Abstrak
Penelitian ini berangkat dari problem penafsiran para kaum tekstualis yang menafsiran Al-Qur’an secara parsial, atomistik, dan ideologis. Di antaranya mengenai ayat-ayat dan waris yang menjadikan kedudukan laki-laki lebih unggul dan diutamakan daripada perempuan. Fazlur Rahman sebagai penggagas teori Double Movement (teori gerak ganda) mencoba menawarkan metodologinya untuk memberikan solusi terhadap problem laki-laki maupun perempuan. Salah satunya ialah permasalahan mengenai hukum waris. Dalam memahami Al-Qur’an ada dua gerakan yang ditawarkan oleh Rahman, yakni gerakan pertama, dari masa kini ke masa diturunkannya Al-Qur’an. Dan gerakan kedua, dari masa diturunkannya Al-Qur’an ditarik ke konteks masa sekarang. Dengan metode yang ditawarkan oleh Rahman dapat diapahami beberapa analisis, diantaranya mengenai ayat waris. Berdasarkan dari teori dan aplikasi yang ditawarkan, menghasilkan kesimpulan hukum, yakni pembagian waris antara laki-laki dan perempuan disamaratakan 1:1, karena konteks masa diturunkannya Al-Qur’an jika ditarik ke konteks masa kini kurang relevan. Sehingga ketentuan pembagian waris 1:1 tersebut telah sesuai dengan konteks sosial dan budaya di Indonesia.
Kata kunci: Double Movement, Fazlur Rahman, ayat waris.
Abstract
This research departs from the problem of the interpretation of the textualists who interpret the Qur’an partially, atomistic, and ideologically. Among them concerning verses and inheritance that make the position of men superior and preferred over women. Fazlur Rahman as the initiator of the theory of Double Movement (double motion theory) tried to offer his methodology to provide solutions to problems of men and women. One of them is a problem regarding inheritance law. In understanding the Qur’an there are two movements offered by Rahman, the first movement, from the present to the time when the Qur’an was revealed. And the second movement, from the time the Al-Qur’an was revealed was drawn to the present context. With the method offered by Rahman, several analyzes can be understood, including the inheritance verse. Based on the theory and application offered, it produces legal conclusions, namely the distribution of inheritance between men and women is generalized 1:1, because the context of the period of the revelation of the Qur’an when drawn to the present context is less relevant. So the provisions for the distribution of inheritance 1:1 are in accordance with the social and cultural context in Indonesia.
Keywords: Theory, Application, Double Movement, Fazlur Rahman, inheritance verse.
PENDAHULUAN
Al-Quran diturunkan oleh Allah sebagai hudan linnas (petunjuk bagi manusia), kenyataan ini bukan hanya diakui oleh ulama tafsir klasik namun juga dikui oleh ulama kontemporer. Berdasarkan diskursus seputar penafsiran Al-Quran bahwa Al-Quran merupakan Shalih likulli zaman wa makan dan penafsir Al-Quran tidak pernah mengenal kata usai.[1]
Hal tersebut sudah tentu menuntut adanya epistimologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia. Oleh sebab itu, kajian interpretasi teks yang mendialogkan teks, konteks dan upaya kontekstualisasi menjadi suatu hal yang menarik perhatian kalangan pemikir Islam kontemporer. Untuk dijadikan sebagai alternatif dalam memahami Al-Quran. Sehingga Al-Quran tidak dipahami secara parsial berbias idiologis dan terkadang terkesan kaku.[2]
Kalangan tradisionalis pada umumnya masih terjebak pada pembahasan gramatikal bahasa yang cenderung penuh kehati-hatian, dan penafsir tersebut hanya bergerak pada muara yang persifat kearaban yang bermain pada ranah teks. Sebagai akibatnya mutiara kandungan Al-Quran yang terpendam pada sistem teks Al-Quran itu sendiri belum tergali secara mendalam, Al-Quran menjadi belum fungsional secara optimal sebagai petunjuk sehingga wajar kalau umat islam jarang yang menjadikan Al-Quran sebagai dasar pijakan dalam bertindak dan bersikap. Tanpa disadari, hal ini akan menjadikan Al-Quran hanya sebagai simbol semata, dan menjadikannya sebagai barang antik. Padahal, pemahaman terhadap tafsir sangat penting.[3] Karena dengan memahami isi ayat Al Qur’an dengan tepat dapat diaplikasikan menjadi sebuah landasan hukum yang memberikan nilai-nilai kemashlatan yang hal itu menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an sebagai sebuah syariat.
