Oleh: KH. Asmawi Mahfudz*
Minggu-minggu ini pengelola Lembaga Pendidikan di Nusantara, menyelenggarakan acara perpisahan atau syukuran bagi kelas tiga yang telah menyelenggarakan target pembelajaran sesuai yang ditetapkan oleh madrasah atau sekolahan. Acara ini dalam sebutannya banyak menggunakan istilah yang berbeda-beda antar lembaga untuk membingkai sebuah acara. Ada yang menyebut dengan wisuda sarjana, ada yang menyebut dengan haflah akhir sanah, ada yang menyebut dengan haflah tasyakur, ada yang menyebut haflah muwadaah, ada yang meyebut dengan purna siswa, ada yang menyebut haflah ikhtitami durus, ada yang menyebut haflah li ihtitam dirasah, dan sebagainya. Banyak sebutan ini memang tergantung sudut pandang bagi pengelola madarasah untuk menyebutnya. Misalnya kalau acara ini diadakan untuk memberikan pengesahan bahwa yang bersangkutan atau siswa patut menjadi ilmuwan maka sebutannya adalah wisuda. Seperti yang terjadi era tahun 1970-1990-an, pasca tahun 2000-an nampaknya semua tamatan sudah diwisuda baik di level taman kanak-kanak atau sarjana.
Istilah haflah tasyakur digunakan sebagai ekspresi kegembiraan dan terimakasih para tamatan, terutama kepada Allah, kepada para guru, orang tua, teman dan semua yang berperan dalam selesaikan studi seseorang. Untuk itu acara syukuran itu dilembagakan oleh madrasah supaya tidak memberatkan bagi para santri atau siswa yang telah selesai sekolahnya atau ngajinya. Pada era-era lama, tasyakuran dilakukan oleh para alumni-alumni pesantren yang telah mengkhatamkan ngaji madrasahnya, baik di tingkatan aliyah atau tsanawiyah. Bahkan mereka yang mengidolakan kitab-kitab tertentu mengadakan tasyakuran atas khataman terhadap suatu kitab. Misalnya khataman al-Qur’an, khataman Alfiyah Ibn Malik, khataman Ihya Ulum al-Din, khataman kitab Shahih Bukhari dan sebagainya. Acara semacam ini memang mendapatkan pembenaran oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, fatwa ulama dalam kitab kuning pun menyebut dengan walimah al-hadhaq.
Kalau lembaga pendidikan menggunakan istilah haflah ihtitam durus berarti dilihat dari sisi ilmu yang telah dipelajari, kurikulum yang telah diselesaikan. Jika menyebut ihtitam al dirasah berarti yang selesai adalah masa atau waktu yang telah ditargetkan oleh pengelola madarasah yang bersangkutan. Misalnya target pembelajaran ibtida’ 6 tahun, wustha 3 tahun, ulya 3 tahun dan kuliah sarjana 4 tahun. Ketika para siswa atau santri telah menjalani masa yang diprogramkan itu, baik di semester ganjil atau genap. Maka ini bisa disebut dengan ihtitam al-dirasah, walaupun masa menuntut ilmu sebenarnya tidak berhenti dalam masa tertentu, mulai di alam kandungan sampai di alam kubur kita sebenarnya diperintahkan untuk selalu menuntut ilmu tanpa ada hentinya.
Juga kadang disebut dengan haflah muwada’ah yang menandai adanya perpisahan secara fisik antara murid satu dengan murid yang lain, terpisahnya antara guru dan murid, berpisahnya relasi hubungan antara sekolahan dengan keluarga santri dalam artian secara fisik. Tetapi hubungan emosional, spiritual, antara guru dan murid, antara sekolah dan keluarga akan terus berhubungan secara kejiwaan, ruhaniyah. Guru dan murid akan selalu saling mendoakan untuk kebaikan bersama. Harapan murid gurunya akan selau memberikan ridla dan berkahnya atas semua ilmu dan doanya, demikian guru akan selalu berdoa untuk kemanfaatan dan keberkahan ilmu yang disampaikan kepada para muridnya. Dengan begitu tidak ada perpisahan secara hakiki yang ada berpisah secara majazi saja. Bahwa setelah pelajaran telah selesai maka masing-masing dari kita menjalankan program kehidupannya masing-masing. Para santri meneruskan perjuangannya untuk menimba ilmu dan mengamalkannya, guru juga terus mengajarkan ilmu-ilmunya kepada santri-santri yang lain, menebar kemanfaatan dan keberkahan untuk umatnya, sebagaimana dawuh ”Nadhru al ummah bi aini al rahmah”, melihat umat dengan penuh kasih sayang.
