Ngaji dan Ngabdi 85: Fiqih Ulama Nusantara (Edisi diskusi mingguan Center of Fiqih Nusantara (Cfinus))
Fiqih atau hukum Islam adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur perbuatan muslim yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Aturan perbuatan ini kemudian mengejewantah ke dalam berbagai kehidupan hamba, misalnya masalah ibadah, muamalah, siyasah jinayah, dusturiyah dan sebagiannya sebanyak bidang-bidang yang dilakukan oleh manusia. Tatkala seorang muslim berkeinginan melakukan sesuatu dalam kehidupannya, maka dia akan mempertimbangkan aspek kebolehannya atau tidak, yang diatur oleh hukum Islam. Jika diperbolehkan maka dia akan dapat melakukan sesuai dengan kehendaknya, jika tidak boleh maka dia harus menghindarinya.
Sedangkan maksud dari sufistik di sini adalah praktik-praktik keagamaan berdasarkan pendekatan intuitif, dhauqiyah atau hati. Dalam khazanah studi Islam pendekatan sufistik biasanya dilakukan oleh para sufi, baik dia yang menganut sufi amali maupun sufi falsafi. Sufi amali adalah praktik seorang sufi dengan memperbanyak praktik ibadah-ibadah dalam mencapai derajat tertentu. Sedangkan sufi falsafi adalah praktik sufi yang didekati dengan aspek-aspek filsafat. Karena memang mereka berlatar belakang filosof atau memang sudah menekuni bidang misticisme dengan konsepsi-konsepsi yang ditawarkannya.
Penggabungan dua terminologi fiqih sufistik dimaksudkan sebagai varian hukum Islam atau fiqih yang tidak hanya mendekati masalah dengan dalil-dalil secara normatif saja, melainkan juga menawarkan konsepsi fiqih dengan pendekatan misticisme, atau tashawuf. Dalam pemikiran Hukum Islam telah dikenal berbagai tawaran-tawaran fiqih oleh para fuqaha’ mulai dari masa imam madhhab sampai sekarang. Mereka tokohnya adalah Imam Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, al-Ghazali, al-Syuyuti, al-Syatibi, Ibn Hazm al-Andalusi, Waliyullah al-Dihlawi, al-Thufi, al-Amidi, al-Syaukani. Dalam konteks masa modern Wahbah Zuhayli, Sayyid Sabiq, Yusuf Qardhawi, Al-Naim, Fazlurahman, Khalid Abu Fadl dan sebagainya. Dalam konteks keIndonesiaan banyak dikenal pemikir-pemikir muslim yang memberikan kontribusi terhadap konsepsi-konsepsi hukum Islam yang berlaku di Indonesia, atau sekarang sering disebut dengan Nusantara. Dalam konteks Nusantara dapat disebut Imam Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Atturmusi, Syekh Hasyim Asyari, Syek Ihsan al-Jampesi, Hasbi Ashdiqi, Huzairin, Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz, KH Saichul Hadi Permono, KH Abdurahman Wahid dan bisa ditambahkan pemikir-pemikir yang lain.
Salah satu hal Penting yang patut diketahui adalah pemikiran-pemikiran itu pasti tidak bebas nilai, free value. Artinya konsepsi pemikiran ulama dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang mengitarinya. Imam madhab empat dapat mengembangkan pemikiran hukum islam tatkala dunia muslim dalam posisi zaman keemasan peradaban, sehingga para imam dapat mengembangkan pemikirannya sesuai dengan motivasi yang melatarbelakanginya. Pasca keemasan adalah masa kemunduran, yang mereka mengkonsepsikan pemikiran hukum Islam sesuai dengan tuntutan yang melatarbelakanginya. Pertanyaannya kemudian adalah hukum Islam yang berkembang di Nusantara juga tidak terlepas dari kondisi sosiologis masyarakat yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini penting kiranya mengkaji latar sosiologis saat terjadinya pemikiran Hukum islam yang berkembang di Nusantara.
 
