Oleh: Afrizal Nur Ali Syahputra, M. Pd.*
Saat ini dunia mengalami kemajuan teknologi dan informasi yang sangat masif. Sarana komunikasi dan informasi ibarat sebilah pisau yang bisa digunakan untuk menyebarkan kebaikan ataupun profokasi-profokasi setan. Banyak media social seperti whatsapp, twitter, youtube, facebook dan lain-lain menjadi jalan untuk menyebarkan syiar-syiar agama baik bersifat radikal maupun moderat. Para pendakwahpun berbondong-bondong hijrah menuju social media dengan dalih supaya ajaran islam bisa meluas dan dapat dinikmati oleh banyak kaum muslim baik domestic dan manca negara.
Dakwah islam melalui social media kemudian menjadi tren, banyak orang yang hanya bermodal kyai goolge, tanpa mondok disebuah pesantren dengan kyai, masjid, kitab kuning dan seabrek piranti pesantren lainnya, tak lupa gudik yang menjadi ciri khas santri, mengaku sebagai ustadz lalu ngomong dan ceramah kesana-kemari yang seakan akan kebenaran adalah miliknya sendiri dan yang lain adalah salah, lalu butuh petunjuknya. Ceramah dengan semangat, boleh-boleh saja, meneriakkan takbir “allaaaahuakkkbbarrrrr” yang tidak boleh adalah menyebarkan provokasi-provokasi setan, mengemas kebathilan dengan agama dan tentunya menyalahi visi dan misi islam sendiri sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin.
Ibnu Rusdy seorang filosof muslim terkenal pernah berkata: “jika engkau ingin menguasai orang bodoh maka bungkuslah dengan agama”. Beberapa cendekiawan muslim ada yang absen dari dunia maya dan lebih aktif mengembangkan ilmu pengetahuan di dunia nyata dengan mengajar di universitas-universitas, membuat penelitian, membuat buku-buku dari pada menjadi warganet yang banyak omong kosong dan provokatif. Mereka (cendekiawan) yang absen dari dunia maya sudah muak dengan ustadz-ustadz google yang sedikit-sedikit meneriakan haram dan bid’ah.
Lambat-laun dakwah melalui media social kehilangan ruhnya. Jiwa terpenting dari dakwah. Agama lantas didakwahkan dengan cara-cara barang. Pendakwah-pendakwah ibarat selesman menjual barangnya yaitu dengan menawarkan keuntungan, keberuntungan dan kesuksesan bagi pemeluknya. Tentu tujuan diatas tidak sepenuhnya salah, akan tetapi dengan timbulnya motif-motif seperti diatas agama bukan lagi tentang nilai—nilai kebaikan, perkembangan jiwa dan timbulnya rasa simpati dan empati kepada sesama, bukan tentang perkembangan hati serta pikiran.
Para pendakwah sibuk mengemas dakwahnya dengan berbagai atribut menarik dan kata-kata manis serta provokatif, namun lupa akan isinya apakah sesuai dengan visi dan misi islam atau tidak. Akibat dakwah agama sebatas penyabaran kata, permainan kata. Bukan tentang jiwa, bukan tentang berbagi bersama bukan tentang tolong-menolong bukan tentang ikhlas,qona’ah, sabar dan mengharap ridho Allah swt. Dakwah dewasa ini tentang kehormatan, jabatan, tujuan politis, harta dan tahta. Dakwah dewasa ini tentang kefasihan berbicara bukan tentang bekerjasama untuk membangun sebuah peradaban.
Ketika pendakwah beralih menjadi profesi yang menjamin banyak keuntungan dan jama’ah adalah konsumen maka hubungan pendakwah dan mustami’ adalah hubungan jual beli yang terhubung pada saat itu saja. Ketika keduanya berpisah putuslah hubungan mereka. Jika hal ini dilakukan terus menerus dengan skala masif, maka peradaban islam akan sulit terbentuk. Begitu acara pengajian bubar, bubar pulalah semangat islam pendengar karena hubungannya bukan guru dan murid tapi penjual dan pembeli.
Allah swt berfirman dalam surat al-baqarah ayat 41:
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 41)”
Allah juga berfirman, menceritakan karakter orang yang baik,
لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
“Mereka tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 199)”
Allah juga berfirman di ayat lain,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sdikit. (QS. al-Maidah: 44)”
Dan ayat yang semakna dengan ini ada banyak dalam al-Quran. Menurut ulama’ jumhur bahwa yang dimaksud dengan “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit) atau harga yang murah adalah dunia seisinya. Abdullah bin Mubarak mengatakan, dari Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang makna firman Allah, “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit). Lalu beliau mengatakan:
الثمن القليل الدنيا بحذافيرها
“At-Tsaman al-Qalil (harga murah) adalah dunia berikut semua isinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/243). Sementara makna, ‘Jangan kalian menjual’ adalah jangan menukar (I’tiyadh). Sehingga makna ayat, janganlah kalian menukar ayat Allah untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia.
Implikasi dari keadaan diatas, pendakwah menjadi profesi, lalu lebih menyibukan dirinya dengan kemasan. Tidak berbeda dengan barang-barang dagangan yang dikemas semenarik mungkin untuk menarik pelanggan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Tentu pendakwah yang rambutnya kribo tidak lebih laku dengan pendakwah yang rambutnya lurus. Pendakwah berkulit putih tidak lebih laku dibandingkan dengan pendakwah berkulit hitam. Padahal di desa saya, ustadz-ustadz yang memakai sandal jepit, kopyah songkoknya sudah kemerah-merahan dan berkulit gelap karena setiap hari pergi kesawah lebih ikhlas dan sanad keilmuannya jelas.
Dari hal diatas dapat kita simpulkan indikasi orang yang menjual agama Allah swt. Pertama, menjadikan agama sebagai jalan untuk memperoleh dunia, baik harta, tahta dan wanita. Kedua, membodohi orang dengan menyelewengkan maksud dan tujuan ayat al-quran. Ketiga, tidak mau untuk belajar dan memilih belajar kepada kyai google yang entah dari mana sanad keilmuannya. Maka kita sebagai generasi muslim harus mengembalikan dan membawa ruh dakwah islam. Berdakwah dengan tidak pamrih, berdakwah dengan mengajarkan islam rahmatan lil ‘alamin, berdakwah dengan menanamkan nilai-nilai moral agama, berdakwah dengan berbagai rasa simpati dan empati sehingga tercipta sebuah peradapan islam seperti visi dan misi al-qur’an.
* Penulis adalah wakil rois ‘Am Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal