari Allah, al-Ulama’ Waratsah al-Anbiya (ulama adalah pewaris para Nabi). Maka tatkala menjalani pengajian seyogyanya kita tidak sampai mengecewakan, menyakiti seorang guru. Inilah yang selama ini saya jalani selama di Lirboyo, kita selalu taat patuh dengan semua yang diperintahkan guru. Contohnya adalah guru selalu memerintahkan kita untuk shalat berjamaah bersama beliau, mendapat perintah ini, saya selalu berusaha shalat jamaah di belakang kyai, kecuali ada udhur. Sehingga kita usahakan kita selalu tawajuhan (bertatap muka) dengan guru-guru kita, harapannya dengan sering tatap muka, maka ketika guru sedang berdoa, harapannya akan ingat kepada kita, dan doanya diterima oleh Allah Swt.
Catatam keempat. Ketika saya ngaji mulai kecil sampai besar tidak pernah mempunyai target, nanti akan menjadi apa? Orang tua pun juga tidak membebani dengan tuajuan tertentu. Semua dijalani dengan ketekunan, keistiqamahan, keikhlasan, dan sungguh-sungguh. Ini disertai dengan doa kepada Allah “semoga apa yang telah dikaji selama di pesantren maupun sekolahan bermanfaat, berkah dunia akhirat. Maka ngaji dengan keikhlasan akan meringankan kita tidak terbebani, terkooptasi dengan target-target tertentu, missal kalau orang sekarang harus juara atau rangking sekian, ini belum ada masa saya ngaji. Mungkin sekarang ini penting untuk memberikan doktrin kepada santri atau siswa kita yang pentting ngaji atau sekolah sungguh, sungguh, nanti setelah pulang kalau memang ilmu yang telah kita dapatkan sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu atau adabnya, saya yakin kemanfaatan dan keberkahan akan diberikan oleh Allah Swt.       
Kelima. Usahakan untuk riyadhah semampunya. Artinya seorang santri dan bukan santri itu yang membedakan adalah kualitas pribadi. Santri adalah orang yang mempunyai kualitas lahir dan bathin, jasad dan rahani yang kuat. Dengan riyadhah sebagai sarana untuk menguatkan kebatinan kita, kejiwaan kita, hati kita, ruhani kita. Sehingga dalam menjalankan fungsi, peran-peran di tengah-tengah masyarakat seorang santri mempunyai kepribadian yang berbobot, yakni kualitas lahir dan bathin. Tatacara riyadhah sesuai dengan nasehat dari para guru-guru. Misalnya dengan berpuasa, membaca awrad, istiqamah shalat malam, membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dengan amalan-amalan dari guru inilah kita menjadi orang yang mempunyai kualitas lahir dan bathin, tidak hanya mengandalkan sisi intelektualitas, tetapi juga phisik dan ruhaniyah kita. Inilah santri yang sebenarnya, yang nantinya ketika di tengah-tengah masyarakat dia dapat beradaptasi, berbuat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mengitarinya. Sesuai dawuh Rasul Saw” Khatib al-Nasa bi Qadri Uqulihim, dawuhi manusia/masyarakat sesuai dengan kadar akalnya ”Artinya  masyarakat di sekitar kita banyak sekali kebutuhan akan solusi-solusi untuk menyelesaikan keruwetan problematika yang dihadapi, politik, agama, harta, kekuasaan, perjodohan, Kesehatan, Pendidikan dan sebagainya. Santri harus siap dalam posisi apapun, menyelesaiakan problematika yang dihadapi masyarakat.
Keenam. Profil Pendidikan di atas adalah rata-rata yang dialami oleh mayoritas santri di Nusantara, salah satu cirinya adalah mendahulukan praktik dari teori, mendahulukan praktik dari pemahaman agama, mendahulukan keyakinan dahulu daripada pemikiran. Ini yang tergambar dari yang saya alami, lebih banyak mengaji ilmu-ilmu fiqih dan akhlaq, kurang dalam pengajian dari sisi al-Qur’an dan Hadits. Akhirnya menjadi orang tidak dapat alim, sekedar dapat mengamalkan Islam dan mengajarkan semampunya saja. Maka kalau menginginkan anak-anak atau generasi yang alim dalam ilmu agama, maka beri dia Pendidikan al-Qur’an, sebagai yang pertama dan utama. Karena al-Qur’an adalah sumber ilmu, sumber Islam dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kalau tidak hafal al-Qur’an, seseorang tidak akan pernah menjadi alim dalam ilmu Agama. Ini catatan saya semoga bermanfaat. Amiiiin. Waallahu A’lam bi al-shawab.
Khadiim Pondok Pesantren al-Kamal Blitar