Sekilas tentang Syaikh Nawawi
Syaikh Nawawi al-Bantani mempunyai nama lengkap Abd. Mu’ti Muhammad Nawawi ibn  Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Adalah seorang ulama Nusantara yang dilahirkan pada tahun 1814 M, di desa Tanara Tirtayasa Serang Banten dan wafat di tanah Suci 1897 M. Ayah dari Nawawi bernama Umar mengajarkan sendiri ilmu-ilmu dasar keislaman, seperti bahasa arab, fiqih, dan tafsir, sekira materi yang diajarkan ayahnya sudah berjalan, maka diserahkan kepada orang lain. Kemudian Nawawi melanjutkan pelajaran Agama kepada Kyai Yusuf di Purwakarta, seorang kyai yang banyak didatangi oleh para santri dari berbagai wilayah Jawa terutama adalah Jawa Barat.  Proses intelektual Nawawi terus berlanjut, sampai dia berumur 5 tahun, sudah kelihatan keinginannya mendalami bakat intelektual yang dia punyai. Maka pada masa itu dia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu Nawawi setelah selesai menunaikan Haji, tidak langsung pulang melainkan menetap di Mekkah selama 3 tahun, untuk memperdalam ilmu-ilmu agama di kota suci itu.
Setelah tiga tahun menetap di tanah suci Makkah, dia pulang ke tanah air selama tiga tahun juga. Kemudian dia melakukan perenungan yang mendalam, untuk memutuskan menunaikan ibadah haji lagi yang kedua kalinya dan memutuskan tinggal di Makkah sampai akhir hayatnya. Selama di Makkah Nawawi berguru kepada syaikh Khatib al-Sambasi, syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Nahrawi, dan Syaikh Dimyati. Di bawah asuhan guru-guru itulah kreatifitas intelektual Nawawi terasah selama 30 tahun. Sehingga nanti menjadi pribadi yang mempunyai prinsip teguh dalam menuliskan karya-karyanya atau pemikiran-pemikirannya, kemudian Nawawi al-Bantani ini dijuluki Ghazali kedua atau Imam Nawawi kedua. Gurunya lagi yang berpengaruh dalan mengasah intelektualnya adalah Syaikh Zaini Dahlan ketika berada di Makkah dan Syaikh Khatib Hanbali pada masa menetap di Madinah.
Hasil dari karya intelektual Nawawi tidak kurang dari 100 buah kitab dalam berbagai disiplin ilmu, dalam masalah fiqih di antaranya adalah ;  Al-Simar al-Yan’at : ulasan atas Riyadh al-Badi’at-nya Syaikh Muhammad Hasbullah, Al-Tausyih: ulasan atas Fath al-Qarib al-Mujib al-Musamma bi al-Taqrib Ibn Qasim al-Ghazi, Nihayat al-Zain : ulasan atas Qurrat al’Ain bi Muhimmat al-Din—nya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Ma`libari, Muraqi al-Ubudiyah ulasan atas Matn Bidayat al-Hidayat-nya al-Ghazali, membahas masalah Fiqih tasawuf. Sulam al-Munajat : ulasan atas Safinat al-Shalat-nya Sayyid Abdullah bin Umar al-Hadhrami, Al-Aqdhu al-Tsainin : ulasan atas Mandzumat al-Sittin Mas’alatan al-Musamma bi al-Fat-h al-Mubin syaikh Mustafa bin Usmari al-Jawi al-Qaruti, membahas enam puluh masalah berkaitan dengan tauhid dan fikih. Bahjat al-Wasa-il : ulasan atas al-Risalah al-Jaini’ah bin usul ad-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf-nya syaikh Ahmad bin Zaini al-Habsyi,  Fat-h al-Mujib ulasan ringkas atas Khatib al-Syarbani fi ilmi al-Manasik, Inirqat Su’ud al-Tasdiq : ulasan atas Sullam al-Taufiq-nya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’lawi, Kasyifat al-Saja : ulasan atas Safinat al-Naja-nya Syaikh Salim bin Sainir al-Hadhrami, Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, membahas hak dan kewajiban suami istri.
Konstruksi Dasar Fiqih Sufistik
Syekh Nawawi al-Banteni, seorang ulama yang banyak menulis kitab-kitab rujukan pesantren di Indonesia, tulisanya multidisiplin ilmu, tentang aqidah, fiqih, tafsir, sejarah. Artinya sebagai seorang ilmuwan Syekh Nawawi memang banyak karya, sehingga dengan karyanya itulah dapat mempengaruhi peta pemikiran Hukum islam di Indoneisa. Dalam bidang Hukum Islam kitab Maraqil Ubudiyah syarah dari Bidayat al-Hidayah, merupakan kitab fiqih bercorak sufistik, selesai ditulis pada tahun 1287H. Mengapa saya menyebutkan fiqih sufistik disebabkan beberapa alasan, syekh Nawawi dalam pendahuluan kitabnya mengutarakan,

