Filosofi Puasa

الصوم جنة

Puasa itu membentengi diri
Tema Ini adalah kajian tentang puasa dari berbagai perspektif, baik dari sisi normative fiqih, sejarahnya atau sudut pandang dari nilai fungsi dan tujuan dari puasa. Puasa dari sisi bahasa biasa diartikan dengan al-imsak, menahan. Dari sisi Istilah syara’ adalah menahan diri dari semua yang membatalkan puasa mulai fajar sampai tenggelamnya matahari (imsakun an al-mufthirat min al-fajri ila ghurub al syamsi). Ajaran tentang puasa meruapakan sebuah ibadah yang sifatnya universal, artinya semua agama samawi, yang meyakini kebenaran ajaran tauhid semua memerintahkan umatnya untuk menjalankan puasa. Sebagaimana didawuhkan Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah; ”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”. Dawuh ini mengandung maksud yang ditujukan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah, untuk melakukan puasa, supaya mereka dapat memperbaiki dirinya, mendekatkan diri kepada Allah, patuh terhadap perintahnya, patuh terhadap larangannya. Sehingga orang yang taat, patuh kepada Allah inilah kemudian disebut dengan orang-orang yang bertaqwa. Kaitannya dengan istilah taqwa para kyai-kyai kita memberikan makna Ketika mengajarkan makna kitab kuning dengan arti sederhana “wongkang wedi maring Allah”. Artinya kepatuhan, ketaatan yang dilakukan orang yang beriman didasari karena takut kepada Allah SWT.
Dalam ajaran umat Muhammad SAW, ajaran Puasa yang diwajibkan adalah puasa bulan Ramadhan dan puasa Nadhar. Sedangkan puasa yang disunnahkan jumlahnya banyak diantaranya puasa enam hari syawal, puasa hari Senin dan Kamis, puasa Dawud, puasa Muharam, puasa hari Tarwiyah dan Arafah, puasa hari-hari putih (ayam al bidh), puasa awal bulan, atau kadang para ulama dalam rangka mengajarkan pembinaan bathin kepada muridnya juga mengajarkan puasa-puasa tambahan. Supaya muridnya bertambah kuat bathinnya, ruhaninya, dan kedekatannya kepada Allah SWT. Ini dalam dunia pesantren memang sudah lumrah, setiap kali mendapatkan ijazahan doa, sebagai riyadhahnya, amaliyah doa selalu diiringi dengan mengerjakan puasa, baik tiga hari, tujuh hari dan seterusnya, senyampang tidak bertepatan dengan hari-hari yang dilarang mengerjakan puasa, diantaranya tanggal 1 syawal, hari Tasyrik, hari-hari sedang haidh.
Dalam kacamata teori ushul fiqih yakni Maqashid Syariah ada beberapa tujuan diterapkannya puasa bagi seorang muslim, diantaranya yaitu memelihara agama (hifdhu al-din). Seseorang yang melaksanakan puasa merupakan bentuk penghambaan kepada Allah, ketaatan, ibadah, dan patuh atas perintah Allah. Syiar ajaran islam akan nampak di muka bumi, ketika ajaran puasa dijalankan oleh umatnya. Ini benar-benar terjadi ketika kita melaksanakan puasa wajib bulan Ramadhan. Di mana satu bulan penuh umat Muhammad menjalankan puasa. Semua orang beriman konsentrasi penuh, semua perhatian, terfokus dengan adanya puasa Ramadhan. Sedemikian syiarnya akhirnya bulan Ramadhan membawa berkah bagi semua umat manusia, baik yang muslim maupun non-muslim, baik yang puasa atau yang tidak berpuasa, baik yang miskin maupun yang kaya, baik yang desa maupun yang perkotaan. Semua meramaikan puasa Ramadhan dengan berbagai tradisi ibadah dan gebyar di dalamnya, betapa keagungan Allah nampak pada bulan Ramadhan di seluruh dunia.
Tujuan kedua, adalah memelihara jiwa (hifdhu al-nafs). Artinya orang yang berpuasa dapat memelihara jiwanya. Secara lahir memang dia tidak makan dan minum, ini berimplikasi kepada ketahanan mentalnya, pendidikan jiwanya semakin kuat. Orang yang berpuasa akan merasakan laparnya orang miskin, akhirnya dia akan bersikap dermawan. Orang yang berpuasa akan lebih mendekat kepada Allah, menjauhi nafsu syahwatnya. Orang yang berpuasa akan menjadi pribadi yang paripurna secara lahir dan bathin. Ini yang kemudian disebut oleh Rasulullah SAW. “Al-shaumu Junnatun”. Puasa dapat menjadi benteng ketahanan bagi orang yang mengerjakannya. Berhubungan dengan Pendidikan jiwa ini al-Ghazali membuat tingkatan-tingkatan orang yang berpuasa, diantaranya puasanya orang awam, yang dia hanya menahan tidak makan dan minum, Puasanya orang khusus, yang naik derajatnya tidak hanya menahan makan dan minum tetapi juga menahan anggota badan untuk tidak maksiat kepada Allah. Juga puasanya orang khusus al-khusus. Yakni puasanya orang-orang yang bisa menahan diri lahir dan bathin. Anggota badannya tidak makan dan minum, juga tidak melakukan maksiat, tetapi juga hatinya puasa untuk selalu dhikir kepada Allah. Yang terakhir inilah tingkatan puasa yang paling tinggi.
Tujuan yang ketiga adalah memelihara akal (hifdhu al-aqli). Artinya dengan melakukan puasa seseorang akan dapat menjernihkan pikirannya hanya untuk perkara-perkara yang positif. Dalam bahasa arabnya “dzakiyun li al-aqli” orang yang berpuasa, akan memiliki intelektual yang cerdas, berpikir positif dan obyektif terhadap semua masalah-masalah kehidupannya.
Tujuan keempat adalah hifdhu al-nasl. Orang yang berpuasa akan dapat memelihara keturunannya. Artinya puasa bukan berarti melemahkan syahwat biologis manusia, tetapi akan lebih memperbaiki kondisi biologis orang yang berpuasa. Ini dapat dirasionalisasi, ketika orang yang berpuasa dia akan mengalami pembersihan kotoran-kotoran dalam tubuhnya, akhirnya peredaran darahnya lancer. Dengan lancarnya peredaran darah otomatis akan membuat sehat semua anggota tubuh manusia, yang salah satunya adalah unsur biologisnya. Maka tidak heran bagi seseorang yang melakukan puasa, biasanya kalau pagi hari akan mengalami peningkatan libidonya, ini disebabkan oleh bersihnya tubuh manusia dari racun-racun yang ada dalam tubuhnya, implikasi dari melakukan puasa.
Tujuan kelima adalah hifdhu al-mal (memelihara harta). Ini dapat kita pahami dari ajaran infaq, shadaqah, zakat yang ada di bulan Ramadhan. Begitu berkahnya orang-orang yang menginfaqkan hartanya untuk kepentingan umat, ibadah dan kepentingan puasa Ramadhan. Biasanya di bulan Ramadhan seorang muslim tidak malah merasa miskin tetapi semua aspek ekonomi berjalan dengan dinamis, meningkat dan berlipat. Inilah barakahnya dari puasa bulan Ramadhan, yang salah satunya adalah memelihara harta, untuk orang-orang kaya juga untuk orang-orang yang tidak mampu.
Dari berbagai sudut pandang pada akhirnya puasa akan membentuk kepribadian yang kuat, membentengi diri orang yang melakukan puasa dari unsur-unsur buruk, baik dari dalam dirinya sendiri atau pengaruh-pengaruh dari luar. الصوم جنة , puasa itu membentengi diri dawuh Rasul saw. Unsur-unsur tidak baik yang berangkat dari diri sendiri adalah sifat-sifat tidak baik yang didorong oleh nafsunya. Misalnya marah, iri, dengki, sombong, suka merendahkan, berfoya-foya, banyak bicara dan lain sebagainya. Sedangkan unsur-unsur yang tidak baik dari luar, pengaruh dari interaksi kita dari kemaksiatan-kemaksiatan di sekitar kita. Semua pengaruh buruk itu dapat kita tanggulangi dengan berpuasa.
Begitu besarnya faedah puasa bagi pelakunya, sehingga Allah sendiri yang akan membalasnya.  Sebagaimana dawuh Allah dalm hadits Qudsi, “Puasa hamba itu adalah milikku, dan aku sendiri yang akan memberikan balasannya”. Semoga puasa yang telah kita jalankan diterima oleh Allah, sebagai sarana untuk memperbaiki badan dan jiwa kita dalam melakukan ibadah kepadannya, sehingga kita benar-benar menjadi orang yang taat, patuh, dan bertaqwa, dan tentunya balasannya hanya Allah yang maha mengetahuinya. Wa Allahu A’lamu.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.