Ngaji dan Ngabdi 64: Selamat Hari Raya Ied al-Fitri
Ied al-Fitri, adalah istilah bahasa arab yang berarti “kembali kepada kesucian” atau “Kembali kepada asal kejadian”. Untuk makna pertama kita kembali suci karena selama sebulan penuh kita telah beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana dawuh Jeng Nabi: ”Man shama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbih”, barang siapa puasa Ramadhan dengan ikhlas dan mengharap ridla Allah maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Selama sebulan telah kita amalkan dawuh ini dengan berbagai kegiatan ibadah, baik wajib maupun yang sunnah sehingga menjadikan kita menjadi orang yang bersih dari dosa, senyampang ibadah kita kemarin didasari keikhlasan dan keimanan. Ramadhan menjadi sebuah wadah untuk menjadikan seorang muslim menjadi lebih rajin shalat, lebih sering membaca al-Qur’an, ibadah kebendaan berupa zakat dan shadaqah, kalau di Pesantren, Lembaga-lembaga keagamaan lebih banyak melakukan kajian-kajian ilmiyah. Inilah yang kemudian menjadikan kita mendapatkan makna fitri.
Kedua adalah Kembali kepada asal kejadian kita (fitrahnya). Asal manusia adalah tanpa dosa, asal kejadian kita dekat kepada Allah, dan sekarang telah kita dapatkan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) selama satu bulan penuh. Dengan modal kesucian atau bersihnya lahir dan bathin kita ini, maka mari kita gunakan untuk memaksimalkan potensi, menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Bagi seorang ayah mari tunaikan tanggung jawabnya sebagai bapak yang bertanggung jawab kepada keluarganya, bagi seorang ibu jadilah ibu yang baik dengan menjalankan tugas keibuan kita, jadi seorang anak laksanakan tugasnya sebagai seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Juga sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai tugas-tugas sosial, baik sebagai pejabat, rakyat, tokoh masyarakat tunaikan tugas kita sesuai dengan tugas kita masing-masing. Kita sekarang harus hidup optimis dengan modal lahir dan bathin kita, sebagaimana dawuh Allah “wa amma man khafa maqama rabbihi wa naha nafsa ‘an al-hawa fa inna aljannata hiya al-ma’wa”. Sesuai dawuh Allah ini, selama sebulan penuh ibadah kita didasari rasa takut kepada Allah, menahan nafsu selama sebulan dan akan terus berlanjut dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kedepan janji Allah akan memberikan tempat yang mulia yaitu surga di akhirat kelak.
Maknanya pada saat sekarang kita mempunyai beberapa modal untuk berbuat banyak untuk kemakmuran bumi, mengabdi kepada Allah yaitu modal lahir kita dianugerahi kesehatan, modal bathin kita mempunyai kebersihan jiwa, yang berwujud kepada jiwa optimisme ini. Sehingga dalam menyikapi kehidupan yang ada di dunia ini kita akan selalu berbaik sangka, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Inilah esensi ied al-fitri yang sebenarnya yakni adanya perbaikan-perbaikan dalam diri hamba Allah dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi.
Secara tehnis ada beberapa hal yang baik kita lakukan dalam mengisi iedul fitri, di antaranya adalah shalat ied al-fitri. Dengan dalil, “fashali lirabbika wanhar” maka shalatlah dan berkurbanlah”. Para ulama banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud shalat di ayat ini adalah shalat ied. Dalam pelaksanaannya dapat dilihat mayoritas muslim baik laki-laki atau perempuan, yang muda atau yang tua, besar atau kecil dianjurkan untuk melaksanakan shalat ied al-fitri. Dengan shalat ini secara formal seorang mukmin bermunajat kepada Allah, dengan membaca takbir 7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua, sebagai ekspresi pengakuannya terhadap kebesaran Allah Swt. Dengan adanya shalat ini diharapkan seorang mukmin memang benar-benar menyandarkan dirinya dalam setiap nafas kehidupannya kepada Allah, sudah tidak ada lagi egoisme dalam dirinya, karena sudah lulus dalam beribadah kepada Allah Swt.  Sebagaimana dijelaskan di depan selama sebulan dia telah mengendalikan nafsunya, dan lebih kepada dimensi takut kepada Allah.
Anjuran lagi pada saat ied al-fitri adalah mandi. Kesunnahannya bagi laki-laki, perempuan, wanita yang tengah haidl atau nifas pun disunnahkan melakukan mandi Ied al Fitri. Waktu mandi ini dimulai sejak tengah malam Ied al- Fitri sampai tenggelamnya matahari di keesokan harinya. Lebih utama dilakukan setelah terbit fajar, dengan niatnya adalah: “Aku niat mandi Idul fitri, sunnah karena Allah”. نَوَيْتُ غُسْلَ عِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى . Diperintahkannya mandi adalah bagian dari dimensi lahiriyah ajaran Islam, dalam rangka membentuk kesucian bathin bagi umatnya, lebih-lebih kalau seseorang mau melakukan ibadah termasuk di dalamnya adalah shalat ied al-Fitri. Tetapi mandi disini lebih dari hanya sekedar formalitas untuk shalat saja, mandi ied al-fitri adalah sebagai perwujudan kesempurnaan seorang hamba yang selalu menampilkan dirinya dalam dimensi kesucian lahir dan bathin.
Mengisi hari yang fitri disunnahkan lagi dengan menghidupkan malam. Dianjurkan menghidupi malam hari raya dengan shalat, membaca shalawat, membaca Al-Qur’an, dan bentuk ibadah lainnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi:

مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الْعِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ

“Barangsiapa menghidupi dua malam hari raya, hatinya tidak mati di hari matinya beberapa hati”.
Hadits ini dilihat dari statusnya mungkin lemah, namun dalam tradisi kita bisa diamalkan berhubungan dengan keutamaan amal, tidak dalam masalah hukum. Maka yang umum di Negara kita, menghidupkan malam ini banyak diisi dengan  memperbanyak bacaan takbir. Salah satu syi’ar Ied al-Fitri adalah kumandang takbirnya. Anjuran memperbanyak takbir ini berdasarkan firman Allah:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ

 “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”.
Amaliyah memperbancak takbir ini yang mayoritas dilakukan oleh Muslim di Indonesia, di masjid, mushala, di jalan, di lapangan, atau diberbagai tempat yang lain, masyarakat muslim seolah sepakat bahwa malam hari raya semua melantunkan takbiran. Hanya yang patut dicatat adalah takbiran yang dilakukan mayoritas muslim sebaiknya dilakukan dengan tidak mengganggu bagi umat beragama yang lain, baik dari sisi suara speaker atau sound sistemnya, takbir kelilingnya, akan lebih baik dilakukan dengan tertib tanpa ada yang merasa terganggu oleh perayaan takbiran kita.
Anjuran sunnah lagi adalah makan sebelum berangkat shalat ied al-Fitri. Tujuannya adalah membedakan dengan bulan Ramadhan yang sedang dalam keadaan puasa, Ketika ied al-fitri kita semua membatalkannya (ifthar), bahkan dilarang untuk berpuasa pada tanggal satu syawal. Anjuran lagi adalah berjalan kaki menuju tempat shalat dan kepulangannya. Bagi yang tidak mampu berjalan kaki seperti orang tua, disabilitas dan lain bisa menaiki kendaraan. Bahkan lebih baik lagi membedakan rute jalan menuju shalat ied Ketika berangkat dan pulangnya. Di antara hikmahnya adalah agar memperbanyak pahala menuju tempat ibadah, semakin panjang langkah kita, akan menghasilkan amaliyah yang lebih banyak, demikian pula akhirnya menghasilkan pahala lebih besar pula dari Allah Swt.
Selanjutnya kebaikan lagi pada saat Idul fitri adalah melakukan berhias, berpenampilan terbaik, untuk menampakan kebahagiaan dan syukur kita di hari yang mulia dan berkah ini dapat dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian atau pakaian terbaik. Dari sini dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan argumantasinya, dalam rangka mengekspresikan kegembiraan, syiar dan kebahagiaan di Idul Fitri. Senyampang dalam berhias, dan memoles diri tidak mengundang kemaksiatan, misalnya bagi perempuan jangan untuk menarik laki-laki sebagai lawan jenisnya, tetap memperhatikan batas-batas syariat, tidak membuka aurat dan lain sebagainya.
Juga melakukan Tahniah (mengucapkan selamat hari raya) pada saat hari raya juga dianjurkan oleh para ulama disertai dengan bersalama-salaman untuk meminta maaf, senyampang dilakukan dengan aturan-aturan hukum Islam. Misalnya laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Dan kita yang menerima ucapan membalasnya dengan jawaban “taqabbalallah minkum, ahyakumullah, wa antum kullah am bi khair”. Semoga kita semua menjadi hamba yang fitri baik lahir dan bathin kita amiin. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Satu, Alumni PP Lirboyo dan Khadim PP al-Kamal Blitar