Berangkat dari pendekatan kaum tekstualis yang cenderung belum bisa mengatasi problem di era kekinian, Fazlur Rahman yang merupakan salah satu tokoh pembaharu hukum Islam kelahiran Pakistan menawarkan suatu metodologi Al-Quran yang dinamai double movement theori (teori gerak ganda). Teori ini muncul dikarenakan ada problem yang muncul di masyarakat sekarang, diantaranya terkait isu-isu feminis dalam memahami Al-Qur’an. Perempuan selalu diposisikan kurang menguntungkan dalam kehidupan sosial. Sebagai konsekuensinya perempuan memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Diantaranya pada kasus waris. Fazlur Rahman memandang ada unsur ideologis terhadap mufassir klasik yang cenderung lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan.
Konsep metodologi yang ditawarkan oleh Rahman memuat dua gerakan. Gerakan pertama, dari masa kini ke masa diturunkannya Al-Qur’an. Kemudian gerakan kedua, dari masa diturunkannya Al-Qur’an ditarik ke masa sekarang. Dengan kedua gerakan inilah yang problem penafsiran yang bersifat ideologis bisa diantisipasi, salah satunya mengenai bias perempuan. Langkah kerja dari teori Double Movement yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman bisa menjawab problem bias perempuan di masa sekarang. Peneliti akan menguraikan aplikasi teori tersebut dalam memahami ayat waris.
MENGENAL FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Pakistan pada tahun 1919, kemudian tumbuh dan berkembang dalam latar belakang pendidikan tradisional hingga usia 39 tahun. Berasal dari keluarga yang bermazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang lebih bercorak rasional daripada mazhab sunni lainnya.[4]
Pendidikan formalnya dimulai dari Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari orang tuanya, seorang ulama dari Deobond. Setelah menamatkan sekolah menengah di madrasah, ia kemudian melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab dan berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas tersebut dengan meraih gelar Master dalam sastra Arab.
Meskipun Rahman terdidik dalam lingkungan tradisional, sikap kritis mengantar jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasannya terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dengan keputusannya melanjutkan studi ke Barat di Universitas Oxford Inggris. Keputusan tersebut merupakan awal sikap kontroversinya yang mendapat kecaman keras dari kalangan ulama-ulama Pakistan kala itu yang memandang negatif setiap kecenderungan ke Barat, sekalipun sikap tersebut ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat Islam.[5]
Sekembalinya ke tanah airnya, Pakistan, pada tahun 1962, ia diangat sebagai Direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology oleh Pemerintah Pakistan pada tahun 1964. Lembaga tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab tantangan kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasihat Ideologi Islam bertugs meninjau seluruh hukum, baik yang sudah maupun yang belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan Alquran dan Sunah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerjasama yang erat, karena Dewan Penasihat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[6]
Akhirnya Rahman pun mengundurkan diri dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada September 1968, menyusul jabatannya selaku anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam turut dilepaskannya pada tahun 1969. Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai Guru Besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkugan kebebasan intelektual yang betanggung jawab. Pengabdiannya sebagai Profesor pada Universitas Chicago berawal sejak 1970.[7]
TEORI GERAKAN GANDA (DOUBLE MOVEMENT)
Tesis historitas al-Quran yang dinyatakan oleh Fazlur Rahman memiliki signifikansi yang penting dalam kontruksi hermeneutika al-Quran. Teori ini memberikan landasan penting bagi teori selanjutnya yang menegaskan hubungan yang sangat erat antara Al-Quran, konteks dimana al-Quran yang menegaskan keberadaannya sebagai salihun likulli zaman wa makan (selalu aktual kapanpun dan dimanapun), mengisyaratkan akan efektivitasnya secara kontinyu sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di segala situasi. Al-Quran akan selalu aktual dan mampu berdialog dengan problem dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam pada khususnya dari dulu hingga sekarang.[8]