Tetapi yang penting dari sebutan atau istilah yang dijadikan background itu, adalah kelanjutan hidup para santri setelah pulang dari madrasahnya. Ada beberapa hal yang harus ditanamkan. Yakni Para santri harus bersyukur kepada Allah dan Rasulullah, mengingat bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan kita berkat kehendaknya dan bimbingannya. Allah telah memberikan anugerahnya kenikmatan berupa ilmu yang didapat dari pengajian para guru atau kyai, di pesantren atau madrasah. Ini semua semata nikmat yang agung dari Allah kepada kita, tanpa kehendakanya mungkin seorang siswa atau murid tidak akan mampu atau tidak berada jalan keilmuan sebagaimana yang telah diraihnya. Dalam bahasa agama, Allah telah menghendaki kebaikan untuk kita dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan agama yang telah kita dapatkan. Maka cara bersyukur kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengamalkan ilmu yang didapatkan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Posisinya seorang murid akan semakin dekat kepada Allah, semakin cinta kepada Rasulullah, semakin rajin beribadah, semakin rajin membaca al-Qur’an, dan semakin bersemangat untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, mengamalkan ilmu ditengah-tengah masyarakat. Inilah yang disebut oleh Rasul, ”man izdada ilman wa lam yazdad huda lam yazdad illa bu’da”, barang siapa bertambah ilmu, tetapi tidak bertambah hidayahnya, maka tidak bertambah melainkan dia jauh dari Allah Swt.
Selain itu bersyukurlah kepada orang-orang yang berjasa kepada proses ta’alum kamu. Yaitu para guru, pengarang kitab, orang tua, pengurus madrasah, tetangga. Tentunya yang paling didahulukan adalah guru dan orang tua kita. Setelah khataman ini, bersyukurlah kepada mereka, karena melalui jerih payahnya kita bisa ngaji, bisa sekolah. Mungkin kalau dahulu kita tidak dibimbing oleh orang tua, belum tentu kita menjadi orang yang berilmu seperti sekarang ini. Hafiz Ibrahim mengungkapkan, “Al-Ummu madrasatul ula, idha a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”, Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Dalam sebuah dawuh dikatakan, ”man lam yasykur li al-nas lam yasykur li Allah”, barang siapa tidak berterimakasih kepada sesama manusia, berarti belum berterima kasih kepada Allah. Kalau tidak berterimakasih kepada Allah berarti belum bersyukur, kalau tidak bersyukur berarti kufur. Dengan menggunakan pendekatan sejarah seorang santri dapat merenungkan perjalanan pendidikannya, mulai di kandungan diasuh oleh orang tua, ketika masih bayi menjalani pendidikan bersama orang tua. Ketika anak-anak juga terus dikawal oleh orang tua, sampai mencapai jenjang tertinggi dalam pendidikan kita semuanya adalah berkah doa orang tua, pengabdian orang tua, payahnya orang tua dan sebagainya. Maka sebenarnya kalau ukurannya membalas jasa orang tua, niscaya kita tidak mampu untuk membalasnya, tetapi ungkapan syukur, terimakasih dalam bentuk aktualisasi diri dihadapan orang tua, baik masih hidup atau sudah mati adalah bentuk syukur kita. Dengan perantara kita bersyukur kepada orang tua, Allah akan mengabulkan semua hajat-hajat kita baik didunia maupun orang tua. “Ridla Allah fi Ridla al-Walidayni” ridla Allah melalui ridla kedua orang tua.
Selanjutnya seorang santri atau siswa itu harus istiqamah dengan ilmu yang dia tekuni. Misalnya kita menekuni bidang agama islam, maka keistiqamahan dengan ilmu-ilmu keislaman adalah keniscayaan. Maka apa yang kamu sudah dapatkan di lembaga pendidikan atau pesantren harus tetap berkelanjutan dalam pengamalannya sehari-hari, ilmu agama Islam banyak rumpunnya dan masyarakat muslim nusantara pasti membutuhkannya untuk menyelesaikan problematika umat di lingkungan mereka. Masalah politik, pendidikan, hukum, kesenjangan ekonomi, masalah kekerasan, masalah keadilan, gender dan sebagainya. Seorang ahli ilmu agama, harus dapat menyelesaikan masalah umat sesuai dengan kompetensinya. Misalnya seorang pemuda pulang kampung setelah sekian tahun sekolah atau berada di pendidikan pesantren, maka setelah tamat yang harus dia lakukan adalah mempertahankan tradisi amaliyah selama di pesantren. Misalnya biasa shalat jamaah, biasa musyawarah, biasa muthalaah, biasa gotong royong, biasa hidup sederhana, biasa istighasah, biasa riyadhah dan sebagainya. Dengan tetap melakukan tradisi-tradisi pesantren itu dia akan beradaptasi. Kemudian seorang santri harus muhasabah, mawas diri, apa yang dapat kita lakukan untuk masyarakat saya. Kalau disitu ditemukan masalah pengajian anak-anak segera terjun di depan untuk mengajar ngaji anak-anak di lingkungnnya. Kalau yang ditemukan di masyarakat tentang demokrasi dia juga bisa masuk dalam hal demokrasi atau politik, kalau yang terjadi adalah masalah ekonomi segera lakukan sesuatu untuk mencarikan solusi masalahnya, atau masalah pendidikan masyarakat, masalah politik, maka disesuaikan dengan masalah-masalah lokal yang dia hadapi. Mungkin adalah dawuh guru ”Qum haytsu aqamaka Allah”, tegaklah, istiqamahlah dimanapun kamu berada. Dengan istiqamah menyelesaikan masalah dengan ilmunya, maka seseorang akan mendapatkan kedalaman dari ilmu. Disitulah nanti dia akan menjadi orang alim, beramal, bermanfaat dan tercurah keberkahan dari Allah Swt. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah dan Pengasuh PP Terpadu Al Kamal