والشرىعة هى الاحكام التى كلفنا بها رسول الله عن الله عز وجل من الواجبات والمندوبات والمحرمات والمكروهات والجائزات

(Syariah adalah hukum-hukum yang dibebankan kepada kita oleh Rasulullah dari Allah tentang berbagai kewajiban, kesunnahan, sesuatu yang diharamkan, yang dimakruhkan dan perkara yang diperbolehkan). Artinya kutipan pendapat di atas dapat dimaknai bahwa syariat adalah norma bagi umat Muhammad dalam menjalankan berbagai macam urusan dalam hidupnya, bisa perbuatan yang harus dilakukan, harus dijauhi atau pilihan dari keduanya. Selanjutnya Syekh Nawawi memberikan penjelasan tentang praktik dari hukum-hukum dengan sebutan thariqah.

والطرىقة هى العمل بالواجبات  والمندوبات والترك للمنهىات والتخلى عن فضول المباحات  والاخذ بالاحوط  كالورع وبالرىاضة من سهر وجوع وصمت

(Thariqah adalah melakukan atau mempraktekkan kewajiban, anjuran, meninggalkan sesuatu yang dilarang, mengosongkan diri dari kelebihan perkara yang diperbolehkan mengambil sesuatu dengan hati-hati seperti sifat wara’, dengan Latihan diri beribadah pada malam hari, lapar dan diam). Selanjutnya,

 والحقىقة فهم حقائق الاشىاء كشهود الاسماء والصفات  وشهود الذات واسرار القران واسرار المنع والجواز والعلوم الغىبة