Dengan berbagai problem inilah Fazlur Rahman dapat dicatat sebagai salah satu pembaharu yang mempromosikan metode kontekstual. Rahman menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an secara komprehensif, kontekstual tidak secara atomistik dan parsial yang justru seringkali berimplikasi terhadap kesalahan dalam menarik pesan inti dari Al-Qur’an. Selain itu penafsiran parsial cenderung didominasi oleh subjektivitas penafsir yang seringkali terjebak pada unsur ideologis. Oleh karena itu, untuk menghindari jebakan ideologis, diperlukan penafsiran secara menyeluruh tentang ayat-ayat Al-Qur’an untuk menderivikasi pandangan dunia (weltan-schauung) al-Qur’an yang akan digunakan sebagai basis normatif dalam mengimplementasikan al-Qur’an dalam realitas sehari-hari. Dengan perspektif ini, ia mengkritik model penafsiran para filosof dan sufi yang cenderung memaksakan ide-ide eksternal dari pemikiran ideologinya.[9]
Untuk menjalankan misi transformatif Al-Qur’an, Fazlur Rahman menawarkan teori gerakan ganda (double movement) dalam menafsirkan Al-Qur’an. Secara skematik, teori ini bisa digambarkan sebagai berikut:
Sederhananya pada gerakan pertama metode ini, dilakukan makna teks yang selaras dengan konteks pada waktu teks Al-Qur’an diturunkan, karenanya pesan Al-Qur’an harus dipelajari secara kronologis, dilanjutkan dengan menggali prinsip-prinsip umum Al-Quran melalui konteks sosio-culture masyarakat Arab pada waktu itu. Tujuan gerakan pertama ini untuk mengetahui pesan yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Dilanjutkan dengan gerkan yang kedua, mengkaji keadaan sosiologis masyarakat kontemporer di atas prinsip-prinsip umum Al-Qur’an yang nantinya dapat diterapkan. Tujuan gerakan kedua ini untuk mengaplikasikan pesan yang dimaksud dalam Al-Qur’an ketika diturunkannya Al-Qur’an, kemudian ditarik ke masa sekarang.[10]
Pengkategorian metode Fazlur Rahman sebagai metode kontekstual, selain berdasarkan argumen di atas, juga didukung kenyataan bahwa metode yang disajikannya memandang bahwa ayat-ayat al-Quran merupakan satu kesatuan yang padat, dimana maknanya baru bisa dipahami bila ayat-ayat itu ditafsirkan dalam kaitan totalitas dengan yang lainnya, dan memfungsikan asbabunnuzul sebagai data sejarah yang penting dalam memahami pesan alquran.[11]
Untuk mengaplikasikan metode kontekstual di era kontemporer Rahman menawarkan pendekatan historis. Hal ini untuk menemukan makna teks Al-Qur’an, yakni dengan mengetahui asbabun nuzulnya. Akan tetapi, pendekatan historis juga diimbangi dengan pendekatan sosiologis yang digunakan untuk memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa diturunkannya Al-Qur’an. Khususnya, dalam ranah pendekatan sosiologis ini dalam memahami Al-Qur’an tidak semata mencampakkan warisan historis, akan tetapi justru bersikap elastisitas.
Menurut Rahman, dalam memahami kandungan ayat Al-Qur’an haruslah mengedepankan aspek-aspek moralitas. Penegakan moralitas ditekankan olehnya dikarenakan telah hilangnya nilai-nilai moral karena telah diintervensi oleh kepentingan, baik bersifat sosial, ekonomi, politik, sepanjang sejarah Islam. Akibatnya terjadi fragmentasi umat yang berujung pada pemaksaan gagasan eksternal dan kepentingan ideologi untuk pertarungan kepentingan. Sehingga sampai melupakan salah satu misi Al-Qur’an, yakni sebagai sumber etika Islam dalam basis pemikiran.[12]
APLIKASI TEORI DOUBLE MOVEMENT PADA AYAT WARIS
Menurut modernis dari Pakistan ini ada problem pembagian waris karena adanya dikotomi metodologi klasik yang condong pada nilai-nilai normatif dan metodologi kontemporer yang condong pada nilai progesif. Jika merujuk pada doktrin normatif pewarisan islam, perbandingan, pembagian waris antara laki-laki dan prempuan adlah 2:1 dan sampai kapanpun akan tetap seperti itu, dengan landasan bahwa ayat-ayat tentang ketentuan waris bersifat qat’i atau tetap dan ijbari (paksaan), implikasi dari ketentuan itu menimbulkan tidak boleh adanya ruang ijtihad dalam kewarisan Islam. Dalam hal ini Fazlur Rahman menfsiri lain dengan kewarisan islam normatif, perbandingan laki-laki dan perempuan pembagian waris yang ketentuannya 2:1 di interpretasikan menjadi 1:1, berdasarkan teori double movement-nya dalam menafsiri ayat-ayat Al-Quran.[13]
Menurut Fazlur Rahman, bagian waris yang diterima saudara perempuan sama dengan bagian saudara laki-laki (1:1), hal ini dikarenakan kondisi perempuan telah mengalami perubahan, sebagaimana nilai-nilai dan keajaiban ekonomi dalam suatu masyarakat tradisonal yang merupakan simbol-simbol fungsional dari peran-peran aktual dalam masyarakat yang bdrsangkutan. Rahman menilai, peran-peran dimasyarakat itu tida ada yang internt dan pasti mengalami perubahan. Maka jika rasa dan pertimbangan keadilan menghendakinya, perubahan atas peran-oeran tersebut sudah barang tentu tidak bertentangan dengan prinsip moral dalam al-Quran. Demikian pula bagian suami dan istri.
