Ngaji dan Ngabdi 74: Istiqamah Ibadah bagi Suami-Istri (Edisi Pengajian Ahad Wage)
Islam mengajarkan tentang keshalihan kepada umatnya dalam berhubungan dengan Allah dan kepada sesama, baik dalam dimensi lahiriyah maupun dimensi bathiniyah, dalam kondisi terjaga ataupun dalam keadaan tidur, yang dalam hal ini manusia dalam keadaan tidur, biasanya akan hilang akalnya. Maka agar tidur seorang hamba tetap dalam istiqamah ibadah, sebaiknya tetap dalam keadaan suci (thaharah) dan mengingat Allah (dhikir). Dengan jalan ini, seorang hamba walaupun raganya tidur, tetapi jiwanya akan tetap dihitung sebagai orang yang dhikir kepada Allah. Dalam hal ini Syekh Abu Bakar al-Makki dalam kitabnya Kifayat al-Atqiya’, mengomentari nadham Syekh Zaynudin al-Malybari,

لا بأس ان ضاجغت زوجك لم تصر فى عفلة وتلامس مسترسلا

(tidak bahaya apabila kamu meniduri istrimu dengan tidak bersenang-senang dalam keadaan lupa)
Bagi orang yang berkehendak untuk mendekatkan diri kepada Allah, jika dia mempunyai seorang istri terus tidur bersamanya dalam satu ranjang, yang menyebabkan batal wudlunya, hal demikian tidak menyebabkan dia kehilangan faedah tidur dalam keadaan suci, selama dia tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan dan lupa diri sampai akhirnya kenikmatan itu menyebabkan dia lupa kepada Allah Swt. Kalau kealpaan dia sampai melupakan dirinya kepada Allah, maka dia akan kehilangan faedah tidur tetap dalam keadaan suci. Faedah itu adalah naiknya ruh kepada Arsy (uruj al-ruh ila al-arsy) dan mimpinya dalam tidur adalah kebenaran (wa anna al-ru’ya takunu shadiqatan).  Berhubungan dengan itu Rasulullah mengajarkan doa berhubungan suami istri, yaitu:

للَّهُمَّ جَنِّبْنا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنا

(Ya Allah jauhkan aku dari setan, dan jauhkan setan dari benih janin yang Kau anugerahkan padaku).
Sebagaimana Riwayat muslim dari Ibn Abbas bahwasanya Nabi bersabda, seandainya kamu akan mengumpuli istrimu, terus berdoa “bismillahi Allahumma dst” kemudian datanglah anaknya antara berdua, maka syetan tidak akan membahayakan anak itu. Dalam riwayat yang lain didawuhkan bahwasanya dengan doa itu, maka akan datang kebaikan kepada anak yang akan dilahirkan hasil dari hubungan suami istri.
Paparan Syekh Abu Bakar al-Makki itu dalam rangka menjaga keistiqamahan seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak mengenyampingkan hal-hal yang sifatnya manusiawi. Artinya manusia adalah makhluq Allah yang mempunyai keinginan untuk menyalurkan hasrat biologisnya terhadap istrinya. Di sisi lain dia juga mempunyai wadhifah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah yang harus dia jaga). Maka dengan konsepsi yang dijelaskan oleh kitab Kifayat al-Atqiya’ ini akan dapat mempertemukan antara aspek kemanusiaan seorang hamba dengan aspek ibadahnya kepada Allah. Tidak condong kepada salah satunya dengan mengenyampingkan sisi yang lain. Kadangkala seorang hamba yang karena kesenangannya kepada istrinya, tetapi lalai untuk tetap istiqamah beribadah, taqarrub. Juga ada seorang hamba yang lebih condong kepada aspek ibadah saja, tetapi lalai terhadap kewajiban dia untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, menafikan kebutuhan-kebutuhan manusianya. Maka nasehat dari Syekh Abu Bakar al-makki ini dapat diamalkan, dipraktikkan sebagai jembatan bagi seorang hamba agar hidup seimbang, dalam laku keistiqamahannya.
Dijelaskan pula, potensi gangguan dari musuh manusia yang namanya, syetan. Makhluq yang akan selalu menggoda ahli ibadah sampai mengikutinya, meninggalkan ibadahnya, atau bahkan terjerumus kedalam tipu daya syetan. Dalam hal ini seorang hamba diberi tuntunan oleh Nabi Saw. Untuk meminta pertolongan dari Allah, supaya dijauhkan dari gangguan syetan. Dalam konteks hubungan suami istri, bisa jadi gangguan syetan itu tidak hanya kepada pasangan suami istrinya, tetapi juga kepada anak hasil dari hubungan suami istri. Untuk itu memproteksi diri, dengan meminta pertolongan Allah dianjurkan oleh islam, agar hasil dari suami istri ini nantinya menghasilkan anak-anak yang baik, tidak diganggu oleh syetan. Maka dari itu sebagai hamba yang lemah meminta pertolongan dari Allah saat akan hubungan suami istri adalah suatu keniscayaan, selain memproteksi diri dan anak dari gangguan syetan, tetapi juga sebagai sarana bahwasanya dalam kondisi bersenang-senang bersama istrinya pun, seorang hamba tetap mengingat kepada Allah.
Dengan perilaku selalu thaharah, dhikir kepada Allah. Juga dalam perlindungan Allah, saat tidurnya seorang hamba akan tetap bersih lahir dan batinnya. Saat itulah jiwanya akan naik ke Arsy, dan mimpi yang dia dapatkan sebagai sebuh kebenaran, karena didapat dari orang yang bersih lahir dan batinnya. Dalam konteks masyarakat kekinian, laku tidur sebagaimana diajarkan islam ini adalah sebuah kebutuhan, sebagai waktu istirahat yang berkualitas, anggota badannya berhenti melakukan aktifitas, hatinya dalam keadaan tenang, fikirannya pun juga dalam keadaan yang jernih. Semoga kita semua diberi anugerah oleh Allah dapat melaksanakan akhlaq seorang hamba yang istiqamah ibadah saat tidurnya. Aamiin.
*Pengajar UIN Satu Tulungagung, Alumni PP Lirboyo dan Khadim PP al-Kamal Blitar