(Hakikat adalah pemahaman tentang kebenaran sesuatu seperti menyaksikan Nama Allah, sifat-sifatnya, menyaksikan dhat, rahasia al-Qur’an, rahasia larangan Allah, hukum boleh melakukan sesuatu dan ilmu-ilmu tentang yang ghaib). Hakikat ini adalah pencapaian tertinggi bagi seorang hamba dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah, menjalankan ketaatan terhadap aturan-aturan agama.
Nukilan di atas memberikan pemahaman bahwa konstruksi ajaran Islam yang tertuang dalam kitab Maraqi al-Ubudiyah menunjukkan adanya tiga aspek yang harus dilalui oleh seorang hamba dalam menjalankan pengabdian kepada Allah, yaitu syariah sebagai norma aturan, thariqah sebagai praktiknya dan puncaknya adalah hakikat sebagai ending dalam pengamalan ajaran agama umat Muhammad Saw. dengan demikian ajaran agama tidak dapat hanya dilakukan dalam perspektif aspek lahiriyah hukum saja, tetapi juga harus dihayati dalam sebuah pengamalan yang istiqamah baru seorang hamba akan mendapatkan kebenran ajaran agama. Inilah kontruksi dasar kitab yang ditulis oleh syekh Nawawi, yang kemudian bisa disebut dengan fiqih sufistik, adanya penggabungan aspek-aspek lahiriyah hukum, juga aspek-aspek bathiniyah dari ajaran tasawuf.
Penjelasan yang lain dapat dilihat dari struktur kajian dalam kitabnya, yang menggabungkan aspek fiqih dan juga aspek tashawuf. Dijelaskan dalam isi kitab kajian-kajian tentang adab thaharah, masuk kamar mandi, berwudhu, mandi, tayamum, masuk masjid, tatacara shalat, jamaah, shalat jumat, puasa. Dalam separuh kitabnya dijelaskan tentang maksiatnya anggota badan, maksiatnya hati, sifat-sifat tercela, tatacara berteman, bergaul kepada sesame makhluq termasuk didalamnya adalah kedua orang tua. Maknanya separoh kitab ini berisi aspek-aspek lahiriyah dan tatacara ibadah dan separoh kedua berisi tentang panduan-panduan menjauhi sifat-sifat tercela baik yang dilakukan oleh anggota badan juga oleh hati, di akhiri dengan tatacara hamba berinteraksi social di tengah-tengah masyarakat.
Kontribusi Syekh Nawawi
Karya syaikh Nawawi al Bantany dikaji, dipelajari tidak hanya di pesantren di Indonesia, bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara misalnya di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand, di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand, Universitas Kebangsaan di Malaysia, sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik, 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Syaikh Nawawi mendominasi kurikulum Pesantren.
Indonesia adalah sebuah daerah yang memiliki karakteristik relegius sejak sebelum islam datang. Masyarakat sudah mempunyai keyakinan agama Hindu atau Budha atau aliran kepercayaan. Sebagai masyarakat yang menganut keyakinan sudah barang tentu mereka mempunyai potensi pengamalan ajaran agama yang kuat, terlepas dari agama apapun yang berkembang. Juga masyarakat Indonesia adalah warga yang berbudaya, yang memegang teguh nilai-nilai budaya universal. Misalnya tolong-menolong, kerukunan, sambung dulur, keguyuban, keakraban, menjunjung nilai-nilai persamaan sudah ada dan tertanam dalam budaya kehidupan masyarakat nusantara. Artinya antara agama yang mempunyai norma dengan budaya kemanusiaan masyarkat nusantara sudah menjadi satu sejak turun menurun, nenek moyang bangsa Indonesia.
Untuk itu konsepsi fiqih sufistik sebagaimana yang ditawarkan oleh Syekh Nawawi akan dengan mudah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia dengan mudah, dan sumrambah di Indonesia. Ini terbukti di berbagai Pesantren di Indonesia semua mengajarkan kitab karangannya yang bercorak fiqih sufistik itu. Misalnya konsepsi dasar pengamalan ajaran agama yang dilalui dengan tiga tingkatan, syariah, thariqah, hakikat seolah sudah dipraktikkan dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Apalagi dari sisi aspek thariqahnya, mayoritas pengikut thariqah di Indonesia banyak yang berafiliasi kepada ajaran al-Ghazali, yang nota bene diikuti oleh Syeh Nawawi al-Bantani.
Sekelumit wacana tentang fiqih sufistik dari Syek Nawawi al-Bantani ini dapat direvitalisasi lagi, sebagai bagian dari pengembangan pemikiran yang kontekstual. Dalam arti sebuah pemikiran yang dapat menemukan relevansinya dalam sebuah ruang dan waktu tertentu, menjawab kegersangan akademik dalam khazanah ilmu pengetahuan, praktik keberagamaan di Nusantara, seiring munculnya banyak isu-isu keagamaan yang tidak dapat menjadi solusi dalam praktik berbangsa dan bernegara. Maka fiqih sufistik nampaknya memberikan pencerahan lagi memberikan kontribusi brilian dalam religiusitas di Nusantara ini. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
*Pengurus NU Blitar, Khadim PP al-Kamal, dan Pengajar UIN Satu Tulungagung