Dikonstruksi pemikiran tentang konsep pembagian waris banyak dilontarkan oleh cendekiawan muslim kontemporer. Banyak anggapan bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan Rasulnya, ternyata sangat dipengaruhi kondisi setempat, sehingga unsur sosio-culture saat itu menjadi pertimbangan utama. Sebagai contoh ayat Al-Qur’an yang sangat dipengaruhi dengan budaya saat itu adalah ayat tentang pembagian waris, yaitu Qs. An-Nisa: 11.
Apabila ditinjau dari segi kondisi sosio-culture masyarakat Arab saat itu, maka jelas sekali bahwa penetapan pembagian waris 2:1 oleh Al-Qur’an yang merupakan bentuk langkah adaptasi dengan budaya Arab. Oleh karena itu teori geneologi Arab menganut sistem pratiarki (kesukuan dari garis laki-laki), maka sangat wajar bila saat ini memberi porsi yang lebih kepada laki-laki. Berdasarkan kenyataan sejarah, banyak ketentuan-ketentuan Islam merupakan representasi dari modifikasi ketentuan-ketentuan pra-Islam. Padahal jika diperhatikan lebih seksama sistem kekeluargaan dalam Al-Qur’an adalah bileteral, bukan patriarki maupun matrilineal.[14]
Oleh karenanya dirasa perlu adanya sutau metode tafsir yang dapat mengakomodasi keadaan tersebut, dengan tujuan mengetahui aspek moral hakiki yang tersirat dibalik teks Al-Qur’an. Klasifikasi Rahman terhadap doktrin kewarisan Islam klasik sebenarnya berawal dari anggapannya bahwa para fuqaha dan mufassirin atau kaum muslim umumnya, telah mengembangkan suatu sikapyang kaku dalam memandang kedua sumber hukum dalam Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis dan otomistis, pendekatan-pendekatan seperti ini telah menimbulkan hilangnya dinamika sejarah dalam memahami Al-Quran, serta mereduksi keduanya yang terdiri dari mereduksi keduanya yang terdiri dari bagian-bagian yang terpisah satu sama lain.[15]
Sebagai wujud konkrit dalam menyikapi permasalahan ini, Fazlur Rahman menawarkan suatu proses ijtihad dan metodologi yang hermeunitis, metode tersebut dikenal dengan Double Movement Theori atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah teori gerak ganda, sebuah metode dengan pendekatan sosio-historis. Dalam metodenya Fazlur Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan awal suatu teks Al-Quran diberlakukan (idea moral) dengan bunyi teks itu sendiri (legal spesifik). Menurutnya ideal moral yang dimaksud oleh legal spisifik lebih pantas diterapkan ketimbangan ketentuan legal spesifik itu sendiri.
Dalam surat an-Nisa ayat 11, mengatur pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Kemudian dalam surat an-Nisa ayat 12, menerangkan pembagian warisan suami 2 kali lipat dari bagian istri, yaitu suami mendapatkan setengah dari istrinya yang meninggal dunia (pewaris) jika pewaris tidak mempunyai anak, jika pewaris mempunyai anak maka bagiannya menjadi seperempat. Adapaun istri mendapat bagian seperempat dari suaminya yang meninggal dunia (pewaris) jika pewaris tidak mempunyai anak. Jika pewaris mempunyai anak-anak bagiannya menjadi seper delapan. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagian waris antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.[16]
Jika ditelaah lebih seksama, pengsyariatan pembagian waris 2:1 sangat dipengaruhi oleh faktor situasi dan kondisi bangsa Arab, tepatnya pada zaman Rasulullah SAW. Kewajiban mencari nafkah hanya dibebankan bagi laki-laki dan wajib hukumnya bagi mereka. Sementara bagi kaum perempuan (istri) tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, karena memang bukan kapasitasnya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah, karena kepala rumah tangga adalah tugas pokok seorang laki-laki (suami). Perempuan justru berhak mendapat nafkah dari suaminya (bila perempuan tersebut telah menikah) sebagaimana tercantum dalam Q.S Al-Baqarah 233 dan at-Thalaq 6. Namun akan terlihat kontras apabila eksistensi perempuan zaman kini komporasikan dengan perempuan zaman dulu. Saat ini perempuan mempunyai independensi yang besar dalam melakukan aktifitasnya. Banyak diantara mereka bisa atau memungkinkan lebih mahir daripada laki-laki dalam menjalani profesi di sektor publik. Perempuan seperti itu bisa disebut wanita karier. Dengan demikian, pada saat ini bukan hanya laki-laki saja yang bisa mencari nafkah, perempuan pun bisa mencari nafkah. Bahkan tidak sedikit perempuan yang malah menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.[17]
Berangkat dari dialektika di atas, maka terkait dengan masalah pembagian waris dituntut adanya repreinterpretasi terhadapnya dengan tujuan tetap terjaganya nilai-nilai sakral dalam Al-Quran, yaitu nilai keadilan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Jadi, ketika memahami teori double movement Fazlur Rahman, terdapat teori ganda dalam memahami ayat waris, diantaranya: Pertama, pembagian waris antara laki-laki dan perempuan diharapkan adanya bentuk keadilan dalam masyarakat, hanya saja aplikasi penerapan pembagian waris 2:1 dipengaruhi oleh budaya Arab pada saat itu. Hal ini tidak menutup kemungkinan jika penafsiran Rahman berpaling dengan hukum yang telah ditetapkan, malainkan mengambil dari segi moral jika situasi dan kondisi sekarang mengenai pembagian waris sama dengan kondisi di Arab. Kedua, jika ditinjau dari segi sosio-historis pada saat ini, realitas keberadaan perempuan tidak sama dengan realitas perempuan di Arab pada saat itu. Sehingga bisa menutup kemungkinan jika pembagian waris antara laki-laki dan perempuan sama, yakni 1:1.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa Double Movement Theori dari Falurrahman ialah gerakan pertama merupakan penyelarasan makna teks Al Qur’an pada saat Al Qur’an tersebut diturunkan dengan konteks sosio kultur yang berkembang pada masa sekarang guna menemukan kontekstualisasi ayat Al Qur’an dengan situasi dan kondisi saat ini dan kemudian gerakan yang kedua merupakan penarikan makna ataupun penafsiran ayat Al Qur’an masa sekarang ini dengan tetap menyelaraskan dan menyesuaikan dengan kronologi saat ayat Al Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan pendekatan historis untuk mengambil nilai-nilai yang terkandung saat ayat Al Qur’an diturunkan.
Kemudian dalam aplikasinya teori gerak ganda Fazlur Rahman ini terhadap ayat waris ialah bahwa aplikasi penerapan pembagian waris 2:1 menurut Fazlurahman telah dipengaruhi oleh budaya Arab pada saat itu. Lalu jika ditinjau dari segi sosio-historis pada saat ini khususnya di Indonesia, realitas keberadaan perempuan tidak sama dengan realitas perempuan di Arab pada saat itu. Sehingga bisa tidak menutup kemungkinan jika pembagian waris antara laki-laki dan perempuan sama, yakni 1:1. Inilah rekrontruksi pemikiran dan penafsiran serta aplikasi terhadap ayat waris dalam hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia dengan teori Double Movement (Gerak Ganda) dari Fazlur Rahman.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufiq Adnan. 1993. “Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini” dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif: Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Terj.). Cet. ke-5. Mizan: Bandung.
Fatimah, Heni. 2015. Pendekatan Historis Sosiologis Terhadap Ayat-Ayat Ahkam Dalam Study Al-Quran Persepekstif Fazlurrahman. MA NU Banat Kudus: Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni, 2015.
-
Solahudin. 2016. Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Penafsiran Al Quran. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 1, 2 (Desember 2016).